Ketika memberikan nasehat untuk para pemimpin dalam hal wanita (istri), Imam Al-Ghazali membuka pesannya dengan mengungkapkan bahwa wanita yang terbaik adalah wanita yang mudah memiliki keturunan, dan tidak meminta mahar yang mahal.
Di ujung pembukaannya, Imam Al-Ghazali mengutip perkataan Sayyidina Umar, “Carilah perlindungan kepada Allah dari wanita-wanita jahat dan waspadalah pada pilihannya para wanita.”
Mengingat pesan ini ditulis oleh Imam Al-Ghazali dalam buku yang ditujukan untuk para pemimpin, sepertinya beliau juga sedang berpesan tentang pentingnya peran seorang istri dalam kepemimpinan seorang laki-laki. Baik memimpin wilayah ataupun institusi, tak terkecuali pesantren.
Jadi jangan heran, jika banyak para Gus atau Kiai yang akan selalu mengangkat telepon istrinya dengan suara lembut, bagian dari penerapan pesan Imam Al-Ghazali ini.
Imam Al-Ghazali berkata, yang kurang lebih maknanya: “Ketika orang yang berpotensi menjadi pemimpin belum memiliki istri, hendaklah dia memilih calon istri berdasarkan pada agamanya, karena faktor ketaatan agama seorang istri itu akan mendatangkan harta yang lebih berkah, dan wanita yang tidak memiliki ketaatan beragama tidak bisa mendatangkan keberkahan. Dan ketaatan seorang wanita yang beragama akan mendatangkan keberkahan di setiap sisi.”
Imam Al-Ghazali kemudian menceritakan sebuah kisah yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri.
Pada masa Bani Israil dulu, ada seorang lelaki saleh yang memiliki seorang istri yang salehah, taat beribadah, bijaksana, dan tegas.
Allah SWT kemudian berfirman kepada Nabi pada zaman tersebut untuk menyampaikan pada lelaki saleh itu, bahwa “Allah SWT telah menakdirkan separuh umur lelaki saleh itu dihabiskan dalam keadaan miskin, dan separuh umurnya yang lain dalam masa kaya. Jika lelaki saleh itu memilih kemiskinan pada masa mudanya, maka masa tuanya akan ada dalam kondisi kaya, begitu juga sebaliknya.”
Ketika pesan tersebut disampaikan pada lelaki saleh itu, ia bertanya kepada istrinya tentang pilihan mana yang akan diambil. Kemudian istrinya menjawab, “Pilihan ada padamu, wahai suamiku.”
Lelaki itu menjawab, “Saya telah meilhat kemiskinan di masa mudaku. Jika saya miskin tetapi saya masih muda, saya akan masih bisa bersabar. Dan ketika saya tua serta kaya, saya akan bisa mempertahankan sabar sembari mengerjakan berbagai ibadah.”
Namun istrinya kemudian menimpali perkataan suaminya tersebut, “Jika kita miskin dan tidak mampu taat kepada Allah SWT, kita mungkin tidak mampu melakukan amal kebaikan dan memberikan sedekah, maka penting bagi kita untuk memilih kekayaan di masa muda kita, sehingga dengan kondisi muda, kaya, dan taat, kita akan mampu untuk beribadah dengan tubuh, tenaga, serta harta kita.”
Lelaki saleh itu menjawab, “Pendapatmu itu adalah hal yang akan kita pilih.” Pertanda setuju pada pendapat sang istri.
Singkat cerita, Nabi pada zaman itu kemudian menerima wahyu tentang lelaki saleh tersebut. “Katakanlah kepada lelaki saleh itu, jika ia memilih untuk taat kepada Aku (Allah SWT), dan mengabdikan usaha untuk beribadah kepada-Ku, karena ia dan istrinya berniat untuk selalu taat pada-Ku, maka Aku telah memutuskan dan menetapkan seluruh hidup lelaki saleh bersama istrinya itu dalam kekayaan. Lelaki beserta istrinya itu harus beribadah kepada-Ku, dan apa Aku sediakan untuknya, harus dijadikan sebagai sarana sedekah kepada-Ku, agar ia dan istrinya memiliki jatah di dunia dan akhirat.”
Imam Al-Ghazali menggarisbawahi bahwa kisah ini mencerminkan nilai dan kemampuan seorang istri yang baik dan taat kepada Allah SWT dalam mendatangkan keberkahan dan kenikmatan dari-Nya.