Peristiwa Saqifah Bani Sa’idah (632 M) mencerminkan kompleksitas unik nan rumit dalam sejarah Islam, di mana terjadi “pertarungan politik” yang cukup memanas antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin untuk mengisi kekosongan kepemimpinan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW yang tidak menetapkan sistem suksesi secara eksplisit, atau mewasiatkan seseorang sebagai pengganti. Kedua belah pihak memiliki klaim masing-masing dan kedua belah pihak juga sangat berjasa bagi perjuangan dakwah Nabi Muhammad.
Klaim Kepemimpinan Kaum Anshar
Ketika Nabi Muhammad SAW. wafat, kaum Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka berkata: “Kita angkat Sa’ad bin Ubadah sebagai pemimpin pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.”
Mereka lalu menghadirkan Sa’ad yang sedang sakit ke tengah-tengah mereka. Ketika mereka berkumpul, Sa’ad berkata kepada putranya atau para sepupunya: “Sesungguhnya karena sedang sakit, tidak mampu memperdengarkan semua ucapanku kepada kalian semua, tetapi terimalah perkataanku dariku lalu perdengarkanlah kembali kepada mereka.”
Maka ia berbicara dan ada seseorang yang menghafal setiap perkataannya, lalu mengulangi ucapan Sa’ad dengan suara lebih tinggi sehingga terdengar oleh sahabat-sahabatnya.
Setelah memulai dengan hamdalah, Sa’ad berkata: “Wahai kaum Anshar, kalian memiliki keutamaan dalam agama dan senioritas dalam memeluk Islam yang tidak dimiliki oleh kabilah Arab mana pun. Sesungguhnya Muhammad SAW. tinggal selama belasan tahun di tengah kaumnya, menyeru mereka kepada penyembahan Tuhan al-Rahman dan meninggalkan tuhan-tuhan yang mereka sekutukan dan berhala-berhala yang mereka tuhankan. Tidaklah beriman kepadanya dari kaumnya kecuali segelintir orang. Dan mereka tidak mampu melindungi Rasulullah SAW., tidak pula mampu mengangkat kemuliaan agamanya, tidak pula punya kuasa untuk membentengi diri mereka sendiri dari penindasan yang menimpa mereka, hingga ketika Allah menghendaki keutamaan bagi kalian (Anshar), Dia mengarahkan kemuliaan itu kepada kalian dan mengistimewakan kalian dengan nikmat-Nya. Allah mengaruniakan kepada kalian keimanan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, perlindungan bagi beliau dan para sahabatnya, kemuliaan bagi beliau dan agamanya, serta jihad melawan musuh-musuh-Nya. Kalian (Anshar) adalah orang-orang yang paling keras terhadap musuh Nabi Muhammad, dan paling berani menghadapi musuh Nabi Muhammad. Sehingga seluruh bangsa Arab tunduk kepada perintah Allah, baik secara suka rela maupun karena terpaksa. Yang jauh pun tunduk dengan hina dan rendah diri. Hingga Allah menundukkan bumi bagi Rasul-Nya melalui kalian, dan dengan pedang-pedang kalian, seluruh bangsa Arab tunduk kepada Nabi Muhammad. Allah lalu mewafatkan Nabi Muhammad dalam keadaan beliau rida kepada kalian, dan hati beliau merasa nyaman bersama kalian. Maka raihlah kekuasaan ini, karena sesungguhnya ia adalah hak kalian, bukan yang lain.” (al-Thabari t.t.:218).
Sebagai pemuka kaum Anshar, Sa’ad bin Ubadah merasa bahwa kaumnya—sebagai pribumi asli Madinah yang telah melindungi Nabi Muhammad SAW. dan Muhajirin—berhak memegang kepemimpinan. Argumentasinya cukup berdasar, yaitu loyalitas penuh mereka dalam penopang dakwah Nabi Muhammad di Madinah, termasuk dalam Perang Badar, Uhud, dan lainnya.
Selain itu, kaum Anshar juga tidak ingin kekuasaan mereka perlahan meredup jika otoritas kekuasaan sepenuhnya dipegang oleh Quraisy (Muhajirin). Hal itu jelas akan mengancam posisi politik mereka, cepat atau lambat.
Klaim Kepemimpinan Quraisy
Berita soal perkumpulan para pemuka Anshar dengan cepat sampai kepada Umar bin Khaththab, lalu ia datang menuju rumah Nabi. Umar mengirim utusan kepada Abu Bakar, sementara Abu Bakar berada di kediamannya dan Ali bin Abi Thalib sedang fokus mengurus jenazah Rasulullah. Umar mengirim utusan kepada Abu Bakar agar segera keluar menemuinya. Abu Bakar mengirim balasan: “Aku sedang sibuk.”
Umar kembali mengirim utusan: “Sungguh telah terjadi suatu peristiwa yang engkau sendiri harus menghadirinya.” Maka Abu Bakar keluar menemuinya.
Umar berkata: “Apakah engkau tidak tahu bahwa kaum Anshar sedang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah? Mereka ingin mengangkat Sa’ad bin Ubadah sebagai pemimpin pasca Nabi. Dan perkataan terbaik dari salah satu mereka adalah: ‘Dari kami seorang pemimpin dan dari Quraisy seorang pemimpin! (minna amir wa min Quraisy amir)‘”
Maka Umar dan Abu Bakar bergerak cepat menuju perkumpulan itu. Mereka bertemu dengan Abu Ubaidah bin al-Jarrah, lalu mereka bertiga berjalan bersama menuju kaum Anshar. Mereka bertemu dengan Ashim bin Adi dan Uwaim bin Sa’idah, lalu keduanya berkata kepada Umar, Abu Bakar dan Abu Ubadah: “Kembalilah, karena apa yang kalian inginkan tidak akan terjadi.” Mereka menjawab: “Kami tidak akan kembali.”
Ketiganya tiba di Saqifah saat kaum Anshar sudah berkumpul. Umar bin al-Khattab berkata: “Kami pun mendatangi mereka dan aku juga telah menyiapkan ungkapan yang ingin aku sampaikan langsung di hadapan mereka.
Ketika aku mulai mendekat kepada mereka dan hendak memulai pembicaraan, Abu Bakar berkata kepadaku: ‘Tunggu, biarkan aku berbicara terlebih dahulu, kemudian nanti engkau boleh berbicara sesuka hati.’ Maka Abu Bakar berbicara.” Umar berkata: “Tidak ada sesuatu pun yang ingin aku katakan kecuali telah disampaikan semua oleh Abu Bakar atau malah lebih dari yang hendak aku sampaikan.” (al-Thabari t.t.:219)
Abdullah bin Abdurrahman berkata: Lalu Abu Bakar memulai (berbicara), maka ia memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian berkata: “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad sebagai Rasul kepada makhluk-Nya, dan sebagai saksi atas umatnya, agar mereka menyembah Allah dan mentauhidkan-Nya, padahal mereka menyembah berbagai macam sesembahan selain-Nya, dan mereka menyangka bahwa sesembahan itu menjadi pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah, dan memberikan manfaat bagi mereka, padahal sesembahan itu hanyalah pahatan batu dan ukiran kayu.”
Kemudian Abu Bakar mengutip ayat: “Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat memberi mudharat kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata: ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18). Dan mereka berkata: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3). Maka terasa berat bagi bangsa Arab untuk meninggalkan agama nenek moyang mereka. Lalu Allah memilih kaum Muhajirin awal dari kaum Nabi Muhammad untuk membenarkan risalah yang dibawanya, beriman kepadanya, membantu perjuangannya, dan bersamanya dengan penuh sabar atas beratnya gangguan kaum Quraisy kepada mereka, dan pendustaan mereka terhadap kaum Muhajirin awal, sementara seluruh manusia menentang mereka dan berbuat buruk kepada mereka. Namun kaum Muhajirin awal itu tidak merasa asing karena sedikitnya jumlah mereka dan celaan orang-orang kepada mereka, serta kesepakatan kaum mereka untuk menentang mereka. Kaum Muhajirin itu adalah orang-orang pertama yang menyembah Allah di bumi dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah para sahabat dan kerabat Rasulullah, dan orang-orang yang paling berhak atas urusan ini setelah beliau. Tidak ada yang akan menentang mereka dalam hal itu kecuali orang yang zalim. Dan kalian, wahai kaum Anshar, tidak ada yang mengingkari keutamaan kalian dalam agama, dan keutamaan kalian yang agung dalam Islam. Allah meridai kalian sebagai penolong agama-Nya dan Rasul-Nya, dan menjadikan hijrah Rasulullah kepada kalian, dan di antara kalian terdapat tokoh-tokoh penting dari istri-istri dan sahabat-sahabat beliau. Maka tidak ada seorang pun setelah kaum Muhajirin pertama yang kedudukannya di sisi kami seperti kedudukan kalian. Maka kami adalah para pemimpin dan kalian adalah para menteri. Kalian tidak akan bertindak sendiri dalam bermusyawarah, dan kami tidak akan memutuskan urusan tanpa melibatkan kalian.” (al-Thabari t.t.:219–20)
Abu Bakar menegaskan klaim otoritas kepemimpinan Quraisy melalui kombinasi legitimasi religius (peran awal kaum Muhajirin dalam Islam) dan hierarki sosial (kedekatan genealogis/kekerabatan dengan Nabi). Meski demikian, Abu Bakar tetap memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada kaum Anshar. Sehingga balasan yang tepat bagi kaum Anshar—berdasarkan pernyataan Abu Bakar—adalah kompensasi selevel menteri, jabatan di bawah penguasa utama, amir.
Perdebatan
Setelah Abu Bakar menyampaikan pidatonya, al-Hubab bin al-Mundzir, salah satu pemuka Anshar bangkit dan berkata: “’Dari kami seorang pemimpin dan dari mereka (Muhajirin) seorang pemimpin! (minna amir wa minhum amir).” (al-Thabari t.t.:220).
Mendengar ungkapan tersebut, Umar bin Khaththab menyanggahnya: “Tidak akan berkumpul dua pemimpin dalam satu masa! Demi Allah, bangsa Arab tidak akan rela jika kalian menjadi pemimpin mereka, sementara nabi mereka bukan dari kalian. Akan tetapi, bangsa Arab tidak akan menolak untuk menyerahkan kepemimpinan mereka kepada orang yang berasal dari kalangan mereka sendiri, yang di dalamnya terdapat kenabian dan telah mengurus urusan mereka.” (al-Thabari t.t.:220).
Al-Hubab bin al-Mundzir dengan sengit membalas Umar: “Wahai kalian seluruh kaum Anshar, raihlah kekuasaan ini dengan tangan kalian, dan jangan dengarkan perkataan laki-laki ini (Umar) dan para sahabatnya, sehingga mereka merampas bagian kalian dari kepemimpinan ini. Jika mereka menolak apa yang kalian minta, maka usirlah mereka dari negeri ini, dan kalianlah yang memegang kendali atas kepemimpinan ini. Demi Allah, kalianlah (Anshar) yang lebih berhak atas kepemimpinan ini daripada mereka (Muhajirin).” (al-Thabari t.t.:220).
“Semoga Allah membinasakanmu!” kata Umar. Lalu dibalas lagi oleh al-Hubab bin al-Mundzir: “Justru sebaliknya, semoga engkaulah yang dibinasakan oleh Allah.”
Perdebatan mulai sedikit mereda saat salah satu dari pemuka Anshar justru membela kaum Muhajirin. Dia adalah Basyir bin Sa’ad. Ia berkata: “Wahai sekalian kaum Anshar, demi Allah, jika kami memiliki keutamaan dalam berjihad melawan kaum musyrik, dan memiliki keutamaan senioritas dalam agama ini, maka kami tidak mengharapkan itu kecuali demi keridaan Tuhan kami, ketaatan kepada Nabi kami. Maka tidaklah pantas bagi kami untuk bersikap sewenang-wenang kepada manusia dengan segala keutamaan itu, dan tidak pula kami mencari keuntungan duniawi dengannya. Sesungguhnya Allahlah pemilik karunia atas kami. Ketahuilah, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. dari Quraisy, dan kaumnya lebih berhak dan lebih utama dalam kepemimpinan. Demi Allah, Allah tidak akan melihatku menentang Muhajirin dalam urusan ini selamanya. Maka bertakwalah kepada Allah, janganlah kalian (Anshar) berselisih dengan mereka (Muhajirin) dan jangan pula kalian menentang mereka.” (al-Thabari t.t.:220).
Setelah itu, Abu Bakar langsung mencalonkan Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah bin Jarrah untuk dipilih sebagai pemimpin. Keduanya serentak menolak dan langsung membaiat Abu Bakar, lalu diikuti oleh para peserta dalam perkumpulan itu.
Satu-satunya orang yang tidak membaiat Abu Bakar hingga akhir hayatnya adalah Sa’ad bin Ubadah. Ia tetap bersikukuh bahwa hak kepemimpinan ada di tangan kaum Anshar sebagai penduduk asli Madinah, penolong Nabi dan penopang seluruh perjuangan Nabi dengan seluruh harta dan nyawa hingga menjadikan Madinah pusat peradaban Islam yang maju.
Perdebatan di Saqifah Bani Sa’idah berlangsung sengit namun sangat terukur, penuh kehati-hatian. Kedua belah pihak menyampaikan argumentasi dengan landasan yang kuat, didasari oleh loyalitas terhadap Islam dan kekhawatiran akan masa depan umat. Suasana tegang menyelimuti pertemuan tersebut, menentukan arah kepemimpinan umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Sa’ad bin Ubadah Tak Pernah Berbaiat
Setelah beberapa waktu kemudian, seseorang diutus kepada Sa’ad bin Ubadah untuk membujuknya berbaiat kepada Abu Bakar. Dengan tegas Sa’ad menjawab, “Demi Allah, sungguh akan kulemparkan kalian dengan anak panah yang ada di kantungku, dan akan kulemparkan ujung tombakku, serta akan kutebas kalian dengan pedangku selama tanganku mampu memegangnya. Aku perangi kalian bersama keluargaku dan orang-orang dari kaumku yang taat kepadaku. Namun, aku memilih tidak akan melakukannya. Demi Allah, andaikan jin dan manusia berkumpul untuk mendukung kalian, aku tidak akan membaiat kalian, hingga aku menghadap Tuhanku dan mengetahui bagaimana hisabku sendiri.” (al-Thabari t.t.:222).
Ketika utusan tersebut melaporkan kepada Abu Bakar bahwa Sa’ad bin Ubadah tetap bersikukuh untuk menolak membaiatnya, Umar geram dan menyarankan Abu Bakar agar tidak membiarkannya begitu saja. Tapi akhirnya Abu Bakar lebih memilih saran Basyir bin Sa’ad untuk membiarkan Sa’ad bin Ubadah. “Sesungguhnya Sa’ad bin Ubadah telah berkeras hati dan tetap menolak, ia tidak akan membaiat kalian hingga ia dibunuh, dan ia tidak akan terbunuh hingga terbunuh pula anaknya, keluarganya, dan sebagian dari kaumnya. Maka biarkanlah saja, membiarkannya tidak akan membahayakan kalian. Ia hanyalah seorang diri.”
Sa’ad bin Ubadah memang tidak melakukan provokasi apapun. Tapi ia mengasingkan diri dari orang-orang. Ia tidak salat berjamaah dengan kelompok Abu Bakar, tidak berkumpul bersama mereka dan tidak berhaji bersama mereka. Ia terus seperti itu hingga Abu Bakar wafat.
Sa’ad bin Ubadah memang tidak berbaiat kepada Abu Bakar sebagai khalifah. Apakah sahabat agung ini tidak tahu bahwa ada hadis yang menegaskan bahwa kepemimpinan itu dari Quraisy? Mengapa ia tampak seperti sakit hati karena merasa haknya dan hak kaumnya malah “dirampas” oleh kaum Quraisy? Di sinilah hikmahnya. Sa’ad bin Ubadah tidak mungkin tidak tahu bahwa ada hadis yang menyebutkan bahwa pemimpin itu dari Quraisy. Tapi ia juga tahu bahwa ada hadis lain yang juga menegaskan keutamaan dan kedudukan penting kaum Anshar. Dengan demikian, memaknai hadis bahwa pemimpin dari Quraisy tidak serta merta menghilangkan hak kaum Anshar untuk berperan dalam kepemimpinan.
Sikap Sa’ad bin Ubadah mencerminkan tiga lapisan pemahaman yang mendalam: (1) Hadis tentang kepemimpinan Quraisy bersifat mujmal dan perlu penafsiran kontekstual, (2) Nabi juga pernah bersabda:
لَوْ سَلَكَ النَّاسُ وَادِيًا، وَسَلَكَتْ الْأَنْصَارُ شِعْبًا، لَأَخَذْتُ شِعْبَ الْأَنْصَارِ
“Seandainya manusia menempuh satu lembah dan Anshar menempuh lembah yang lain, maka niscaya aku akan memilih lembah Anshar.” (HR. Bukhari), dan (3) Prinsip syura (musyawarah) dalam Islam memberi ruang bagi representasi politik yang adil bagi kaum Anshar.
Kesimpulannya, seorang pemimpin dalam Islam tidak mesti dari kalangan ningrat, berdarah biru, atau dari kalangan bangsawan. Islam mengajarkan bahwa pemimpin itu adalah orang yang paling kompeten di bidangnya, terlepas dari latar belakang sosial atau keturunan. Prinsip ini tercermin dalam sabda Rasulullah SAW.:
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظَرْ السَّاعَةَ
“Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari).
Umar bin Khaththab juga pernah berkata: “Andai Salim, budak Abu Hudzaifah masih hidup, maka dialah yang aku tunjuk menjadi khalifah.”(al-Hujji 1999:349).
Daftar Bacaan
al-Hujji, Abdurrahman Ali. 1999. al-Sirah al-Nabawiyyah: Manhajiyyah Dirasatiha wa Isti’radh Ahdatsiha. Damaskus-Beirut: Dar Ibnu Katsir.
al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. t.t. Tarikh al-Rusul wa al-Muluk. Vol. III. Kairo: Dar Al-Ma’arif.
Please login to comment