Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Membandingkan Ushul Nahwu dan Ushul Fikih

Avatar photo
38
×

Membandingkan Ushul Nahwu dan Ushul Fikih

Share this article

Ketika masuk dunia keilmuan yang bersinggungan dengan Bahasa Arab, telinga kita pasti tidak asing dengan yang namanya Ilmu Nahwu. Hampir semua pesantren yang ada di Indonesia, baik pesantren tradisional maupun modern, ilmu ini pasti dipelajari di dalamnya. Hal ini merupakan sebuah kewajaran, sebab pesantren merupakan suatu instansi yang tujuannya adalah mencetak kader-kader yang dapat memahamkan teks agama kepada masyarakat umum.

Berbicara tentang Ilmu Nahwu, sebenarnya ada hal yang jarang didengar oleh khalayak umum. Sebelum Nahwu lahir sebagai sebuah diskursus keilmuan, sebenarnya ada keilmuan yang melatarbelakanginya. ia sebagai pondasi dan asas. Jika dalam dunia fikih kita mengenal Ushul Fikih, maka dalam dunia Nahwu ada Ushul Nahwu. Bagaimana perjalanannya dan mengapa ilmu ini tidak begitu familiar jika dibandingkan dengan Ushul Fikih?   

Definisi Komparatif

Secara etimologi, Ushul Nahwu terdiri dari dua suku kata, yaitu ushul bentuk jamak dari al-Ashl (pokok, dasar atau asal) dan kata al- an-Nahwî (tujuan, arah, penjelasan). Berawal dari sini tinjauanya mengarah pada dua hal: Ushul an-Nahwi sebagai satu kesatuan murakkab dansebagai nama dari sebuah disiplin ilmu.

Masing-masing dari keduanya memiliki implikasi yang berbeda. Tinjauan pertama memiliki tiga arti.

Pertama, Ushul an-Nahwi diartikan sebagai epistimologi Ilmu Nahwu dan berisi kaidah-kaidah dasar.

Kedua, Ushul an-Nahwi dipahami sebagai kaidah-kaidah universal dan ketentuan-ketentuan metodologi.

Ketiga, Ushul an-Nahwi sebagai dalil-dalil Nahwu yang diperoleh dari sima’, ijmak dan qiyas. Sebuah keteram pilan atau kecakapan yang dihasilkan melalui  keterbiasaan menganalisa berbagai kaidah.

Adapun tinjauan yang kedua juga memiliki tiga arti.

Pertama, kaidah-kaidah yang dapat diketahui melalui kedudukanya.

Kedua, mengetahui kaidah-kaidah melalui pikiran.

Ketiga, sebuah kecakapan yang terbentuk setelah terbiasa menganalisa berbagai kaidah yang dihasilkan. Arti yang pertama tidak mengaharuskan adanya seorang pakar, berbeda halnya dengan arti yang kedua dan ketiga, ia menuntut adanya seorang pakar ( lihat Hasyiyah ash-Shaban ‘ala syarh al-Asymuni vol. I hal 5)

Baca juga: Matan Jurumiyah dan Sang Pengarang yang Tak Ditemukan Makamnya

Pada era awal munculnya ilmu ini, berbagai tinjauan definisinya masih bias. Kadang masuk yang pertama, kadang juga masuk yang kedua. Ini artinya, ia belum menemukan titik yang konstan pada saat itu.

Sampul depan Kitab Al-Khashaish karangan Ibnu Jini.

Kata “Ushul” dikalangan ulama bahasa pertama kali dimunculkan oleh Ibnu Siraj pada 316 H dalam kitabnya “Al-Ushul fi an-Nahwi” meskipun secara substansi kandungannya kitab ini belum bisa dikatakan sebagai Ilmu Ushul Nahwu. Kemudian pada 392 H, term Ushul ini kembali muncul dengan dipelopori oleh Ibnu Jini (w. 392 H) melalui kitabnya yang berjudul ‘Al-Khashâish’.

Term “Ushul” merupakan sebuah bentuk pendekatan epistimologis terhadap suatu diskursus keilmuan yang sudah ada. Ketika ulama memberi label “Ushul” biasanya ia sedang mencoba untuk menyajikan wacana metodologis terhadap suatu diskursus keilmuan. Hal ini juga terjadi dalam wacana Ushul Nahwu, dalam upaya menangkap jejak-jejak epistimologi Nahwu, Ibnu Jini berusaha menghadirkan sebuah metodologi “baru” untuk menangkap proses kelahiran term-term yang ada dalam Ilmu Nahwu dengan pendekatan bangunan Ushul Fikih dan teologi Islam.

Di antara pembahasan Ushul Nahwu yang digagas Ibnu Jini (w. 392 H) adalah qiyas, ta’lil, ta’wil, dan ‘amil, sebuah term yang sudah tidak asing lagi jika didengar oleh para pengkaji Ushul Fikih, meskipun di sana ada sedikit perbedaan penggunaan atau cara kerja.

Fungsi Ushul Nahwu

Ilmu Ushul ini memiliki peran lebih radikal daripada Ushul Fikih di beberapa wilayah, misalnya ia dapat bersinggungan langsung terhadap ruang lingkup kaidah teks sebelum ia masuk ke dalam bangunan Ushul Fikih, karena Ushul Fikih yang notebene sebagai alat penggalian hukum Islam tidak akan berfungsi dengan baik jika kaidah-kaidah teks belum lahir secara matang.

Adanya implikasi pemahaman keagamaan karena munculnya perbedaan konsep mengenai Ushul an-Nahwi mengisyaratkan urgensitas ilmu nahwu dalam memahami teks agama. Ini juga berarti bahwa Ilmu Nahwu memiliki peran penting dalam konteks keberagamaan seorang muslim. Dengan demikian memahami Ushul an-Nahwi sama saja dengan mempelajari sesuatu yang inti, yang harus dilakukan untuk memahami teks agama.

Baca juga: Matan Jurumiyah dan Sang Pengarang yang Tak Ditemukan Makamnya

Dengan demikian Ushul an-Nahwi dapat dikatakan sebagai pondasi tata bahasa Arab. Kedudukannya terhadap nahwu sama seperti kedudukan ushul fiqh terhadap fiqh. Yang pertama meletakan landasan bagi yang kedua. Kedudukan keduanya bisa dianggap lebih tinggi daripada nahwu atau fiqh, tetapi Ushul an-Nahwi tetap bersifat khusus karena berkaitan dengan bidang yang spesifik yaitu, tata bahasa Arab (nahwu).

Kajian Ushul Nahwu tidaklah sefamiliar kajian Ushul fikih. Keduanya memiliki posisi yang sama; sebagai landasan dan epistimologi disiplin ilmu yang lain (Nahwu dan Fikih). Akan tetapi perjalanan kedua disiplin ilmu ini sebagai ilmu pengetahuan sangatlah kontras. Ilmu Ushul ini mengalami stagnasi sedangkan Ushul Fikih semakin berkembang pesat pasca kehadiran Ar-Risalah milik Imam Asy-Syafi’i.

Kontributor

  • Ahmad Khikam

    Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir, Fakultas Bahasa Arab. Penyuka sastra Arab, pecinta kaligrafi