Dalam halaqah kedua Pengajian Sunan at-Tirmidzi di Masjid al-Azhar, Syekh Usamah Sayyid al-Azhari yang sedang membaca bâb mâ jâ’a fî al-shalâh khalfa al-shaf wahdahu (bab tentang apa yang ada pada keadaan shalat yang sendirian di belakang shaf) menerangkan bagaimana Imam Tirmidzi memaparkan perbedaan para ulama salaf tentang keabsahan shalat jamaah bagi makmum yang berdiri sendiri di belakang shaf shalat.
Imam Tirmidzi menyebutkan bahwa sebagian ulama salaf ahli ilmu tersebut membenci (memakhruhkan) seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf jamaah terakhir. Bagi mereka, bahwa seseorang yang shalat berjamaah namun berada pada shaf terakhir dengan berdiri sendirian tanpa ada makmum lain di kanan-kirinya maka orang tersebut sebaiknya mengulang shalatnya. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad (bin Hanbal, w. 241 H.) dan Ishaq (bin Rahwaih. w. 238 H.) berdasar pada hadis Wabisah bin Ma‘bad ra.:
ان رجلًا صلّى خلفَ الصفِّ وحدَه –والشيخ يسمع- فأمره -رسول الله ﷺ- أن يُعيدَ الصلاةَ
“Sesungguhnya seseorang telah shalat di belakang shaf secara sendiri –dan syekh (Wabisah) mendengar (tentang hal ini)- maka baginda Nabi saw. memintanya untuk mengulang shalatnya”.
Hadis ini juga menjadi dalil para ulama Kufah seperti Imam Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H.), Ibnu Abi Laila (w. 148 H.), dan Waki‘ (w. 196/197 H.) yang berpendapat tentang pengulangan shalat bagi makmum yang shalat dengan berdiri sendirian di shaf belakang.
Imam Tirmidzi lalu menyebutkan bahwa sebagian ahli ilmu juga menyatakan kalau shalat berjamaah dengan berdiri sendiri di belakang shaf itu cukup dan tidak perlu mengulang. Hal ini sebagaimana pendapat Imam asy-Tsauri (w. 161 H.), Ibnu Mubarak (w. 181 H.) dan asy-Syafi’i (w. 204 H.).
Perbedaan furu’iyah ini diterangkan oleh Syekh Usamah sebagai keniscayaan dan tidak boleh diingkari. Seseorang dapat mengambil salah satu pendapat ini tanpa mengingkari pendapat yang lain sebab setiap pendapat ada petunjuknya. Masing-masing pendapat adalah ilmu dan fikih yang ada dasarnya.
Kaidah Menyikapi Perbedaan Fikih
Syekh Usamah kemudian memberikan empat kaidah yang harus selalu diingat untuk menyikapi perbedaan fikih.
Pertama an tuzakka wa an tuqaddam wa an tudfa‘a mâ ittafaqa ‘alaih (memilah, mengedepankan dan menyampaikan segala hal yang telah disepakati), dengan sikap ini maka kita akan mengarah pada pendapat terbanyak dan menjadi umat yang solid atas suatu perkara.
Kedua, lâ inkâr fî mukhtalaf fîh (tidak boleh mengingkari pendapat yang berbeda), jika ada perbedaan pendapat ulama atas sesuatu dan ada saudara kita yang mengambil pendapat satu di antara pendapat ulama tersebut maka tidak boleh kita ingkari alias kita harus akui dan hormati sikapnya tersebut, sebab setiap pendapat itu ada ilmu dan petunjuknya.
Ketiga, anna al-khurûj min al-mukhtalaf ahabb (sesungguhnya keluar dari perbedaan itu lebih diutamakan). Maka jika kita dihadapkan pada suatu keadaan yang di situ menimbulkan perbedaan sikap/ pendapat maka sebaiknya memilih untuk tidak melakukan hal tersebut.
Keempat anna man ibtuliyya bi shayy’ minhu falyuqallid man ajâzahu (sesungguhnya barangsiapa yang tidak dapat keluar dari keadaan yang mengharuskan ia harus melakukan hal tersebut maka bertaqlid saja pada pendapat yang membolehkan untuk melakukan hal tersebut), artinya jika kita berada pada kondisi yang sebenarnya tidak ingin melakukan namun sebab tidak ada pilihan maka kita cukup bertaqlid pada pendapat ulama yang membolehkan hal tersebut.
Secara sederhana Syekh Ali Jum’ah, guru mulia Syekh Usamah juga pernah memaparkan tentang bagaimana sikap yang harus diambil ketika menyikapi perbedaan pendapat.
Pertama, kita tidak boleh mengingkari segala hal yang sudah disepakati dan juga tidak boleh mengingkari sesuatu yang diselisihkan (lâ yunkaru al-muttafaq ‘alayh wa lâ yunkaru al-mukhtalaf fîh / لا ينكر المتفق عليه ولا ينكر المختلف فيه).
Kedua, jika seseorang dihadapkan pada sesuatu yang masih dipersilihkan dan ia tidak dapat menghindarinya maka cukup bertaqlid pada pendapat yang membolehkan keadaannya (annahu man ibtuliyya bi shay’ min al-muhktalaf fîh yuqallid man ajâza / انه من ابتلي بشيء من المختلف فيه يقلد من أجاز).
Ketiga, bersikap hati-hati itu dikedepankan dan bahkan dalam suatu perkara tertentu itu wajib (anna al-ihtiyâth mustahsin wa al-ihtiyâth fî al-mahal wâjib / وأن الإحتياط مستحسن، والاحتياط في المحل واجب).