Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Menelisik asal-usul budaya patriarki terhadap perempuan (II)

Avatar photo
43
×

Menelisik asal-usul budaya patriarki terhadap perempuan (II)

Share this article

Kemudian yang tidak kala menariknya, adalah pandangan Asghar Ali Engineer, seorang pemikir muslim progresif sekaligus feminis asal India, yang menyatakan, bahwa mengakarnya budaya patriarki tidak lain dikarenakan adanya kekeliruan dalam memahami teks agama.

Padahal, menurutnya, Al-Quran dengan tegas dan lugas memberikan kedudukan yang cukup mulia baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Artinya, status sosial seorang perempuan sama dengan status sosial kaum laki-laki. Yang membedakan adalah tingkat ketakwaan mereka kepada Allah.

Sebelumnya: Menelisik asal-usul budaya patriarki terhadap perempuan (I)

Masih menurut Engineer, pada hakikatnya manusia (baik laki-laki maupun perempuan) adalah makhluk yang mempunyai kebebasan sendiri, makhluk yang cerdas, serta cenderung pada kesetaraan dan keadilan. Karenanya, secara alamiah manusia akan melawan segala bentuk penindasan yang dapat mengancam serta merendahkan harkat dan martabat kemanusiaannya. Begitu pula dalam hal budaya patriarki. Seorang perempuan akan memperjuangkan hak-hak mereka untuk memperoleh kesetaraan.

Lebih jauh lagi, Riffat Hassan, seorang pemikir feminis dan sarjana kajian Islam asal Pakistan, juga menelurkan gagasannya ihwal mengakarnya budaya patriarki hingga kiwari di tengah masyarakat. Menarik, Riffat Hassan menyodorkan argumen yang cukup menukik sekaligus sebagai kritik atas cara pandang sebagian para cendekiawan Muslim tentang inferioritas kaum perempuan dan superioritas kaum laki-laki, sebagaimana termaktub dalam Surat an-Nisa’ ayat 34.

Menurut Riffat Hassan, apa yang telah terjadi selama bertahun-tahun pada perempuan perihal ketidaksederajatannya dengan laki-laki, berasal dari tiga asumsi dasar teologis: Pertama, argumen bahwa ciptaan utama Tuhan adalah laki-laki, bukan perempuan, karena perempuan dipercayai atau diyakini diciptakan dari tulang rusuk laki-laki dan oleh karena itu bersifat derivatif, juga secara ontologis bersifat sekunder.

Kedua, bahwa perempuan, bukan laki-laki, adalah agen utama apa yang biasanya dilukiskan sebagai “Kejatuhan Manusia” atau pengusiran manusia dari Taman Eden (surga) dan oleh karena itu, semua “anak Hawa” kerap kali dijatuhi kebencian, kecurigaan, diskriminasi, dan kehinaan. Dan ketiga, bahwa perempuan bukan hanya diciptakan dari laki-laki, namun juga untuk laki-laki, yang membuat eksistensinya bersifat instrumental dan bukan penting secara fundamental.

Bagi Riffat Hassan, argumen yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam), padahal kenyataannya hanyalah mitos belaka yang berasal dari cerita Yahwis tentang penciptaan dalam (Kitab) Kejadian 2: 18-24, dan mitos ini tidak punya dasar apapun dalam Al-Quran, yang dalam konteks penciptaan manusia selalu memaparkannya dengan cara egaliter. Bahkan, dalam tiga puluh atau sekian bagian dalam Al-Quran, tidak ada pernyataan yang bisa ditafsirkan untuk menegaskan atau mengesankan bahwa laki-laki diciptakan sebelum perempuan, atau bahwa perempuan diciptakan dari laki-laki.

Walau begitu, lanjut Riffat Hassan, kebanyakan umat Muslim mengamini anggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Lantas, bagaimana pemahaman yang keliru ini bisa masuk di kalangan orang-orang Muslim padahal mereka mungkin tidak pernah membaca Kitab Kejadian? Ternyata dalam beberapa hadis perempuan disebut diciptakan dari “tulang rusuk” laki-laki dengan berbagai macam cara: sebagai tulang rusuk laki-laki, bagaikan sebuah tulang rusuk laki-laki, dan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Ada enam hadis, tiga dari Shahih al-Bukhari, dan tiga dari Shahih Muslim, yang kesemuanya adalah hadis-hadis yang dianggap berasal dari Abu Hurairah, yang menggambarkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Perlunya penafsiran ulang teks agama

Dari sini, jelaslah bahwa pandangan yang menganggap bahwa status sosial atau kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, adalah keliru. Juga bertolak belakang dengan semangat dan fungsi agama (Islam), yakni petunjuk bagi umat manusia serta penopang dalam menegakkan kemaslahatan bagi umatnya. Dan karena itulah, diperlukan suatu interpretasi atau penafsiran ulang tentang dalil-dalil yang bias gender sebagaimana disebutkan di atas.

Buya Hamka misalnya, menyatakan bahwa Surat an-Nisa’ ayat 34 tersebut secara tekstual memang menjelaskan atas kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan. Akan tetapi di dalamnya terdapat hak dan kewajiban yang setara untuk kaum laki-laki dan perempuan. Namun, jika keadaan memerlukan perempuan untuk diangkat menjadi pemimpin, dan ia sanggup serta mampu menjalankan perannya menjadi pemimpin, maka menurut Hamka hal ihwal sangat diperbolehkan bahkan niscaya dilakukan.

Untuk memperkuat argumennya, Hamka merujuk pada fakta sejarah tentang kerajaan Islam di Aceh, pada tahun 1641. Ketika Raja Iskandar Agoyat meninggal, istrinya kemudian memilih putrinya sebagai pengganti pemegang kerajaan disebabkan raja Iskandar tak memiliki seorang putra. Dan putrinya (yang memimpin tersebut) diberi gelar Sultan Taj’ul Alam Syafiyatuddin Syah. Ia berkuasa selama 34 tahun. Juga tercatat sebagai seorang raja atau pemimpin perempuan pertama di Indonesia.

Sementara KH Husein Muhammad, ketika menafsirkan Surat an-Nisa’ ayat 34, ia memosisikan ayat ini secara kontekstual. Karena, menurutnya, turunnya ayat tersebut turun dalam sistem budaya patriarki, dan secara khusus untuk meminimalisir kekerasan yang akan timbul saat perempuan diperbolehkan membalas tindak kekerasan yang dilakukan suaminya secara setara. Dengan begitu, kepemimpinan laki-laki menjadi solusi kala itu.

Masih menurut Kiai Husein, kepemimpinan laki-laki atas perempuan pada ayat tersebut adalah pemaknaan yang sarat akan muatan sosio-politis. Sehingga, bila suatu saat keadaan mengalami pergeseran, yang disinyalir oleh perubahan kebiasaan, lalu lahir budaya baru, maka pemaknaan ayat tersebut juga harus berubah. Seperti sekarang ini, saat perempuan banyak yang menunjukkan kiprah baik di lingkup rumah tangga maupun publik.

Selain itu, dalam ajaran Islam kedudukan antara laki-laki dan perempuan setara. Artinya, Islam tidak memihak di antara salah satunya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Hujarat ayat 11, yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah”.

Dari ayat ini, secara tidak langsung Allah menyatakan tentang derajat atau kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama dalam pandangan Allah. Dan satu-satunya yang membedakan kedudukan manusia di hadapan-Nya adalah tingkat ketakwaan, dan bukan jenis kelamin. Juga, ayat ini menjadi dasar bahwa sejak kedatangannya Islam, merupakan agama yang sangat menjaga serta menghargai harkat dan martabat kaum perempuan; dengan bertolak pada prinsip persaudaraan, kesetaraan, dan keadilan.

Lantas pertanyaan yang muncul kemudian adalah, masihkah kita memandang rendah dan negatif terhadap seorang perempuan, apalagi dalam konteks kiwari? Atau sebaliknya, yakni memosisikan perempuan sebagai mitra bagi kaum laki-laki dalam segala hal apapun? Wallahu a’lam.

Kontributor

  • Saidun Fiddaraini

    Alumnus Ma'had Aly PP Nurul Jadid, Paiton, kini mengajar di PP Zainul Huda, Arjasa Sumenep. Juga penikmat kajian keislaman dan filsafat.