Islam memang diajarkan Nabi dan berasal dari belahan bumi lain yang jauh dari tempat kita berada. Meski begitu, tak terperikan bila ajaran Rasulullah ini tidak perlu diakui sisi sebagai agama lokal pada sebuah daerah tertentu. Karena risalah kenabian yang baginda Nabi bawa ini diperintahkan Allah Swt secara universal bagi hamba-Nya di seluruh jagad raya.
Misi Baginda Nabi di dunia ini, tak lain dan tak bukan ialah membawa agama Islam untuk menyempurnakan ajaran rasul-rasul Allah Swt sebelumnya.
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku pun telah ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)
Sosok Baginda Nabi yang lemah lembut namun tegas nan cerdas, pula memiliki spirit lain yakni untuk menyempurnaan akhlak manusia. Tiada yang bisa menyangkal lagi keluhuran akhlak dan budi pekerti beliau ini. Maka sangatlah merugi manusia yang tidak mau meniruinya dalam kehidupan sehari-hari.
Ihwal Islam yang didakwahkan Nabi, orang-orang sering mempeributkan ketidak samaan dalam spirit penyebarannya, terutama Islamisasi di tanah air kita tercinta ini. Pasalnya, Muslim di Indonesia dianggap mencampur-adukkan kebudayaan di luar Islam dan tak mengindahkan ajaran Rasul dengan sungguh-sungguh. Mereka beranggapan bahwa Islam harus disampaikan lewat paksaan dan kekerasan sebagaimana cerita-cerita perang yang pernah mereka ketahui dari sepenggal kisah perjuangan Nabi.
Nabi bersama para sahabat dahulu kala memang melakukan peperangan dan ekspansi ke negeri yang belum terjamah Islam. Islam yang sudah mulai mencuat dengan segala daya kekuatan yang dimiliki mengharuskan kaum muslim bangkit dari penindasan dan cercaan musuhnya. Dan saat itu memang sah-sah saja mengingat kita telah sangat tertindas oleh kaum musyrikin penentang kita.
Peperangan sebenarnya bukanlah keinginan Baginda Nabi sendiri dalam misi mendakwahkan Islam. Namun keadaan mengharuskan seperti itu. Perang defensif digencarkan dimana-mana sebagai reaksi terhadap permusuhan yang terlebih dahulu dicetuskan kaum musyrikin, menaklukkan musuh Islam dengan penuh semangat dan paham akan sebuah aturan. Beliau Nabi tak pernah mengajarkan dendam dan tetap menggunakan akhlak terhadap musuhnya.
Nabi paham medan yang didakwahinya, hingga mengharuskan menyesuaiakan diri terhadap peradaban yang ada disaat itu. Berbeda halnya dengan Islamisasi yang dilakukan di Nusantara. Islam dibawa oleh para ulama sufi yang arif dan bijaksana, dengan damai, tanpa perang, tanpa dendam dan pertumpahan darah. Para wali itu mengajarkan Islam dengan pengharmonisasian budaya lokal. Menyisipkan nilai-nilai Islam pada tradisi-tradisi setempat yang telah lama mengakar di masyarakat.
Islam Nusantara dengan beragam macam istilah –ada yang menyebutnya Islam Indonesiaa, Islam rahmatan lil alamin– adalah sebuah konsep yang terus diupayakan untuk membingkai praktik keberagamaan yang telah berabad lamanya berkembang. Dalam sejarahnya yang panjang, Islam Nusantara menolak ekstrimisme dalam beragama. Ulama kita mengerti bahwa tradisi dan adat istiadat yang ada di bumi putra ini harus terus dilestarikan dengan worldview yang tetap bernafaskan Islam.
Pemahaman semacam ini sebenarnya sudah lama kita sadari. Cuman, ada saja kelompok yang enggan menerima hal tersebut dengan lapang dada. K.H. Abdurrahman Wahid atau biasa akrab disapa Gus Dur, pernah mendiskusikan gerakan keislaman di Indonesia ini dengan istilah “Pribumisasi Islam” pada pertengahan tahun 1980-an. Kesadaran ini terus berkembang dengan puncaknya yang dijadikan tema dalam Muktamar NU ke-33 dengan penggantian istilah menjadi “Islam Nusantara”.
Kekhasan Islam yang kita miliki ini telah mengendap dalam kesadaran banyak orang. Tak mungkin kita harus beralih rupa dengan kebudayaan dari peradaban bangsa lain. Islam dibawa Nabi secara lentur dan tanpa paksaan. Karena pada dasarnya, syariat Islam tak semesrta-merta turun dengan begitu saja tanpa unsur budaya.
Sedang Islam Nusantara yang beberapa waktu masih dipeributkan oleh sebagian kalangan hanyalah sinesme mereka terhadap cara keberagamaan kita. Kaum Muslimin yang berhaluan radikalisme dan ekstrimisme yang tengah menggaungkan misinya mendirikan kekhilafahan di negeri kita ini, selayaknya berkaca terlebih dahulu pada identitas corak kebudayaan kita.
Tidak seyogyanya mereka menekankan kehendak seenak jidatnya sendiri. Islam mampu berimprovisasi dengan baik terhadap kultur budaya masyarakat kita, yang sudah barang tentu menjadi pengaruh besar terhadap keberlangsungan negeri ini. Beribu pulau berikut suku, ras, agama, dan kepercayaan yang menyertainya telah berkembang dengan kerukunan yang ada. Mustahil Islam diterima bila disampaikan secara keras dan memaksakan, justru yang terjadi adalah penolakan dan menganggap Islam sebagai agama pedang, agama keras yang tak mengenal toleransi.
Faktanya, gerakan keislaman semisal Arab Spring di Timur Tengah tak mampu membuahkan hasil secara maksimal. Peperangan tak kunjung berhenti. Karena agenda tersebut, justru terjadi konflik horizontal berkepanjangan yang merugikan banyak pihak.
Maka relevansi Islam Nusantara patut dipromosikan ke kancah global. Karena seperti kata KH. Said Aqil Siradj, setidak-tidaknya ada empat prinsip yang menjadi pegangan dalam gerakan keberagamaan Islam Nusantara ini.
Pertama, semangat keagamaan (ruh al-din) yang berarti agama sebagai pemicu utama untuk dapat diresapi dalam kehidupan kita di dunia ini.
Kedua, semangat nasionalisme (hub al-wathon) yang berarti menekankan kecintaan kita pada tanah air, tempat kelahiran kita. Ketiga, semangat kebhinnekaan (hub al-ta’addudiyyah) yakni menyadari rasa perbedaan kita yang sudah menjadi sunnatullah.
Keempat, semangat kemanusiaan (ruh al-Insaniah) yakni sebuah semangat dalam mencitakan kedamaian dalam masyarakat karena landasan kemanusiaan yang ada.
Kekuatan Islam sebenarnya bertumpu pada kekuataan kultural masyarakat yang secara naungan dipandu oleh ulama. Jika agenda secara programatik ini dapat terlaksana, maka Islam akan kuat dan berkembang pesat diberbagai belahan bumi ini. Tidak usah berlaku ekstrimis untuk menyampaikan Islam. Cukup hayati sajalah bagaimana corak kebudayaan yang ada di masyarakat kita. Dengan itu, Islam akan selalu menjadi agama yang luhur selama manusianya memakai akhlak sebagaimana diteladankan Nabi kita.