Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Mengenal Istilah Amrad dalam Fikih dan Hukum Melihatnya

Avatar photo
28
×

Mengenal Istilah Amrad dalam Fikih dan Hukum Melihatnya

Share this article

Para ulama fikih memiliki kaidah-kaidah universal yang menjadi patokan mereka dalam menetapkan sebuah hukum. Salah satunya: Adh-Dhararu Yuzalu, “marabahaya harus dihilangkan”.

Atas dasar ini, selain menghilangkan bahaya, para ahli fikih juga mengantisipasi datangnya bahaya. Misalnya dalam kitab-kitab fikih, para ulama mengantisipasi adanya ketertarikan sesama jenis dengan dibuatnya larangan pria melihat pria lainnya yang belum tumbuh jenggot dan kumisnya.

Secara naluri, memang seseorang pria seharusnya menyukai seorang perempuan. Namun di beberapa kasus yang terjadi, ada beberapa pria justru menyukai sesama jenisnya. Tidak diragukan, bahwa fenomena ini ada sebab di baliknya. Salah satunya adalah Amrad yang kerap dibahas di kitab-kitab fikih klasik.

Dalam istilah Arab, jika seorang pria yang lumrahnya ditumbuhi kumis dan jenggot, namun kedua rambut tersebut belum tumbuh, maka dinamakan dengan Amrad.

Dalam Kamus Lisan Al-‘Arab, kata Amrad diambil dari kata al-mardu yang berarti bersih yang menyeluruh. Menukil kalimat ini, Ibnu al-Arabi menambahkan bahwa Amrad adalah pipi yang bersih dari jenggot dan kumis.

Dalam fikih, yang menjadi perkara dalam masalah ini adalah ditakutkan adanya penyimpangan seksual yang terjadi sesama lelaki. Oleh karena itu, ulama memiliki perhatian khusus dalam hal ini.

Baca juga: Kisah Santri yang Mendapat Istri sebab Sepotong Terong

Para ulama, berbeda pendapat dalam hukum melihat Amrad atau lelaki yang belum tumbuh kumis dan jenggotnya:

Adapun Imam An-Nawawi dalam kitab At-Tibyan memandang bahwa wajib bagi setiap orang yang beriman untuk menjaga pandangannya dari perkara-perkara yang tidak diperbolehkan.

Imam An-Nawawi mencontohkan hal yang tidak diperbolehkan dilihat dengan melihat perempuan yang bukan mahramnya, dan anak-anak lelaki yang yang bersih wajahnya. Menurut beliau, melihat lelaki yang masih bersih wajahnya haram tanpa disertai hajat dengan dalil:

قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم

“Katakanlah (wahai Muhammad) bagi orang-orang yang beriman untuk menundukkan pandangannya.” (QS. An-Nur 30)

Menurut beliau juga, lelaki yang masih bersih wajahnya sama hukumnya dengan perempuan, bahwa ada di antara mereka yang keindahannya melebihi perempuan. Beliau memandang bahwa pengharaman memandang Amrad lebih diutamakan dari memandang ke perempuan, dengan alasan banyaknya individu yang meremehkan hal ini.

Pengharaman yang ditetapkan oleh Imam An-Nawawi di atas bersifat mutlak. Artinya baik melihatnya dengan syahwat ataupun tidak, baik aman dari fitnah maupun tidak, hukumnya haram.

Baca juga: Perempuan di Tengah Pandemi dan Budaya Patriarki

Di dalam kitab yang lain, yaitu Syarah Shahih Muslim Imam An-Nawawi menerangkan alasan di balik haramnya melihat ke Amrad. Beliau berkata:

وَدَلِيلُهُ أَنَّهُ فِي مَعْنَى الْمَرْأَةِ فَإِنَّهُ يُشْتَهَى كَمَا تُشْتَهَى وَصُورَتُهُ فِي الْجَمَالِ كَصُورَةِ الْمَرْأَةِ بَلْ رُبَّمَا كَانَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ أحْسَنَ صُورَةً مِنْ كَثِيرٍ مِنَ النِّسَاءِ بَلْ هُمْ فِي التَّحْرِيمِ أَوْلَى لِمَعْنًى آخَرَ وَهُوَ أَنَّهُ يَتَمَكَّنُ فِي حَقِّهِمْ مِنْ طُرُقِ الشَّرِّ مالا يَتَمَكَّنُ مِنْ مِثْلِهِ فِي حَقِّ الْمَرْأَةِ

“Alasan larangan melihat Amrad sebagaimana larangan melihat perempuan, karena Amrad bentuknya bisa merangsang sebagaimana perempuan, bahwa di antara mereka ada yang lebih indah dari perempuan. Tetapi, dalam hal Amrad pengharaman lebih utama, sebab dimungkinkan akan terjadinya keburukan yang tidak terjadi pada perempuan.”

Adapun Imam Al-Haramain Al-Juwaini berpendapat bahwa memandang Amrad tidaklah haram. Alasan beliau, seandainya haram, maka Amrad akan diperintahkan untuk memakai hijab sebagaimana perempuan.

Sedangkan Imam Burhanuddin As-Subki dalam kitab Tahqiq An-Nazhar berpendapat melihat Amrad tidak haram selama tidak disertai syahwat dan aman dari fitnah. Seandainya ditakutkan adanya fitnah maka pendapat kebanyakan ulama hukumnya haram, dengan tujuan agar terhindar dari fitnah tersebut.

Baca juga: Fatwa Al-Azhar Tentang Hukum Nikah Paksa

Alhasil, hukum melihat Amrad masih menjadi khilaf di antara para ulama. Imam An-Nawawi memandang haram secara mutlak. Imam Al-Juwaini memandang boleh secara mutlak. Sedangkan Imam Burhanuddin As-Subki boleh jika tidak disertai syahwat dan aman dari fitnah.

Dengan mengetahui penjelasan di atas, sebaiknya bagi orang tua dan masyarakat agar berhati-hati dengan potensi-potensi kelainan seksual yang mungkin terjadi, dan mempelajari gejala-gejalanya, agar anak-anak aman dari kejadian yang tidak diinginkan.

Kontributor

  • Fahrizal Fadil

    Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Aceh. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Bahasa dan Sastra Arab. Aktif menulis di Pena Azhary. Suka kopi dan diskusi kitab-kitab turats.