Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Menelisik asal-usul budaya patriarki terhadap perempuan (I)

Avatar photo
16
×

Menelisik asal-usul budaya patriarki terhadap perempuan (I)

Share this article

Pembicaraan seputar perempuan seolah-olah tak akan pernah habis dan bahkan kian menarik untuk diangkat dan didiskusikan sampai kapanpun. Pasalnya, kendati zaman telah berubah, namun ada yang masih sama, yaitu pandangan bahwa perempuan adalah sosok makhluk ciptaan Tuhan yang menjadi titik lemah bagi keimanan. Juga masih melekatnya pandangan sikap misoginis dan citra negatif: perempuan lemah, tidak pantas berkiprah di ruang publik, sebagai pelengkap penderitaan, dan lain-lain.

Ironisnya, pandangan negatif terhadap sosok perempuan tersebut telah menjadi paradigma yang mengakar kuat di tengah masyarakat. Bahkan, dijadikan sebagai suatu legitimasi atau pembenaran bagi kalangan laki-laki serta masyarakat pada umumnya; perempuan lebih rendah dari laki-laki, baik dari segi fisik maupun kapasitas keilmuan. Akibatnya, perempuan lebih banyak dipingit dalam rumah serta nasibnya seakan ditentukan oleh struktur dominasi pria. Hal ihwal juga berlaku dalam urusan rumah tangga.

Lantas pertanyaan yang muncul kemudian, dari manakah pandangan dan argumen tersebut berasal? Atau, apakah memang sudah menjadi suratan takdir bahwa seorang perempuan pantas atau layak direndahkan, tidak dihargai, dan lain-lain? Dari pertanyaan ini, tentu saja, kita bisa menduga perihal stereotip tersebut, salah satunya yakni ditopang oleh doktrin agama yang diyakini sebagai kebenaran mutlak yang tidak bisa diotak-atik, apalagi diubah dan dikritisi.

Salah satu bagian dalil dari ayat Al-Quran yang acap dikutip untuk menunjukkan serta memperkuat argumentasi ihwal derajat laki-laki lebih tinggi (superior) daripada derajat para perempuan (inferior) adalah bagian dari Surat al-Nisa’ ayat 34, yang berbunyi:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin atas kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. an-Nisa’: 34)

Baca juga: Gugatan Al-Azhar atas Tuduhan Legalitas KDRT

Lafaz Qawwamun, kebanyakan mufasir klasik mengartikannya sebagai pemimpin, penanggung-jawab, penguasa, pelindung, dan sejenisnya. Argumen yang dikemukakan ihwal kepemimpinan laki-laki atas perempuan ini, adalah karena seorang laki-laki memiliki kelebihan ketimbang perempuan. Dari sini, dapat dipahami bahwa pernyataan Tuhan tersebut merupakan sesuatu hal yang pasti dan tak bisa diubah. Sehingga memunculkan sikap misoginis dan kesewenang-wenangan terhadap perempuan.

Selain itu, mereka juga sering kali merujuk pada salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yang berbunyi: “Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita”. Menurutnya, hadis ini secara tegas dan lugas melegalkan perintah akan larangan kepada seorang perempuan untuk memimpin suatu negeri.

Dengan pemahaman yang demikian, agama (Islam) seolah-olah menjadi dasar utama untuk menyudutkan kaum perempuan dan melanggengkan budaya patriarki. Akibatnya, menimbulkan ketidakidealan agama dalam menjalankan fungsinya sebagai Hudan Linnas (petunjuk bagi umat manusia) serta penopang dalam menegakkan kemaslahatan bagi umatnya.

Bertolak dari cara pandang inilah, patut kiranya menelisik kembali tentang asal-usul budaya patriarki terhadap perempuan yang sampai kiwari masih ekses dan mengakar kuat di tengah masyarakat, walaupun zaman telah berubah dan berkembang cukup pesat. Alih-alih banyak perempuan yang telah memainkan peran penting di ruang publik dan pemerintahan, justru pandangan miring terhadapnya semakin merebak dan melekat dalam diri kebanyakan masyarakat.

Asal-usul budaya patriarki

Menarik, mengakarnya cara pandangan seperti ini di tengah masyarakat, tidak terkecuali di lingkungan umat Islam sendiri, sejatinya merupakan akibat dari hegemoni masyarakat pra-Islam. Seperti diketahui bersama bahwa sejak zaman dahulu (sebelum adanya Islam) posisi perempuan secara sosial sangat tidak dihargai dan tidak memiliki kebebasan. Artinya, para perempuan kala itu tidak dapat memainkan peranan yang independen, baik di bidang sosial, ekonomi, maupun politik.

Pun, dalam status perkawinan perempuan tampak lebih buruk kala itu. Sebab, ia harus hidup dengan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari sepuluh. Bahkan, yang membuat lebih tragis nasib perempuan adalah keadaan adanya perempuan tersebut dijadikan anggapan sebagai beban hidup serta pelengkap penderitaan. Di masa jahiliyah misalnya, apabila lahir seorang anak perempuan, maka bayi tersebut dikubur hidup-hidup karena dianggap aib keluarga. Sungguh ironis nasib perempuan pada masa ini. Seolah-olah tak memiliki ruang sedikit pun kecuali sumur, kasur, dan dapur.

Baca juga: Ulama Perempuan dalam Tradisi Keilmuan Islam

Argumen sejarah ini diperkuat oleh pendapat Amin Abdullah yang menyatakan, bahwa adanya ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki, pada hakikatnya hanyalah merupakan hegemoni sejarah kaum jahiliyah yang kerap dan senang menggambarkan kedudukan dan posisi seorang perempuan dalam tatanan sosial secara tidak adil, tidak setara, bernuansa diskriminatif, dan lain sebagainya.

Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan, pandangan yang menganggap laki-laki superior dan perempuan inferior disebabkan karena faktor kedangkalan pengetahuan akan ilmu agama, serta kekeliruan dan kesalahan dalam memahami dan menafsirkan teks agama. Karena itulah, tidak jarang agama (Islam) acap dijadikan sebagai justifikasi dan tujuan yang tidak dibenarkan, bahkan bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

Bersambung: Menelisik asal-usul budaya patriarki terhadap perempuan (II)

Kontributor

  • Saidun Fiddaraini

    Alumnus Ma'had Aly PP Nurul Jadid, Paiton, kini mengajar di PP Zainul Huda, Arjasa Sumenep. Juga penikmat kajian keislaman dan filsafat.