Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Merunut Pesan Kiai Sahal Agar Santri Tidak Lupa Guru

Avatar photo
29
×

Merunut Pesan Kiai Sahal Agar Santri Tidak Lupa Guru

Share this article

Ciri khas pendidikan
pesantren yang berbeda dengan lembaga formal adalah para santri dididik agar
menjadi manusia bermoral yang berkualitas tinggi. Corak pendidikannya adalah
mengedepankan akhlakul karimah, melatih jiwa dan raga sehingga karakter
dan keilmuan yang mereka dapatkan akan tertaut dalam bingkai kebaikan (
ihsan) dalam menjalani keseharian hidup bagi
santri yang masih mondok maupun yang sudah alumni.

Termasuk adab
yang harus dimiliki oleh para santri yaitu menghormati para gurunya, baik
kepada guru yang muda sampai yang sudah
sepuh.
Mengingat jasa keilmuan yang telah mereka ajarkan penuh dengan pengorbanan dan
keikhlasan, sehingga keberkahan ilmu dari guru dapat dirasakan dan dinikmati
oleh para santri. Maka dari itu, keharusan takzim kepada guru adalah hal yang
tidak terbantahkan dan wajib dilakukan sepanjang hayat.

Dalam suatu kesempatan,
Kiai Sahal
Mahfudh Al-Hajaini
berpesan,

“Santri
jangan sampai lupa dengan guru-gurunya, setiap selesai salat hendaknya
mendoakan gurunya, minimal membacakan fatihah untuk beliau-beliau.”

Kiai asal
Kajen Pati tersebut mewanti-wanti para santri supaya ingat terhadap gurunya,
minimal dengan membacakan fatihah seusai salat. Sudah selayaknya setiap guru
mendoakan muridnya, maka demikian pula lah yang juga harus dilakukan oleh para
santri, yakni mendoakan gurunya. Masyaallah indahnya, ketika melihat
relasi guru-murid yang saling mendoakan, insyaallah keberkahan ilmu akan
semakin terbuka (futuh).

Menurut KH. Hasyim Asy’ari
dalam kitabnya pada
bab
tiga
, ada dua belas akhlak santri terhadap guru. Di antaranya yang selaras
dengan pesan
Kiai
Sahal
yaitu seorang santri harus mengetahui kewajibannya terhadap guru
dengan segala hormat, tidak melupakan jasa-jasanya dan mendoakan beliau-beliau
baik ketika beliau masih hidup atau yang sudah wafat dan berziarah ke makam
gurunya untuk memintakan ampunan dan sedekah kepada beliau. Serta tetap menaruh
hormat kepada keturunan, keluarga, dan orang-orang yang beliau sayangi.

Lanjut Hadratussyekh,
seorang santri harus memperlihatkan etika yang baik, memberi arahan kepada
orang lain yang membutuhkan pertolongan, melestarikan adat, tradisi dan
kebiasaan yang dicontohkan oleh gurunya dalam hal agama atau keilmuan, serta
loyal, tunduk, dan patuh kepada guru dalam keadaan apapun dan di manapun ia
berada. (
Adabul ‘Alim
wal Muta’allim
/Hal. 30-31)

Pesantren
sebagai lembaga pendidikan yang mencetak generasi saleh-salehah kiranya hampir
tidak mungkin ditemukan seorang murid yang durhaka kepada gurunya, beda dengan kasus-kasus
yang terjadi di sekolah formal lain. Di pesantren, perilaku menyakiti hati guru
saja sudah dianggap perbuatan yang amat memalukan. Apalagi jika sampai
membentak dengan suara keras, menghina atau memukul guru, itu merupakan
keburukan akhlak. Wal ‘iyadzu billah.

Jika dilihat
dari cara mendidik moral, pesantren telah sukses mengajarkan budaya rasa malu
dalam diri. Pasalnya, memiliki rasa malu merupakan sebagian dari iman. Malu
merupakan adab yang baik, sebaliknya, tak punya malu adalah sebuah kecelakaan. Hal
itu masih senada dengan
pesan
Kiai Sahal
bahwa semakin banyak sesuatu maka semakin murah harganya kecuali
akhlakul karimah, semakin banyak akhlaknya maka semakin mahal harganya.
Sebaliknya, tak punya akhlak sama saja tak punya harga diri.

Di Pesantren Maslakul Huda (PMH)
Kajen Pati misalnya, KH. MA. Sahal Mahfudh kala masih sugeng (baca:
semasa hidup), beliau pada pagi hari sering duduk di kursi teras depan ndalem
ditemani seorang santri khadim sembari memandangi pesantren yang diasuhnya, di
mana para santri berbondong berangkat menuju ke Mathole’ (Madrasah
Perguruan
Islam Mathaliul Falah
atau disingkat menjadi “PIM”).

Satu sisi
mereka sebagai santri merasa bangga bisa ber-muwajahah (baca: memandang
wajah) dengan kiainya barang sejenak dengan sekali pandang lalu kembali
menundukkan kepala sambil lanjut berjalan. Namun di sisi lain, perasaan
tersebut dapat sirna lalu berubah menjadi keresahan hati dan malu besar apabila
ada santri yang berangkat ke madrasah dalam keadaan terlambat dan jalan
setengah lari. Begitulah pelajaran kedisiplinan yang diajarkan Kiai Sahal dalam
tindakan.

Terlepas dari
itu, hal ini merupakan sebuah perhatian seorang kiai kepada santrinya di sela
kesibukan beliau. Layaknya perhatian orang tua kepada anaknya, maka selama di
pesantren, posisi guru adalah sebagai orang tua dan para santri adalah anaknya.

Kontributor

  • Muhammad Ilham Fikron

    Sahalian (Santri Mbah Sahal), Alumnus Perguruan Islam Mathaliul Falah (PIM) dan Alumnus Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh Kajen Pati.