Mumtaz Mahal dan Mahalnya Taj
Mahal
“Cinta
itu seperti Taj Mahal, semua orang mengagumi keindahannya, namun tiada yang
memahami betapa ia sukar dibangun.” – Anonim
Jauh bertolak ke tenggara dari
arah Turki, orang-orang Muslim dari Arab telah memperluas wilayahnya ke Sindh
di utara India pada abad kedelapan.
Mereka melakukan perdagangan di
sepanjang laut Arab, dengan begitu kebudayaan Islam dengan sendirinya masuk ke
pelabuhan-pelabuhan India. Sehingga pada abad ke-12, beberapa invasi dari Asia
Tengah menciptakan kehadirannya lebih langgeng di beberapa kota seperti Lahore
dan Delhi. Kesultanan Delhi yang berkuasa dari 1206 hingga 1526 Masehi akan,
pada puncaknya, membawahi seluruh India utara dari perbatasan Afganistan sampai
ke Bengal.
Periode keemasan Muslim di India
berlangsung ketika datangnya orang-orang Mongol dari Asia Tengah pada abad
ke-16 dengan berdirinya Dinasti Mughal dari tahun 1526 sampai 1857 Masehi.
“Mughal” adalah istilah Persia
untuk menyebut Mongol. Penakluk pertama dari Mughal adalah Babur. Dia keturunan
langsung dari Timur Lenk. Akbar Agung adalah cucu dari Babur yang paling
disenangi oleh rakyat India yang berlatar belakang nonmuslim. Salah seorang
cucunya, Shahbuddin Mohammed Shah Jahan adalah seorang patron arsitektur besar,
ia tokoh di balik berdirinya Taj mahal di Agra, Benteng Merah di Delhi, dan
bangunan-bangunan agung lainnya.
Ciri tradisi arsitektur Mughal
adalah paduan antara budaya setempat dengan gaya Seljuk dan Persia. Arsitektur
Islam di India baik masjid, mausoleum, maupun istana semuanya menampilkan corak
yang sama. Terutama istana yang gayanya tidak ada bedanya dengan masjid.
Sehingga seolah-olah dapat dikatakan bahwa arsitektur Islam di India itu adalah
bangunan masjid dengan berbagai tipe.
Puncak dari seluruh kehebatan
arsitektur Islam di India terangkum dalam Taj Mahal. Sebuah mausoleum yang
dipersembahkan Sang Sultan bagi mendiang istrinya, Mumtaz Mahal, karena
keagungan cintanya.
Boleh dibilang perkembangan
arsitektur modern Islam di India berhenti di sana. Karena selang beberapa masa
wajah dunia akan berubah drastis seiring maraknya kolonialisasi dari
negara-negara barat. Tidak terkecuali India, yang menjadi lahan baru bagi Britania Raya mendaratkan
cakarnya. Pada era dan paska kolonialisasi, tentu akan berdampak pula bagi seni
bangunan yang berkembang setelahnya.
Sebelum mengenal lebih dekat
wanita hebat yang diabadikan oleh Taj Mahal, alangkah menariknya menilik
sejenak proses pembangunan “monumen cinta” karya Sang Sultan Shah tersebut. Tidak
hanya memakan biaya besar, namun seperti Masjid Sultan Hasan di Kairo,
pembangunannya melibatkan sejumlah pemodal dan ratusan pakar yang meliputi
arsitek, seniman kaligrafi, insinyur, dan para pengrajin kesenian. Setiap
harinya dikisarkan melibatkan 20.000 pekerja dan tenaga ahli dari seluruh
pelosok India, Persia, Turki Utsmani, bahkan dari daratan Eropa.
Pasukan gajah kian bergemuruh
memadati lokasi pembangunan. Mereka mengangkut berton-ton marmer berkualitas
dari Rajasthan; batu yasmin dari Punjab untuk penulisan ayat al-Qur’an pada
marmer; giok dan kristal dari Cina untuk membuat dekorasi dan pengaturan
cahaya; pirus dari Tibet dan lapis lazuli dari Afganistan; batu safir dari Sri
Lanka; juga batu akik dari Arab. Untuk menatah marmer mereka mengangkut 28
macam batu mulia.
Bila dikalkulasikan ke dalam
mata uang sekarang, Michael Hamilton Morgan mengungkapkan bahwa pembangunan Taj
Mahal menghabiskan kurang lebih 500 juta dolar AS dan berlangsung selama 22
tahun.
Lebih tinggi dibanding
penelitian Morgan yang diterbitkan Nasional Geografi di atas, Sir Jadunath
Sarkar dalam buku Studies In Mughal India
menotal biaya keseluruhan hingga 32 juta rupee India saat itu, yaitu
sejajar dengan sekitar 52,8 miliar rupee India hari ini, yang mana jika
dikurskan ke dolar AS tidak kurang dari $ 827 juta.
Terlepas angka mana yang lebih
akurat, bisa disimpulkan bahwa mahalnya Taj Mahal bukan abal-abal. Bukan
kaleng-kaleng. Memperlihatkan betapa digdaya selagi kaya raya imperium Mughal
pada masa keemasan tersebut.
Terlepas dari itu semua,
seberapa dalam cinta Shah Jahan terhadap Mumtaz Mahal hingga mengabadikannya
dalam mausoleum cinta paling agung yang pernah dibangun seorang penguasa?
Semerana apa kesedihan Shah Jahan sehingga terdorong mengukirnya dalam
kemegahan arsitektur yang kokoh dan tahan hingga berabad-abad?
Tidak berlebihan bila Taj Mahal
disebut-sebut sebagai monumen keabadian cinta.
Mumtaz Mahal lahir dengan
nama Arjumand Banu Begum di Agra dari keluarga bangsawan Persia. Dia adalah
putri Abu’l-Hasan Asaf Khan sekaligus keponakan dari Permaisuri Nur Jahan.
Ia menikah pada usia 19
pada tanggal 30 April 1612 dengan Pangeran Khurram yang kemudian menyandang
nama pemerintahan dan kebesaran sebagai Shah Jahan. Pangeran tampan inilah yang
kemudian menganugerahkan kepadanya gelar “Mumtaz Mahal”, dari Bahasa
Persia yang memiliki arti “istana yang menjulang tinggi”.
Meskipun bertunangan sejak
1607, Mumtaz Mahal menjadi istri kedua Shah Jahan pada tahun 1612. Pasangan
tersebut dikaruniai empatbelas anak keturunan (delapan lelaki dan enam gadis).
Tujuh di antaranya meninggal ketika lahir maupun di usia teramat dini. Dua di
antara anak turun tersebut adalah Jahanara Begum yang kesohor sebagai putri
kesayangan Shah Jahan, berikut Putra Mahkota bernama Dara Shikoh.
Mumtaz Mahal meninggal pada
tahun 1631 di Burhanpur, Deccan (sekarang Madhya Pradesh), lantaran postpartum hemorraghe (pendarahan
pascapersalinan) setelah melahirkan Gauhar Ara Begum, anak keempat-belasnya.
Semasa hidup, Mumtaz Mahal luar
biasa cerdas dalam berbagai bidang keilmuan. Selain itu ia juga sosok wanita
yang berbakat dan berbudaya luhur. Ia fasih berbahasa Arab dan Persia bahkan
juga piawai membuat puisi. Suatu keterampilan yang jarang dimiliki wanita yang
lahir dari kaum bangsawan sekalipun.
Perpaduan antara kesopanan dan
ketulusan yang tampak dari sosok Mumtaz Mahal membuat pesonanya memancar hingga
ke pelosok negeri. Ia adalah contoh sempurna dari seorang wanita yang lugas,
hangat, mandiri, juga komunikatif yang dibalut kepribadian luhur.
Sejak awal masa remaja, ia sudah
menarik perhatian para bangsawan penting dari berbagai belahan negeri.
Jahangir, atau yang kemudian bernama besar Shah Jahan pasti sudah sering
mendengar tentangnya, karena itu dengan mudah langsung menyetujui rencana
pertunangan dengannya.
Menurut sejarawan resmi istana, Motamid Khan, hubungan Shah Jahan dengan istri-istrinya yang lain tidak lebih dari status pernikahan. Hubungan intim, kasih sayang mendalam, perhatian, dan curahan cinta Shah Jahan terhadap Mumtaz jauh melebihi apa yang ia rasakan terhadap siapapun.
Penulis biografi pribadi Shah Jahan, Inayat Khan, berujar bahwa seluruh kegembiraan tuannya terpusat pada wanita paling agung ini (Mumtaz Mahal), karena sedemikian menggeloranya hingga terhadap orang lain (termasuk istri-istri lainnya) tidak sampai seperseribu dari kasih sayang yang ia curahkan untuk Mumtaz Mahal. Tidak ganjil bila Mumtaz Mahal hamil sampai empatbelas kali.
Rumah tangga mereka dipenuhi
cinta dan kemewahan gaya hidup istana. Para penyair istana tiada henti memuji
kecantikan, keanggunan, dan aura kasih Mumtaz Mahal. Meskipun sering hamil,
Mumtaz Mahal selalu bepergian dengan rombongan suaminya, ketika kampanye
militer maupun dalam sejumlah baku hantam dengan komplotan pemberontak.
Mumtaz Mahal adalah potret
pendamping setia, terpercaya, dan selalu ada. Hubungan intim dan erotis yang ia
nikmati dengan sang suami baik di dalam maupun di luar istana terekam apik oleh
sejumlah sejarawan istana sepanjang sembilan belas tahun pernikahan.
Shah Jahan memberi Mumtaz Mahal
kemewahan yang tidak ia berikan kepada permaisuri-permaisuri lain. Misalnya,
tiada kediaman permaisuri yang didekorasi seperti Khas Mahal (bagian dari
Benteng Agra) tempat tinggal Mumtaz Mahal bersama Shah Jahan. Bangunan megah
tersebut dihiasi emas murni dan batu mulia, memiliki air mancur beraroma mawar
di pelatarannya.
Selain gemar menyaksikan
karnaval gajah yang menjadi salah satu kebudayaan India, Mumtaz Mahal memiliki
kepedulian yang sangat tinggi
terhadap fakir miskin. Dalam bidang keilmuan, Mumtaz Mahal memenuhi seluruh
kebutuhan sejumlah penyair, cendekiawan, ulama, dan orang-orang berbakat
lainnya. Seorang penyair Sanskerta terkenal bernama Vansidhara Mishra adalah di
antara yang paling ia sukai.
Mumtaz Mahal juga tercatat aktif
memberikan uang pensiun dan santunan kepada keluarga para cendekiawan, ulama,
dan sejumlah tokoh yang berdedikasi. Selain itu, sudah sangat umum bagi wanita
bangsawan turut mengelola arsitektur dan infrastruktur Kekaisaran Mughal. Hal ini
kemudian menjadikan Mumtaz Mahal sibuk memperindah taman di tepi sungai Agra
yang sekarang dikenal sebagai Zahara Bagh.
Ada beberapa
gelar yang diberikan Shah Jahan untuk istri terkasihnya. Di antaranya
‘Malika-i-Jahan’ (Ratu Dunia), ‘Malika-uz-Zamani’ (Ratu Zaman), dan
‘Mallikai-Hindustan’ (Ratu Hindustan). Masa jabatan Mumtaz sebagai permaisuri
istana terbilang singkat, yakni hanya tiga tahun lantaran kematiannya yang
terlalu dini.
Jelajah KBBI:
Mausoleum Cinta: mausoleum
(monumen makam yang luas dan megah) yang didirikan untuk menunjukkan rasa cinta
yang mendalam terhadap kekasih atau pasangan hidup.