Akun Instagram @generasi_muda_nu_official pada Rabu (07/08/2022) mengupload tentang 3 pemuda yang sedang berkomentar tentang ketidakbaikkan dari kitab Risālat al-Qushayriyah dan Tafsīr Ibn Kathīr.
Salah satu dari mereka berkomentar bahwa kedua kitab ini adalah contoh kitab yang tak layak diikuti sebab cenderung mengajak pada pendapat kedua pengarang tersebut. Padahal (menurut pemuda tersebut) apa yang ada di al-Qur’an atau Hadis cukup langsung kita pahami saja tidak perlu kitab-kitab sejenis tersebut. Di akhir video tersebut terlihat bahwa salah satu pemuda membakar terjemah kedua kitab tersebut.
Aksi tersebut tentu lahir dari sempitnya kecerdasan dan sikap arogan. Sebab dalam memahami al-Qur’an dan Hadis sangat tidak cukup hanya tahu makna bahasa Arabnya, terlebih hanya dari terjemahannya. Karena setiap Ayat dan Hadis yang turun ada mā ḥawla al-naṣṣ (sesuatu yang terjadi di sekitar Ayat dan Hadis tersebut kala turun), yakni asbāb al-nuzūl dan asbāb al-wurūd. Maka perlu perangkat keilmuan yang komprehensif dalam memahami Ayat dan Hadis. Dan kita tidak mampu mencapai pemahaman tersebut kecuali dengan bantuan para Ulama dengan literasi kitab-kitab yang autentik dan sanad ilmu yang menyambung.
Saat Ayat atau Hadis dipahami hanya berbekal pemahaman semata tanpa mengetahui mā ḥawla al-naṣṣ, akan menimbulkan pemahaman yang salah sebagaimana terjadi di kalangan orang Khawarij. Hingga kalau itu sahabat Ibn Abbas ra. datang kepada kaum Khawarij yang arogan memahami Ayat dengan berkata:
أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ ، وَمِنْ عِنْدِ ابْنِ عَمِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَصِهْرِهِ ، وَعَلَيْهِمْ نَزَلَ الْقُرْآنُ ، فَهُمْ أَعْلَمُ بِتَأْوِيلِهِ مِنْكُمْ ، وَلَيْسَ فِيكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ؛ لِأُبْلِغَكُمْ مَا يَقُولُونَ…
“Aku datang pada kalian mewakili para sahabat Nabi saw. dari kaum Muhajirin dan Anshar, juga mewakili anak dari paman Nabi saw. (maksudnya; Ali b. Abi Thalib yang kala itu dimusuhi oleh kaum Khawarij). Mereka (para Sahabat Nabi saw.) lah yang membersamai Nabi saw., Al Qur’an diturunkan di tengah-tengah mereka, dan mereka lah yang paling memahami makna Al Qur’an dari pada kalian. Dan tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi saw. Akan aku sampaikan perkataan mereka yang lebih benar dari perkataan kalian…”
Khabar sahabat Ibn Abbas ra. di atas menunjukkan, bahwa butuh ilmu dalam memahami Ayat. Ilmu itu ada pada Sahabat, lalu pemahaman Sahabat-sahabat tersebut diturunkan kepada Tabi’in, lalu ke Tabi’ al-Tabi’in dan seterusnya hingga ke para Imam Fikih yang Mu’tabar (Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan Ahmad b.Hanbal ra.). Kemudian turun ke umat ini dengan bantuan para murid Imam-imam tersebut secara berantai dan menyambung sanad keilmuannya.
Maka, bermazhab itu adalah cara kita melaksanakan syariah yang ada dengan pemahaman yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Justu kalau ada yang merasa cukup memahami syariah ini dengan langsung merujuk pada Ayat atau Hadis, sesungguhnya ia telah memaksakan pemahamannya sendiri dan sok tahu layaknya Khawarij. Lebih lucu lagi kalau hanya berbekal terjemah berani menjelek-jelekkan kitab-kitab Ulama terdahulu yang mempunyai sanad ilmu.
Tentang Syeikh Abū al-Qāsim dan Imam Ibn Kathīr
Risālat al-Qushayriyah disusun oleh Syeikh Abū al-Qāsim Abd al-Karīm b. Hawāzin al-Qushayrī (378-465 H.) kelahiran Naisabur. Syeikh Abū al-Qāsim bermazhab Syafi’i dan berakidah Asy’ariyah. Di samping masyhur sebagai Guru Tasawuf, beliau juga tergolong ahli Fikih, Tafsir, Hadis, Ushul dan Adab.
Syeikh Abū al-Qāsim berguru pada Syeikh Abū ‘Alī al-Daqqāq (w. 405 H.) yang kemudian hari menjadi mertua beliau. Syeikh al-Daqqāq sendiri berguru pada Syeikh al-Qaffāl al-Kabīr (al-Shāshī) yang wafat pada 365 H. Syeikh al-Qaffāl berguru pada Syeikh Ibn Ḥuzaimah (w. 311 H.), Ibn Jarīr al-Ṭabarī (w. 310 H.) dan Abū al-Qāsim al-Baghawī (w. 317 H.). Ibn Ḥuzaimah berguru pada Imam Muslim penyusun kitab Ṣaḥīḥ Muslim juga pada al-Muzanī murid Imam Syafi’i.
Dari sanad keilmuan Syeikh Abū al-Qāsim di atas maka tak ayal bahwa ilmu yang beliau miliki dapat dipertanggungjawabkan keauntetikannya sebab sambung dengan para Ahli Hadis dan Fikih. Dari para Ahli Hadis dan Fikih itulah kita akan mendapatkan makna dan maksud teks al-Qur’an dan Hadis dengan benar sehingga dapat mengamalkan tuntunan ajaran syariah dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sedangkan Tafsīr Ibn Kathīr disusun oleh Imam Ismā‘īl b. ‘Umar Kathīr (701-774 H.) kelahiran Majdal Syiria. Di samping masyhur sebagai seorang ahli Tafsir dan bermazhab Syafi’i dan berakidah ‘Asy’ari (ada riwayat mengatakan beliau berakidah Salafi seperti salah satu gurunya; Ibnu Qayyim), Imam Ibn Kathīr juga figur Ulama ahli Fikih, Hadis, dan Sejarah.
Salah satu guru dari Imam Ibn Kathīr adalah Imam al-Dhahabī (w. 784 H.), seorang ahli Hadis dan ahli Sejarah yang menyusun kitab Tārīkh al-Islām dan Siyar A‘lām al-Nubalā’. Dari Imam al-Dhahabī ini tersambung sanad keilmuannya hingga Imam Abū al-Ḥasan al-‘Ash‘arī (w.324 H.) dan al-Baghawī (w. 317 H.).
Melihat sanad ilmu di atas juga jelas bahwa keilmuan Imam Ibn Kathīr dapat diikuti dan diadopsi untuk kita amalkan. Hal ini sebab pengetahuan beliau lahir dari didikan ulama-ulama yang dapat dipertanggungjawabkan ilmu-ilmunya. Lantas layakkah kita menjelek-jelekkan dan membakar kitab beliau berdua?