Sayyid Rasyid Ridha (w. 1935) terhitung sebagai salah satu tokoh terpenting dan terbesar dalam diskursus sejarah pemikiran Arab-Islam modern.
Nama Raysid Ridha selalu disandingkan dengan sosok Jamaluddin Al-Afghani (w. 1897) dan Muhammad Abduh (w. 1905) yang disebut-sebut sebagai bapak pemikiran Islam kaum modernis.
Di antara karya terpenting Rasyid Ridha adalah kitab Tafsir Al-Manar, yang ditulis bersama guru beliau, Muhammad Abduh. Dia juga menebitkan majalah berkala “Al-Manar”. Melalui majalah tersebut, dia menyampaikan gagasan-gagasan pembaharuan dan modernismenya ke seluruh pelosok dunia Islam.
Di antara salah satu adagium diskursus pembaharuan Islam yang terkenal adalah sebuah pertanyaan “Limadza Ta’akhkhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum?” (Mengapa Umat Muslim Terbelakang dan Non-Muslim Maju?)
Adagium pertanyaan tersebut menjadi sangat viral pada awal abad 20 M dan dijadikan judul buku oleh Amir Syakib Arslan dari Suriah (w. 1946) yang juga kawan Rasyid Ridha.
Baca juga: Syaikh Nuruddin Hasan Tekarang, Murid Syaikh Ahmad Khatib Sambas Asal Mindanao
Tahukah kita dari mana asal muasal pertanyaan “Limadza Ta’ahkhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum” itu datang terlontar?
Ternyata, pertanyaan dan pernyataan itu pertama kali diajukan oleh Syaikh Basyuni Imran (w. 1976), seorang ulama Nusantara yang juga mufti imam maharaja Kesultanan Sambas. Basyuni Imran juga tercatat sebagai murid terdekat Rasyid Ridha dan juga seorang “Azhari” (nisbat kepada institusi dan Universitas Al-Azhar Mesir).
Kedekatan antara Basyuni dan Ridha dapat dilacak dari arsip korespondensi (surat-menyurat) antara keduanya. Basyuni juga tercatat rajin menulis di majalah Al-Manar asuhan Rasyid Ridha yang terbit di Kairo.
Dalam himpunan koleksi fatwa Sayyid Rasyid Ridha (Majmu’ Fatawa), tercatat ada lebih dari 21 (dua puluh satu) buah surat istifta (meminta fatwa) yang diajukan oleh Basyuni dan dijawab oleh Rasyid Ridha.
Basyuni Imran (atau Basioeni Imran) lahir di Sambas pada 1885. Ia pernah belajar di Makkah selama 1902 hingga 1907 lalu melanjutkan ke Kairo dari 1910 hingga 1923. Makkah pada masa itu masih terhitung sebagai basis pemikiran Islam yang tradisionalis, sementara Mesir adalah pusat gerakan pemikiran Islam yang modernis. Dua arus pemikiran Islam yang pada saat itu saling “berdinamika” itu kemudian berpadu pada sosok Basyuni.
Sepulang dari Mesir, Basyuni menjadi maharaja imam (semacam mufti) Kesultanan Sambas. Syaikh Basyuni Imran juga tercatat banyak melahirkan karya tulis dalam pelbagai bidang keilmuan Islam.
Terkait jejak pemikiran, karya dan kiprah Basyuni, Dr. Erwin Mahrus dan Dr. Dulkifli dari IAIN Pontianak telah melakukan kajian yang mendalam atasnya.
Baca juga: Menziarahi Syekh Muhammad Sa’ad Selakau, Murid Syekh Ahmad Khatib Sambas
Jum’at (30/10) petang hari kemarin, saya dan kawan-kawan dari PWNU Kalimantan Barat berkesempatan menziarahi makam Syaikh Basyuni Imran yang terletak di Lubuk Dagang sisi timur. Kami juga mengunjungi rumah peninggalan “sang tokoh besar pemikiran Islam modernis” yang kondisinya sangat tak terawat.
Meski di depan gerbang rumah tersebut terdapat tulisan “Musium Tamadun Melayu Sambas”, namun tidak ada artefak-artefak bersejarah peninggalan Syaikh Basyuni Imran yang tersimpan di dalam bangunan itu.
Meski demikian, di sisi kanan bagian dalam dari pintu masuk rumah, terdapat sebuah lemari tua berisi kitab-kitab sisa peninggalan sang tokoh. Petang itu, dalam remang gelap ruangan yang tak bercahaya, kami berkesempatan membuka isi lemari kitab itu dan menyimak isi sebahagian koleksinya.
Di dalamnya terdapat kitab-kitab tua yang sebahagian besar berasal dari koleksi Syaikh Basyuni ketika berada di Kairo dan belajar di al-Azhar. Terdapat juga beberapa kitab karangan beliau.
Ada perasaan sedih yang menyelinap di dalam hati ketika saya mendapati keadaan warisan peradaban dan khazanah keilmuan tertulis peninggalan sang tokoh besar pemikiran dunia Islam ini dalam kondisi yang tak terawat dengan baik. Wallahu a’lam.
Sambas, 15 Rabi’ul Awwal 1442 Hijri