Cinta bisa
tumbuh dengan perkenalan. Tak
kenal maka tak sayang. Namun cinta butuh dipupuk agar akarnya menguat dan
tumbuh dengan sehat. Mencintai Rasulullah atau orang shaleh dan wali Allah juga
demikian: dengan membaca sirah, mendengar kisah dan manaqib para wali dan kaum
shaleh bisa menumbuhkan benih-benih cinta. Cinta akan semakin berkembang
setelah perkenalan semakin mendalam.
Semua orang
yang bermazhab Syafi’i mencintai Imam Asy-Syafi’i. Tapi kecintaan para pengikut
awam tidak sama dengan kecintaan para ulama. Pengikut awam mencintai imam Asy-Syafi’i
dengan cinta yang bersifat umum, tapi para ulama mencintai Imam Asy-Syafi’i
dengan cinta yang khusus dan lebih mendalam. Semua ini berkat intensitas ulama
dalam membaca karya-karya Imam Asy-Syafi’i; kedalaman ilmu Asy-Syafi’i tak
pelak membuat mereka semakin mengagumi dan mencintai sang Imam.
Demikian
ilustrasi Imam Al-Ghazali dalam Ihya’. Al-Ghazali sepertinya menempatkan mahabbah (cinta) dalam maqamat
kesufian yang bisa diusahakan. Sementara kaum sufi lain menganggap mahabbah
sebagai ahwal (trance) yang tak bisa diusahakan (mawhibah/terberi).
Cinta
membuat seorang pecinta meniru kekasihnya. Sehingga banyak pengkaji, seperti
Ibn Hazm, mengatakan bahwa cinta bisa terwujud bila kedua kekasihnya memiliki munasabah,
musyabahah dan musyakalah (keserupaan, kemiripan). Sehingga ketaatan pada
Allah bisa diasumsikan kecintaan hamba pada Tuhannya. Meniru jejak Rasul (ittiba’)
adalah ekspresi cinta pada Rasullah. Sebab dengan meniru tergambar munasabah
dan musyabahah.
Pertanyaan
yang muncul kemudian: apakah yang tidak ittiba’ berarti tidak cinta? Apa
standar ittiba’ harus total?
Imam
Al-Ghazali berpendapat bahwa ittiba’ bukan syarat cinta. Ittiba’ merupakan
tanda cinta. Pendapat ini didasarkan pada kisah Nuaiman, seorang sahabat yang
kecanduan minuman keras (khamar). Nuaiman tak pernah jera minum meski sudah dihukum cambuk
berkali-kali. Hingga pada sutau waktu ada sahabat Nabi lain yang kesal pada
sikapnya mengeluarkan sumpah serapah dan laknat.
Mendengar
ucapan Sahabat ini Nabi mengingatkan “jangan kau laknat (Nuaiman)! Sebab dia
mencintai Allah dan Rasul–Nya” (HR.
At-Tirmizi).
Jadi cinta
ada dalam hati dan tak bisa diukur oleh perilaku seseorang. Bisa saja hatinya
diliputi cinta tapi dia belum sanggup membahagiakan kekasihnya. Ini setidaknya
menegaskan pada kita bahwa tak ada yang sanggup ittiba’ pada Rasulullah
secara total karena beliau adalah manusia sempurna. Namun kita bisa mencintai beliau
secara totalitas dalam hati.
Demikian
pula mencintai para wali dan ulama; kita tak akan sanggup meniru jejak,
perilaku, akhlak dan ketekunan mereka. Tapi kita bisa menumbukan dan menguatkan
perasaan cinta kita pada mereka. Dengan cinta yang semakin mengakar kuat maka
biasanya seseorang akan sanggup mengikuti dan membahagiakan kekasihnya tanpa
lelah dan pamrih.
Abdullah
bin Al-Mubarak menggubah sebuah syair:
“Kamu bermaksiat pada Tuhan sementara dirimu mengaku
cinta + sungguh demi Allah, ini sangat aneh”
“Jika
cintamu sejati niscaya kamu akan taat padaNya + sesungguhnya sang pencinta
dengan kekasihnya akan selalu taat”
Al-Ghazali
lebih menyukai amal ibadah yang sedikit namun diliputi perasaan cinta yang
membuncah dari amal ibadah yang banyak namun kering dari cinta dan kerinduan. Meski
cinta juga memiliki tingkatan: ada yang murni karena cintanya pada Allah, ada
yang mencintai Allah karena berharap surgaNya, ada yang mencintaiNya karena
merasa mendapat perhatian dan nikmatNya di dunia. Semua didasari cinta pada
Sang Khalik, dengan alasan yang beragam. Yang tercela adalah mencintai pemberian
namun lupa pada Sang Pemberi.