Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Menghindari Kekerasan

Avatar photo
26
×

Menghindari Kekerasan

Share this article

Manusia menempati posisi yang sangat
sentral dalam Islam. Manusia adalah obyek ajaran, sekaligus subyek dan
pelaksana dari ajaran tersebut. Allah Swt menciptakan manusia sebagai makhluk
yang terhormat dan bermartabat. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling
sempurna (QS.
at-Tin: 4). Allah juga memuliakan manusia
sebagai keturunan Adam dengan kelebihan-kelebihan yang mereka miliki (QS.
Al-Isra’: 70).

Tentu
saja, status manusia yang demikian mulia, terhormat dan bermartabat, merupakan
rahmat Allah Swt. Dan sekiranya tidak karena karunia Allah atas kamu dan
rahmat-Nya, niscaya tidak sekali-kali seorangpun dari kamu jadi bersih, tetapi
Allah membersihkan siapa yang Ia kehendaki (QS. an-Nur: 21). Watak manusiawi
tak memiliki nilai sejati kecuali karena kebaikan Tuhan “yang menciptakan
manusia yang lemah” (QS. a
n-Nisa’: 28).

Keistimewaan
manusia dibanding mahluk-mahluk lain sebagai ciptaan Tuhan karena kedudukannya
sebagai wakil Allah di dunia (QS. al-Baqarah: 30) yang mempunyai kemampuan
khusus. Dalam kondisinya yang asli dan tinggi, manusia adalah suatu tanda yang
ajaib dari suatu kekuasaan dan rahmat Tuhan (QS. Fushshilat: 53).

Sebagai
mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, tentu saja manusia harus diperlakukan
secara mulia juga. Anjuran untuk berbuat baik terhadap sesama manusia adalah
salah satu ajaran inti dari Islam. Itulah sebabnya, tidak ada satu pun alasan
yang membolehkan seseorang untuk melecehkan orang lain. Islam menganjurkan
berbuat baik tidak hanya kepada sesama manusia, bahkan terhadap budak
sekalipun, kita diharuskan berbuat baik, sebagaimana firman Allah:

Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
(QS.An-Nisa’, 36)

Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal
rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan
rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama
(merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?
(QS. an-Nahl: 71)

Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah
kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada
mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk
melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu
hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)
sesudah mereka dipaksa (itu).
(QS. an-Nur, 33)

Ketiga
ayat ini menekankan agar budak tidak semata-mata diperlakukan sebagai
“alat” bagi majikannya, tetapi juga diimbangi dengan sikap dan
perlakuan yang lebih manusiawi terhadap budak.

Itulah
sebabnya, kekerasan merupakan tindakan yang sama sekali tidak dibenarkan.
Kekerasan dalam pengertian tindakan yang melukai orang lain, baik secara fisik
maupun secara psikis.

Boleh untuk Pembelaan

Pada
prinsipnya, tindakan melukai orang lain, baik fisik maupun psikis, apalagi
tindakan yang dapat mengancam keselamatan jiwa, tidak dibenarkan dalam Islam.
Namun, ada sejumlah ayat dan hadits yang seringkali digunakan untuk
melakukan
kekerasan
terhadap orang lain, seperti:

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang
yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang
telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
karena mereka berkata: ‘Tuhan kami hanyalah Allah’.
(QS
. al-Hajj [22]: 39–40)

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang menyukai batas.
(QS
. al-Baqarah [2]: 190)

Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang
yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk
mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangi kamu.
(QS
. at-Taubah [9]: 13)

“Aku (Muhammad) diperintah untuk
memerangi manusia sampai mereka mengucapkan lafadz la ilaha illa Allah”
(HR. Imam Bukhori, Imam Muslim, Turmudzi, Nasa’I, Ibn Majah,
Daram
i, Abu Daud, dan Imam Ahmad).

Barang siapa melihat kemungkaran, maka
ubahlah dengan dengan tangan, jika tidak bisa maka gunakanlisan; jika tidak
bisa, gunakan dengan hati. Sesungguhnya (menggunakan hati) itu termasuk
selemah-lemahnya iman.
(HR Bukhari)

Sejumlah
ayat dan hadits di atas memang memberi legitimasi bagi penggunaan kekerasan.
Namun, nash di atas harus dipahami dalam konteks yang tepat, baik konteks
kesejarahan maupun konteks dengan ayat dan hadits yang lain. Dalam
kenyataannya, ayat dan hadits di atas tidak dalam konteks menyerang (ofensif),
tetapi lebih dalam konteks mempertahankan diri (defensi
f). Kita dibolehkan menyerang hanya dalam keadaan kita diserang.

Namun, sebagian kelompok muslim
mengartikulasikan ayat-ayat di atas secara ofensif. Makna jihad, misalnya, bagi
mereka tidak lain adalah perang suci. Dan memenuhi panggilan jihad, menurut
mereka, adalah kewajiban setiap muslim.

Inilah
yang menyebabkan citra Islam seolah-olah tidak bisa dilepaskan dari kekerasan.
Bahkan sebagian pengamat Barat mengidentikkan Islam dengan
terorisme.
Pendapat ini, meskipun keliru, didasarkan pada tindakan sejumlah kaum muslim
yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan, seperti terjadi dalam kasus
bom Bali, Bom di Kedubes Australia dan sejumlah kasus lainnya.

Maraknya kekerasan atas nama agama
menunjukkan betapa beragamnya pandangan dan eks
presi keberagamaan umat Islam. Ekspresi keberagamaan seperti ini mewakili
pandangan yang menganggap manusia hanya sebagai obyek dari kehendak Tuhan.
Manusia dianggap tidak memiliki hak. Atas dasar inilah mereka menolak konsep
hak asasi manusia (HAM). Hak sepenuhnya milik Allah. Sedangkan manusia hanya
menjalani apa yang sudah disyariatkan oleh Allah.

Perspektif seperti ini perlu dikritisi
bukan hanya karena mudah terjebak dalam kategori hitam putih sesuai dengan apa
yang dinyatakan Al-Qur’an dan Hadits, terutama dalam memandang kelompok lain,
tetapi karena doktrin Islam sendiri terlalu kompeks untuk direduksi hanya
sebagai kitab undang-undang yang sudah final tanpa ada usaha yang sungguh-sungguh
untuk mendalami konteks kesejarahan serta makna tersirat yang terdapat di balik
teks suci tersebut.

Baik Qur’an maupun Sunnah tidak cukup
dipahami secara harfiah seperti yang tersurat dalam bunyi teksnya. Disamping
konteks kesejarahannya perlu ditelusuri, makna di balik teks juga perlu
disingkap untuk memperoleh pesan yang paling substansial dari teks suci
tersebut. Usaha seperti ini perlu dilakukan agar pemahaman terhadap teks suci
tersebut lebih dekat dengan apa yang dalam ushl
fiqh
disebut maqashid al-syariah
(tujuan penetapan syariat).

Secara umum, maqashid al-syariah telah terangkum Surat al-Anbiya’, 107: Dan
tidaklah Kami utus engkau Muhammad kecuali untuk menjadi rahmat bagi sekalian
alam.
Islam datang  untuk menjawab
berbagai masalah yang dihadapi umat manusia, untuk menyelamatkan manusia dari
jalan yang sesat menuju jalan yang benar; dari jalan gelap menuju jalan terang;
dari kemungkaran, kedzaliman dan ketertindasan menuju kearifan, kedamaian dan
keadilan.

Kewenangan Negara

Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan
merupakan salah satu problem serius yang dihadapi bangsa ini. Kita layak
prihatin bukan semata-mata karena gejala kekerasan menunjukkan grafik yang kian
naik dengan tingkat eskalasi yang terus meluas, tetapi juga karena negara
sebagai satu-satunya lembaga yang diberi otoritas menggunakan kerasan untuk
mewujudkan tertib sosial, justru justru seolah-olah tidak berdaya menghadapi
masalah itu. Kegagalan negara mengatasi masalah kekerasan membuat bangsa ini
seperti kembali ke zaman primitif di mana penyelesaian masalah selalu
menggunakan cara-cara kekerasan.

Kekerasan yang terjadi belakangan ini
lebih dari sekadar patologi individu seperti terlihat pada berbagai kasus
kriminalitas. Kekerasan juga mencerminkan patologi sosial, di mana masyarakat
cenderung main hakim sendiri menghadapi kasus-kasus kriminal seperti pencurian,
penjamberetan, pencopetan. Ada semacam dendam sosial terhadap kejahatan yang
kian berani dan terang-terangan dengan menghukum pelakunya dengan cara yang
lebih sadis.

Lebih dari itu, seringkali kekerasan
dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Tindakan main hakim sendiri terhadap
tempat-tempat yang dianggap sebagai sarang maksiat dengan mengobrak-abrik
secara bringas justru membuat citra Islam semakin tercoreng.

Sebagaimana kisah agama-agama samawi
lainnya, Islam hadir pada saat masyarakat betul-betul membutuhkan semacam
“juru selamat” dari keterpurukan moral, sosial, ekonomi maupun
politik. Melalui Nabi sebagai pembawa risalah Tuhan, agama hadir untuk melawan
berbagai bentuk penindasan dan kedzaliman guna mewujudkan tatanan baru yang
lebih berkeadilan, berkemanusiaan dan berkeadaban.

Sebagaimana
ditunjukkan dalam masa-masa awal Islam, Nabi Muhammad ditentang keras oleh kaum
Quraisy Mekkah, bukan semata-mata karena Nabi membawa agama baru yang sama
sekali berbeda dengan kepercayaan sebelumnya, tetapi terutama karena ajaran
yang dibawa Nabi dapat mengancam kepentingan kaum elite Quraisy yang begitu
dominan menguasai berbagai sumber daya, baik ekonomi, sosial maupun politik.
Dan, sebagaimana kita lihat dalam sejarah, keberhasilan Nabi membangun tatanan
ekonomi, sosial dan politik yang berkeadilan, berkemanusiaan dan berkeadaban
lebih mengutamakan jalan damai melalui musyawarah ketimbang jalan kekerasan
melalui perang.

Kontributor