Dalam lintasan sejarah peradaban Barat, perempuan pernah dianggap sebagai sebagai mahluk setengah manusia, sumber godaan, dan penyeru kemaksiatan. Itulah kenapa para sarjana barat menyebut masa itu sebagai abad kegelapan. Dengan berakhirnya masa itu yang ditandai Renaissance, lahirlah pandangan-pandangan humanis yang mulai menghargai manusia sebagai individu yang bebas untuk menggunakan nalarnya dalam menentukan kedudukannya di muka bumi. Tentu penghargaan terhadap kebebasan sebagai individu juga memberikan dampak pada kaum perempuan.
Kebangkitan akal dari belenggu teologi, telah melahirkan revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke-17 dan menjadi pendorong paham liberalisme. Bersamaan dengan itu, kaum wanita pun bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya. Inilah yang menjadi embrio dari feminisme, terutama feminisme individualis atau liberal yang dipelopori oleh Mary Wollstonecraft di Inggris. Puncaknya kemudian pada ke-19 dan 20, dimana perempuan mulai aktif di pelbagai bidang yang selama ini didominasi kaum lelaki.
Lahirnya pandangan feminisme di Barat yang dibawa oleh semangat demokrasi dan emansipasi tentu memberikan dampak terhadap negara-negara muslim, dalam hal ini terbukanya pikiran perempuan akan demokrasi dan emansipasi.
Kendati feminisme Islam dipengaruhi oleh barat, namun bukan berarti feminisme Islam sama dengan Barat. Di sini feminisme Islam mencoba mengkritisi pandangan feminisme barat yang menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai lawan. Di samping itu, feminisme Islam tetap berupaya untuk memperjuangkan hak-hak kesetaraan perempuan dan laki-laki yang terabaikan. Dengan demikian, feminisme Islam menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai kawan dalam pembebasan manusia secara keseluruhan dari naluri kehewanan, dan keserbamesinan di masa depan.
Untuk mewujudkan peran di antara laki-laki dan perempuan secara maksimal diperlukan cara lain, yaitu dengan kembali ke sumber Islam itu sendiri dalam hal ini Al-Qur’an. Tentu kembali di sini bukan berarti membacanya secara tradisional belaka. Refleksi kritis atas studi para mufassir, baik yang tradisional maupun yang modernis, selalu diperlukan. Dalam terminologi para pemikir posmodernis, penataan ulang terhadap pemahaman-pemahaman di balik suatu kata.
Semisal yang pernah dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin dalam bukunya Wanita dalam Al-Qur’an, adalah upaya kecil dari suatu perjalanan pasca modernis pemikiran Islam. Berbeda dengan kaum modernis yang memaksakan katagorisasi-katagorisasi pemikiran barat untuk mereformasi ajaran Islam, upaya yang dilakukan pemikir pasca modernis Islam adalah mendobrak supremasi modern atau tradisional.
Untuk itu para pemikir pasca modernis Islam justru menggunakan termonologi tradisional yang telah dibebaskan dari belegu tradisional. Misalnya metode maudhu’i (tematik) yang digunakan oleh M. Quraish Shihab dalam karyanya tafsir Al-Mishbah, untuk mennghasilkan penafsiran yang lebih moderat terhadap ayat-ayat gender, karena metode ini tidak banyak mengintrodusir budaya Timur Tengah yang cenderung momposisikan laki-laki lebih dominan dari pada perempuan.
Begitu pula Fatima Mernissi yang menulis buku Wanita dalam Islam, dengan menggunakan metode kritik historis untuk menguak pelbagai hadits Nabi, mulai dari siapa dan kapan hadits tersebut diriwayatkan kembali oleh perawi pertama. Melalui pendekatan ini Mernissi, menyoroti para perawi hadits, baik dalam kredibilitas ataupun intelektual. Tentu ini bukanlah hal biasa dalam dunia hadits, mengingat para ulama terdahulu kerap melewatkan perawi pertama yang dianggap sebagai sahabat Nabi. Yang lebih penting dari pendekatan ini adalah dapat memahami sosio-kultur yang melingkupi kelahiran hadits tersebit sehingga menghasilkan kesimpulan relevan.
Selain pendekatan kritik historis, Mernissi juga menggunakan pendekatan metodologis untuk melihat proses komunikasi yang terjadi, kapasitas intelektual dan moral. Ini merupakan prasyarat bagi para perawi, sebagaimana yang pernah diajukan oleh Imam Malik. Di sini Mernissi ingin menunjukan bahwa hadits misogini itu bukan hanya berlaku bagi umat Islam pada masa lampau, tetapi juga masih di yakini hingga sekarang. Dengan demikian, apa yang dilakukan Mernissi merupakan upaya dekonstruksi yang melampaui upaya-upaya kaum modernis maupun konservatif untuk memberikan pemahaman baru kepada kita.
Syahdan, perempuan kerap mengalami diskriminasi secara berlapis, entah di ranah privat maupun publik. Dimana perempuan dalam runag privat dinilai tidak mempunyai kewenangan sebagai kepala rumah tanggah sebagaimana kaum lelaki. Sementara diruang publik sebagai mahluk kelas dua, dimana penghargaan material maupun non material tidak sama dengan laki-laki. Pandangan yang menyatakan, perempuan hanya mengurusi dapur dan ranjang saja nampaknya masih berlaku di tengah-tengah masyarakat. Ini tak dapat dipisahkan dari pengaruh sosial, budaya dan teologis. Dampaknya perempuan sebagai mahluk yang rendah dianggap sebagai suatu kebenaran, akibatnya perempuan acap dibatasi dalam beraktifitas.
Kehadiran Islam telah memberikan peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam pelbagai kehidupan. Keduanya memiliki potensi dan peluang yang sama untuk mejadi hamba yang ideal sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Hujurat 49:13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]:13)
Di sisi lain kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan pennghargaan dari Tuhan sesai dengan kadar pengabdianya. Firman Allah dalam Al-Qur’an QS. Al-Nahl 16:97:
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Nahl [16]: 97)
Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah mengatur persamaan antara laki-laki dan perempuan. Namun sebagai masyarakat yang kental dengan sistem patriarki peran dan status perempuan, keberadaannya kurang begitu diperhatikan.
Baca juga: