Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Mengapa Allah Rahasiakan Rezeki Kita?

Avatar photo
31
×

Mengapa Allah Rahasiakan Rezeki Kita?

Share this article

Bagaimana perasaanmu jika ada yang menuduhmu mudah ingkar janji? Kamu pasti tidak suka. Padahal ada banyak sebab yang membuatmu mudah ingkar janji. Lalu bayangkan bagaimana kalau kamu menuduh Allah ingkar janji, padahal Dia berfirman,

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا

 “Siapakah yang lebih benar perkataannya selain Allah?”  (QS. An-Nisa` [4]: 144)

Menggalaukan masa depan, merisaukan keadaan buruk dan berlebihan memikirkan rezeki termasuk di antara perbuatan menuduh Allah ingkar janji.

Bukankah Allah berjanji  dalam Al-Qur’am,

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

“Tidak ada makhluk yang hidup di bumi ini melainkan rezekinya dijamin oleh Allah sebagai wujud kemurahan-Nya kepada makhluk. Dia mengetahui tempat tinggalnya di bumi dan mengetahui tempat di mana ia akan mati. Setiap makhluk hidup bersama rezekinya, tempat tinggalnya dan tempat matinya semuanya tercatat di dalam kitab yang jelas.” (QS. Hud [11] : 6)

Allah mengatakan (على الله) dengan kata على, bukan dengan Lam (لِلّه). Kata ‘Ala dalam bahasa Arab biasanya menunjukkan makna kewajiban dan ketetapan. Berbeda dengan Lam yang mengisyaratkan adanya pilihan. Kalau Allah mengatakan Lillahi Rizquha, Maka maknanya: “Boleh Allah memberi rezeki atau tidak memberi rezeki.”

Allah berfirman,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَٱلْعَٰقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

“Perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberimu rezeki.” (QS. Thaha [20]: 132)

Ketika datang perintah shalat dan bersabar, seakan kita bertanya-tanya, “Ya Allah, kami disibukkan dengan ibadah, padahal kami juga perlu rezeki untuk bertahan hidup.” Lalu Allah menjawab, “Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberimu rezeki.”

Dalam ayat lain, Allah berfirman,

وَكَأَيِّن مِّن دَابَّةٍ لَّا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Betapa banyak binatang yang tidak dapat membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allahlah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 60)

Dalam ayat di atas, Allah lebih dahulu menyebut “memberi rezeki kepada binatang” daripada kepada manusia. Dalam bahasa Arab, sesuatu yang didahulukan menunjukkan ia lebih diperhatikan dan lebih penting. Menurut para ulama tafsir, manusia disebut belakangan sesudah binatang dalam ayat ini, padahal binatang diciptakan untuk keperluan manusia, karena manusia memilik watak berburuk sangka kepada Allah terkait rezeki.

Kemudian Allah SWT menyembunyikan rezeki kita bukan untuk membuat kita cemas, justru untuk memudahkan kita menjalani hidup.  Bayangkan kalau semua rezeki Allah bagi ketika kita lahir, maka akan sulit bagi kita untuk membawanya kemana-mana, memberati perjalanan.

Andai rezeki kita sudah dibagi semuanya, itu hanya akan membuat kita sedih. Sebab kita tahu setiap kita menggunakan rezeki, berarti kita mengurangi jatah umur. Apakah kita tidak stres jika umur tahu umur kita tinggal sedikit lagi? Allah sembunyikan rezeki, agar hatimu tenang.

Dihikayatkan, seorang lelaki datang mengadu kepada orang shaleh karena memiliki banyak anak  dan hanya sedikit yang bekerja. Orang shaleh tadi memberi perintah, “Pulanglah, kalau kamu temui di rumahmu orang yang kamu tanggung rezekinya, maka keluarkan dia dari rumah. Kalau kamu dapati orang yang Allah tanggung rezekinya, maka biarkan dia di rumah.”

Lelaki itu akhirnya sadar. Ia menghembuskan nafas dalam-dalam lalu melepaskan dengan tenang. Ia merasa memikul beban yang tak seharusnya ia pikul.

Kontributor

  • Fahmi Ain Fathah

    Alumni Al-Azhar Kairo Mesir, Fakultas Bahasa Arab. Asal dari Tanjung, Kalimantan Selatan. Kini tengah melanjutkan studi jenjang S2 Al-Azhar. Meminati kajian Manthiq dan Balaghah