Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Meneladani Nasionalisme Para Nabi

Avatar photo
26
×

Meneladani Nasionalisme Para Nabi

Share this article

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

“Nabi Yusuf berkata, ‘Jadikan aku bendaharawan negeri (Mesir) ini. Sungguh aku orang yang mempunyai tingkat kredibilitas dan integritas tinggi.’” (QS. Yusuf [12]: 55)

Tahun ini usia negeri kita tercinta Indonesia 75 tahun, sebuah bilangan yang tidak lagi sedikit atau muda, bahkan tergolong banyak dan tua. Pahit-manis kehidupan telah dilalui negara dengan jumlah pulau terbesar di dunia itu, namun meskipun terus menua, tentu harapan kita semua bumi Nusantara ini berumur selamanya tanpa batas angka. Cita-cita tersebut akan sia-sia, apabila seluruh rakyat Indonesia tidak memiliki kepedulian dan perhatian terhadap bangsa besar ini.

Ulama kharismatik asal rembang, KH. Mustafa Bisri selalu menggaungkan dalam forum-forum kebangsaan, “Indonesia adalah rumah kita, tempat kita lahir, tempat kita mencari nafkah, tempat kita bersujud, maka kitalah yang harus menjaga secara bersama-sama Indonesia ini dan jangan biarkan orang lain merusaknya.” Kalimat kyai yang akrab dengan panggilan Gus Mus itu mempunyai pesan agar kita turut bersama-sama menjaga, merawat, dan mencintai negeri ini. Dawuh agamawan alumni Universitas Al-Azhar Kairo–Mesir di atas sesuai dengan apa yang telah dicontohkan para Nabi dalam merawat negeri, di antaranya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

 Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkali-kali memberikan teladan nasionalisme dan cinta Tanah Air kepada generasi setelahnya. Tercatat dalam Al-Quran, ayah Nabi Ismail dan Ishaq itu melangitkan doa agar negerinya (Mekkah) selalu diberi keamanan.

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman dan berilah penduduknya rezeki dari buah-buahan, yakni orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir di antara mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 126)

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini aman dan jauhkanlah aku dan anak-anakku dari menyembah berhala.” (QS. Ibrahim [14]: 35)

Mengapa nabi berjuluk Khalilurrahman itu meminta keamanan? Ya, karena peradaban dan kemajuan suatu bangsa lahir dari situasi yang aman. Kita tidak akan bisa mengatur perekonomian, memajukan pendidikan, mengentas kemiskinan, jika kondisi sekitar kita tidak aman. Demikianlah ungkapan Dr. Abu Zaid Syilbi dalam bukunya Tarikh al-Hadlarah al-islamiyah wal Fikr al-Islami. Negeri yang terganggu isu konflik berkepanjangan tak akan sempat merencanakan lompatan ekonomi, mengurangi pengangguran, dan mengembangkan riset serta keilmuan karena sibuk bertikai antar anak bangsa.

Tidak jauh dari sang kakek, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam juga memiliki nasionalisme yang sungguh meresap ke dalam sanubari. Benar kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam merupakan pribadi yang sangat mencintai tanah kelahirannya, Mekkah, bahkan saking cintanya kepada Mekkah, Nabi terakhir itu berat melangkahkan kaki meninggalkan kota kelahirannya. Diceritakan dalam kitab Ufuqul ‘Adzamah Al-Muhammadiyah, saat Rasulullah berada di daerah perbatasan bernama Al-Juhfah dan hendak berpisah dengan Mekkah, beliau membalikkan badan menghadap Mekkah dan berkata,

“Ya Allah, Engkau tahu bahwa mereka mengusirku dari negeri yang paling aku cintai (Mekkah), maka tempatkanlah aku di negeri yang paling Engkau cintai (Madinah).”

Dalam keterangan lain, Nabi mengungkapkan kecintaannya kepada Mekkah dengan ungkapan:

مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ أَخْرَجُونِي مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ

“Sungguh engkau (Makkah) adalah negeri terbaik dan paling aku cintai. Andaikan kaummu tidak mengusirku, niscaya aku tidak akan tinggal di negeri lain selainmu,” (HR. Hakim dari Abdullah bin Abbas ra).

Tak hanya di Mekkah, setelah beberapa saat menetap di Madinah, para Sahabat merasakan ketidaknyamanan karena Madinah terserang wabah penyakit mematikan. Abu Bakar, Bilal bin Rabah ra. dan para Sahabat lain mengeluhkan keadaan saat itu. Akhirnya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam memanjatkan doa,

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا المَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا وَفِي مُدِّنَا، وَصَحِّحْهَا لَنَا، وَانْقُلْ حُمَّاهَا إِلَى الجُحْفَةِ

“Ya Allah, berilah kami rasa cinta kepada Madinah seperti cinta kami untuk Mekkah atau bahkan lebih. Pindahkanlah wabah penyakit Madinah ke Al-Juhfah dan berkahilah Mud dan Sho’ kami.” (HR. Bukhari dari Aisyah ra.)

Lima tahun setelah peristiwa memilukan tersebut, terjadi perang Khandaq (parit) atau disebut juga dengan Perang Ahzab (kelompok-kelompok). Saat itu umat Islam di Madinah hendak diserang oleh Quraisy yang telah bersekutu dengan kelompok-kelompok lain baik dari eksternal Madinah yaitu Ghatafan dan beberapa kabilah lainnya, maupun dari internal Madinah; Yahudi Bani Quraidzah. Mereka datang menggempur umat Islam dengan mengepung kota Madinah. Rencana mereka ini berhasil tercium oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan dengan sigap beliau segera mengumpulkan para Sahabat untuk bermusyawarah dan mereka sepakat menggali parit di sisi selatan Madinah.

Pakar sejarah, Dr. Raghib As-Sirjani mengatakkan, ukuran parit yang digali umat Islam sekitar; lebar 5 meter, dalam 5 meter dan panjang 12 kilometer dalam keadaan lapar dan  di tengah musim dingin yang menggigit. Dengan parit itu, orang-orang kafir Quraisy tidak bisa memasuki kta Madinah. Selama satu bulan Madinah dikepung, kemudian Allah subhanahu wata’alaa memberikan pertolongan dengan mengirimkan angin besar yang menghancurkan perkemahan musuh. Lalu mereka memutuskan untuk kembali pulang ke daerah masing-masing. “Dan Allah menghalau orang-orang kafir itu dalam keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Ahzab: 25). Untuk menyelamatkan negara dari musuh, Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabat rela berminggu-minggu menggali parit. Pagi, siang, malam baju mereka berdebu, badan mereka lusuh, keringat bahkan darah mereka bercucuran dari tubuh.

Teladan nasionalisme terakhir sebagai penutup tulisan ini datang dari Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Nabi yang juga ahli tafsir mimpi  itu pernah mendeklarasikan dirinya di depan raja Mesir sebagai orang yang memiliki kredibilitas dan integritas tinggi. Putra Nabi Ya’kub tersebut juga meminta raja agar ia dijadikan bendaharawan negara karena nasib Mesir yang sedang berada di ujung tanduk.

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Nabi Yusuf berkata, “Jadikan aku bendaharawan negeri (Mesir) ini. Sungguh aku orang yang mempunyai tingkat kredibilitas dan integritas tinggi.” (QS. Yusuf: 55)

Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rowi mengulas ayat di atas dalam tafsirnya. Ulama fenomenal Mesir yang meninggal pada tahun 1997 itu menulis, Nabi Yusuf ‘alaihissalam bukan meminta kedudukan, melainkan ia menginginkan adanya perubahan dalam negerinya. Sebagai penduduk yang mencintai negeri dan rakyatnya, Nabi yang terkenal dengan paras tampannya itu menawarkan peta program kerjanya kepada raja yang berkuasa dan menjamin keberhasilan atas kinerjanya tersebut.

Nabi Yusuf ‘alaihissalam juga secara terang-terangan mengatakan bahwa dirinya orang yang amanah dan sangat mengerti tentang krisis dan masalah yang akan dialami Mesir. Menariknya, Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak menjual kenabian dan kerasulannya kepada raja yang -saat itu- kafir. Suami Zulaikha itu lebih memilih menonjolkan integritas, memetakan permasalahan, dan membahas solusi secara gamblang. Tidak menjadikan agama dan ajaran yang dibawanya sebagai bahan kampanye di depan raja.

Andaikan Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak mengambil peran itu, pasti masyarakat Mesir akan mati kelaparan karena musim paceklik yang berlangsung selama tujuh tahun berturut-turut. Pengetahuan atas permasalahan bangsa sekaligus solusi yang ditawarkan Nabi Yusuf ‘alaihissalam, bukan pepesan kosong yang tidak tahu entah apa yang akan dilakukan dikemudian hari yang penting berkuasa terlebih dulu. Inilah yang membedakan antara niat tulus ingin merubah negara menjadi lebih baik dengan hasrat kekuasaan untuk menendang lawan politik. Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak pernah memiliki nafsu politik meskipun hanya sekecil titik.

Tentu kepribadian, sifat, dan perilaku para nabi dan rasul menjadi role model dalam kehidupan kita sehari-hari, termasuk tentang nasionalisme dan cinta Tanah Air. Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, dan Nabi Muhammad ‘alaihimussalam telah mencontohkan cara merawat negeri agar terhindar dari kata “kehancuran”, sekarang kembali kepada kita, ingin menjadikan para Nabi dan Rasul itu sebagai teladan atau justru kita susah-susah mencari sosok lain untuk ditiru tapi malah membawa perpecahan dan kehancuran untuk negeri kita tercinta, INDONESIA. Naudzubillah.

Mari bersama meneladani para Nabi dalam merawat negeri. Semoga INDONESIA selalu aman, damai, makmur, dan menjadi negara baldatun toyyibatun wa rabbun ghafurun. Amin.

                                                                                                                Surabaya, 11 Agustus 2020

Kontributor

  • Achmad Ainul Yaqin

    Bernama lengkap Achmad Ainul Yaqin, Lc., M.Ag. Pengasuh Ponpes Tafsir Hadis SHOHIHUDDIN 2 Prapen Surabaya | Narasumber Radio Suara Muslim Surabaya