Kita tak bisa hidup hanya dengan hukum. Atau hanya dengan akal. Atau hanya dengan doa. Ada celah yang tak bisa dipetakan oleh nalar, dan tak bisa dijangkau oleh sistem. Celah itu adalah perjalanan. Dalam Islam, ia dikenal sebagai thariqah—jalan menuju penyaksian kepada Sang Maha. Ia bukan pilihan, melainkan kewajiban yang tak tertulis, tapi dirasakan. Seperti cinta: tak bisa dihindari, tapi juga tak bisa dipaksakan.
Namun dalam sejarah, jalan yang semula sunyi itu kemudian bertumbuh, beranak-pinak, dan memerlukan nama. Maka lahirlah tarekat—thariqah yang dilembagakan. Ia menjadi rumah bagi pejalan, tempat berguru, berlatih, memurnikan. Tapi seperti semua rumah yang terlalu lama berdiri, ia pun rentan menjadi monumen, dan akhirnya—birokrasi.
Beberapa tahun lalu, dalam penulisan tesis tentang Jaringan Thariqah Alawiyah di Betawi Abad 19–20 M, saya menemukan bagaimana lembaga-lembaga tarekat bisa menjadi simpul sosial yang kuat, menjadi jembatan antara elite spiritual dan masyarakat awam. Namun saya juga mencatat gejala-gejala lain: bahwa dalam beberapa kasus, lembaga tarekat bisa tersusupi kepentingan duniawi, bahkan menjadi ladang kompetisi kuasa. Di sanalah saya mulai membedakan: thariqah adalah keniscayaan, sedangkan tarekat adalah kemungkinan.
Pembedaan ini bukan hanya tesis saya, tapi sudah lama disampaikan oleh Alm. Dr. Umar Assegaf Allahu Yarhamuh dalam bukunya Thariqah Alawiyah.
Tarekat, ketika menjadi organisasi, menyimpan potensi: menyambung silsilah, menjaga disiplin, mendampingi yang tersesat. Tapi di saat yang sama, seperti semua bentuk kekuasaan, ia rawan dijangkiti keinginan untuk mengatur, untuk menetapkan batas: siapa yang “di dalam” dan siapa yang “di luar”. Pada titik itu, spiritualitas yang seharusnya cair, justru membeku. Yang lembut menjadi keras. Yang merangkul menjadi menyingkirkan.
Barangkali di sinilah letak paradoksnya: bahwa semua kita wajib berthariqah, tapi tak satu pun wajib bertarekat. Karena hakikat jalan itu bukan pada organisasinya, melainkan pada perjalanannya. Karena guru sejati bukan yang duduk di singgasana, tapi yang berjalan bersama. Kita tak bisa berjalan sendiri, benar. Tapi kita pun tak bisa selalu berjalan dalam kerumunan yang menjadikan jalan sebagai panggung.
Maka mungkin, lebih dari sekadar lembaga, thariqah adalah hasrat untuk tiba. Dan bertarekat adalah satu dari sekian cara. Selebihnya adalah keheningan, sujud yang tak terlihat, dan langkah-langkah kecil yang terus mencari Tuhan, di luar batasan logo, panji, simbol , dan mungkin di luar nama.
Please login to comment