Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Memotret Mezquita de Cordoba, Mengenang Sang Elang Andalusia

Avatar photo
35
×

Memotret Mezquita de Cordoba, Mengenang Sang Elang Andalusia

Share this article

Di suatu hari yang cerah, selagi suasana Baghdad sedang santai dan damai, Khalifah Abu Ja’far al-Mansur bertanya kepada segerombol pejabat setianya dengan nada akrab: “Tahukah kalian siapa itu Elang Quraisy?”

“Tidak lain adalah paduka sendiri, sosok amirul mukminin yang memakmurkan kerajaan ini,” jawab salah seorang dari mereka dengan tegas dan percaya diri. “Pemerintahan kita berhasil menangani bencana besar berupa gempa, sukses memberantas wabah, dan dengan mudah menumbangkan lawan.”

“Sementara kamu tidak melakukan apa-apa,” potong khalifah yang diikuti gelak tawa bersama. “Bukan. Bukan diri saya yang saya maksud.”

“Apakah Muawiyyah maksud Paduka?” Ucap yang lain.

“Bukan.”

“Kalau begitu pasti Yang Mulia Abdul Malik bin Marwan?” Sergah yang lain.

“Bukan juga.”

“Kalau bukan mereka siapa lagi, duhai paduka?” Mereka tampak penasaran.

“Dia adalah Abdurrahman bin Muawiyyah bin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan. Seseorang yang licik yang kita ketahui kabur bersama sebuah tombak dan sebilah pedang. Laksana elang ia mengarungi lautan dan melintasi gurun-gurun pasir, meski tanpa pasukan ia berhasil mengadu nasib di negeri yang tidak ia ketahui. Ia tidak mengandalkan apa-apa kecuali kecerdasan dan kegigihannya. Di sana ia mulai membangun peradaban, mempermalukan dan memusnahkan musuh-musuh sombongnya, mengorganisir sejumlah kota, memobilisasi pasukan, mengamankan perbatasan, melawan orang-orang Nasrani, hingga tiba saatnya mendirikan kerajaan besar di bawah tongkat kekuasaannya. Sebuah pemerintahan yang sebelumnya diyakini hancur porak-poranda. Tidak satu pemimpin pun sebelumnya sanggup mencapai apa yang ia gapai.”

Dari obrolan tersebut julukan Shaqr al-Quraisy (Elang Quraisy) berasal, ia juga dikenal dengan Shaqr al-Andalus, dalam literatur di luar Arab ia masyhur disebut Abdurrahman al-Awwal atau Abdurrahman I. Meskipun demikian, julukan terpopulernya tetap ad-Dakhil (orang yang masuk) lantaran selalu berhasil melarikan diri dari kejaran tentara Abasiyah selama kurang lebih lima tahun sebelum akhirnya memasuki daratan Hispania, saat ini Spanyol.

Baca juga: Pajaro Negro, Musik dan Budaya Bersolek di Eropa

Tidak jauh berbeda dengan tipikal para pendahulunya di Damaskus, pemerintah kekhalifahan Umayyah di Andalusia dalam berarsitektur cenderung melanjutkan bangunan peninggalan penguasa sebelumnya dengan merenovasi beberapa bagian saja. Hal ini terjadi pada awal-awal bertunasnya peradaban Islam di sana.

Salah satu misal yang menarik untuk dikenang adalah Masjid Kordoba atau yang akrab pula disebut Mezquita. Pondasi masjid ini didirikan oleh Abdurrahman ad-Dakhil pada 784 Masehi di atas situs gereja Katolik yang dibangun oleh bangsa Visigoth di Semenanjung Iberia. Sejak runtuhnya Andalusia sampai hari ini berfungsi sebagai katedral.

Interior Mezquita (Masjid Kordoba), pilar-pilar bergaya Visogoth

Singkat cerita, bangsa Visigoth membaktikan kerajaan secara resmi kepada Kristen Nicea pada tahun 586 Masehi yang pada gilirannya tunduk di depan pasukan Umayyah pada 711 Masehi.

Selama penguasaan Umayyah atas Hispania itu, Mezquita dibagi menjadi dua tempat beribadah, sebagian untuk kaum Nasrani dan sebagian lagi untuk pendatang muslim. Hingga pada 784, ad-Dakhil memerintahkan konversi gereja menjadi seutuhnya masjid. Kisah yang lantas mengingatkan atas apa yang dilakukan Khalifah al-Walid terhadap basilika di Damaskus.

Mihrab Masjid Agung Kordoba, complicated yet stunning

Tiang berjumlah 1.293 berjajar membentuk sebuah barisan dalam ruangan yang besar, menopang langit-langit bangunan Mezquita. Lampu-lampu yang terbuat dari kuningan menyerupai bentuk lonceng Kristen menyinari dan mempermegah suasana interior bangunan. Untuk ornamentasi, para pengrajin Byzantium direkrut, sebagimana mereka pernah diperkerjakan untuk mendekorasi masjid-masjid Umayyah di Suriah.

Masjid megah itu menghabiskan 80.000 keping emas yang sebagian besar berasal dari rampasan perang, dimanfaatkan terutama untuk menghiasi bagian atas struktur bangunan.

Perluasan dan perbaikan terus dilakukan hingga masa al-Hajib al-Mansur (977-1000 M). Menurut catatan Richard Fletcher dalam bukunya Moorish Spain (University of California Press, 1992), masjid ini diperluas oleh Abdurrahman II antara tahun 833 hingga 848 Masehi; lebih diperlebar lagi oleh al-Hakim II antara tahun 961 sampai 966 Masehi; dan puncaknya area ini kembali diperlebar oleh seorang wazir bernama al-Mansur pada tahun 987 sampai 990 Masehi yang menjadi struktur utuh hingga zaman sekarang. Salah satu alasan perluasan area tidak lain adalah jumlah muslim yang semakin hari semakin bertambah.

Sepanjang pemerintahannya, Abdurrahman ad-Dakhil menghiasi Kordoba dengan karya-karya yang secara langsung ia awasi sendiri. Salah satu tindakan pertamanya adalah menyediakan air bagi penduduk Kordoba, dengan cara membangun sebuah akuaduk yang airnya bersumber dari pegunungan di sekitar sana. Ia juga membuat sebuah taman yang paling mengesankan, yang dinamainya Munyah al-Rasifah sebagai kenangan atas vila yang amat indah di dekat Damaskus yang dibangun oleh kakeknya, Hisyam, yang merupakan tempat ad-Dakhil melewatkan lima tahun pertama hidupnya. Oleh karena ketergilaannya pada tanaman, ia menugaskan seorang ahli botani dari Timur untuk mendapatkan buah-buahan berikut tanaman-tanaman hias yang dapat ditumbuhkan secara alami di Andalusia.

Abdurrahman ad-Dakhil juga bertanggung jawab atas pembangunan sebuah dinding kokoh dan tebal yang mengelilingi Kordoba. Di samping itu pula, ia memerintahkan bahwa masjid-masjid, pemandian-pemandian umum, jembatan-jembatan, serta benteng-benteng supaya didirikan di setiap provinsi yang berada dalam teritori kekuasaannya.

Baca juga: Berdiri di Roemah Oei

Selain prestasi berpolitiknya yang memukau, dalam sejarah peradaban Islam ad-Dakhil disebut-sebut sebagai sosok pemimpin yang amat jeli dan teliti. Ia memiliki insting yang bagus di bidang infrastruktur. Ia turut mendesain kerapihan setiap jalan-jalan besar, jembatan, juga saluran-saluran air.

Dalam mengelola keamiran, ad-Dakhil menghidupkan birokrasi berbasis prestasi secara terpusat; untuk membangun kendali yang solid antar petinggi pemerintahan di sepanjang Semenanjung Iberia, ia melembagakan dinas intelijen berikut pasukan tetapnya; dalam bidang keagamaan, ia menjunjung tinggi nilai toleransi dengan melestarikan praktik beragama secara bebas dan teratur, rukun, dan saling gotong royong.

Semua elemen di atas digabungkan untuk mengokohkan pondasi bagi kemakmuran Dinasti Umayyah di masa-masa berikutnya. Tidak aneh bila Abdurrahman ad-Dakhil sering disinggung sebagai salah satu figur penting dalam sejarah peradaban Islam, lebih khusus lagi di era-era kegemilangan.

Ilustrasi Abdurrahman ad-Dakhil, Sang Elang Quraisy yang menguasai Andalusia

Namun boleh jadi prestasi utama Elang Andalusia tersebut bukan semata capaian politik belaka, melainkan nilai estetika Mezquita yang hingga saat ini masih berdiri kokoh biarpun sudah beralih fungsi. Hal yang mungkin perlu direnungkan adalah, bahwa tidak jarang arsitektur memiliki cara sendiri dalam berkisah.

Mezquita menyatukan unsur-unsur kebudayaan Spanyol dalam kurun masa tertentu, ia adalah perpaduan unik antara gaya masjid-masjid di Damaskus tempat lahir ad-Dakhil dengan elemen-elemen khas basilika Kristen tempatnya berkuasa. Perkakas-perkakas yang dipakai pun tidak lain adalah produk peninggalan bangunan Visigoth dan Romawi.

Meskipun masjid tersebut diperluas lebih lanjut oleh para penerusnya, bagian inti interiornya, termasuk garis-garis merah juga lengkungan tapal kuda yang khas, merupakan kontribusi orisinil inisiatif Abdurrahman ad-Dakhil sendiri. Sahabat saya yang sudah sempat berziarah ke sana menuturkan hasil potretannya dengan kalimat: complicated yet stunning.

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.