Said An-Nursi adalah seorang ulama yang berhasil meredam gelombang sekularisasi Turki Modern. Mustafa Kamal At-Taturk, sebagai bapak modern Turki, sangat geram pada sosok ini. Proyek westernisasi Turki yang digagasnya selalu mendapat batu sandungan dari An-Nursi. Meski sebetulnya An-Nursi melakukan perlawanan secara diam-diam, pelan namun jitu.
Madrasah Rasa’il An-Nur, meski tak hadir secara fisik karena berupa pemikiran yang disebarkan melalui tulisan dari dalam penjara atau pengasingan, telah berhasil melahirkan generasi muslim Turki yang memiliki keimanan kuat dan kecintaan pada Al-Qur’an.
Badiuzzaman Said An-Nursi lahir di desa Nursi pada 1877 M dan wafat 1960 M. Dia seorang ulama yang separuh hidupnya menyaksikan sisa-sisa kejayaan dinasti Ottoman, sebagai kekhalifahan terakhir. Setelah menamatkan studi ilmu agamanya, An-Nursi melengkapi diri dengan pengetahuan sains dan ilmu modern. Di masanya, dia termasuk ulama yang komplit. Dia kemudian menyibukkan diri dengan dakwah, politik dan bahkan pernah ikut terlibat membendung tentara Kaisar Tsar Rusia tatkala mendekati Ottoman.
Setelah Ottoman runtuh pada 1924 M. An-Nursi mengubah metode dakwahnya dan memilih menarik diri dari semua urusan politik. Dia hanya fokus pada dakwah, melalui tulisan, pengajian dan ceramah. Fokusnya pada dua hal: menumbuhkan keimanan di tengah sekularisme dan kehidupan Turki modern yang matrealistik. Juga menafsirkan Al-Qur’an secara tematis sesuai dengan konteks dunia modern saat itu.
Gencarnya dakwah melalui tulisan dan lisan yang dilakukan oleh An-Nursi membuatnya berkali-kali dihadapkan pada meja hijau. Dia dituduh menggerakkan massa untuk makar, melawan konstitusi Turki, menganjurkan pemakaian hijab bagi wanita dan simbol keagamaan di muka publik. Tuduhan-tuduhan itu tak pernah terbukti namun An-Nursi tetap dipenjara berkali-kali, diasingkan ke berbagai tempat.
Tapi semua ini hanya semakin mempertajam dakwahnya. Rasa’il An-Nur yang ditulisnya di pengasingan dan penjara terbukti semakin mendapat tempat di hati masyarakat muslim Turki. Pengasingan hanya membuat An-Nursi semakin produktif menulis hingga mencapai 130 judul, kemudian tulisan ini disebarkan secara sembunyi-sembunyi oleh para murid Rasa’il An-Nur. Dari madrasah inilah kaum muslimin Turki modern mereguk ilmu dan menuai petunjuk.
Keimanan Serupa Roti dan Tasawuf Seperti Buah-buahan
Dalam artikel ini penulis hanya akan mengurai pandangan Said An-Nursi pada kaum sufi dan ilmu Tasawuf. Penulis akan merujuk langsung pada tulisan An-Nursi, baik di Al-Maktubat, Lama’at dan Syu’a’at.
Dalam Al-Maktub Al-Khamis, An-Nursi seakan mengritik pengamal tasawuf dan tarekat. Dia menulis:
“Tak mungkin seseorang masuk surga tanpa iman, sementara banyak sekali orang masuk surga tanpa tasawuf. Manusia tak mungkin bisa hidup tanpa roti (makanan pokok), tapi masih bisa hidup tanpa buah-buahan (makanan pelengkap); tasawuf seperti buah-buahan sementara hakikat keimanan sama dengan roti.”
Dia memandang masyarakat Turki dan kaum muslimin secara umum sedang digerus oleh modernitas dan sekularisasi. Maka menumbuhkan keimanan serupa dengan butuhnya manusia pada makanan pokok. Bukan waktunya mereka disuguhi buah-buahan yang tidak mengenyangkan. Tapi bukan berarti buah-buahan dibuang saja. Bagaimanapun buah adalah makanan pelengkap yang tak bisa diremehkan.
An-Nursi sendiri di Al-Maktubat 29 mengakui bahwa peran kaum sufi dan tarekat sufi di masa lalu sangat besar. Tak ada yang bisa meragukannya. An-Nursi bahkan pernah berbaiat pada Syeikh Sayid Nur Muhammad An-Naqshabandi, seorang mursyid tarekat Naqshabandiyah, dan dekat dengan penganut Sanusiyah.
Adapun penolakannya untuk bergabung dengan revolusi kaum tarekat Naqshabandiyah yang dipimpin oleh Syeikh Said Bayram lebih didasari bahwa revolusi senjata hanya akan memakan korban sesama muslim. Selain itu karena kekuatan Naqshabandiyah dianggap belum setara untuk melawan At-Taturk. Terbukti revolusi itu gagal total.
Kritik Konsep Wahdatul Wujud
Dalam beberapa kesempatan, An-Nursi menyebut nama Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani dan Ibn Arabi sebagai wali qutub (penghulu para wali). Meski demikian, di matanya, keempat imam mujtahid (Abu Hanifah, Malik, As-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal) tetap lebih afdal dari mereka, setelah para sahabat dan Al-Mahdi. Sepertinya penilaian An-Nursi lebih pada aspek pengaruh dan manfaatnya di tengah masyarakat muslim. Bukan didasari penilaian yang lumrah di kalangan kaum sufi.
Dia juga mengunggulkan para wali yang sadar dari yang ‘mabuk’. Berdasarkan para sahabat dan tabi’in yang unggul adalah mereka yang selalu tersadar. Munculnya syatahat (ungkapan nyeleneh) dari mulut kaum sufi yang ‘mabuk’ adalah indikasi bahwa kondisi mereka sedang terpesona oleh satu maqam; terbuai dan hanyut. Tidak sadar bahwa masih ada maqam selanjutnya yang jauh lebih sempurna.
Seorang wali yang mengatakan “la masyhuda illa Allah” (tak ada yang disaksikan kecuali [kuasa] Allah) lebih utama dari yang berucap “la mawjuda illa Allah” (tak ada yang wujud secara hakiki kecuali Allah). Sebab yang kedua mengingkari eksistensi alam raya. Sementara yang pertama tidak begitu; alam raya menjadi media zikir (mengingat) Allah. Ini yang disebutnya sebagai ma’rifah qur’aniyah (pengetahuan qur’ani) yang menyampaikan seseorang pada hudur da’im (merasakan kehadiran Allah secara terus menerus).
Meski demikian, An-Nursi tak menyalahkan kaum sufi yang ‘mabuk’. Keberadaan mereka tetap dianggap sebagai realitas yang tak perlu disingkirkan. Dia juga kerap memakai istilah-istilah kaum sufi falsafi seperti tajali, Asma’ Allah, mawajidz, zauq dst. Tentu hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan An-Nursi yang ensiklopedis. Dia membaca semua buku bahkan menghafal 90 buku dasar keislaman (matan) dalam semua bidang keilmuan.
Pengetahuan Intuitif Serupa dengan Mimpi
Pengalaman kesufian yang menghiasi, utamanya, kitab-kitab tasawuf, entah berupa pertemuan batin dengan para nabi, malaikat, terbukanya surga dan neraka, serta alam barzakh, dan semua pengalaman rohani adalah bukan wahyu yang sudah dijamin kebenarannya.
Semua pengetahuan intuitif serupa dengan mimpi, yang penilaian finalnya tetap harus diadili di hadapan Al-Qur’an dan hadis. Bagi yang tidak meyakininya tidak lantas menjadi kafir selayaknya wahyu. An-Nursi mengingatkan dengan keras bahwa mukasyafat (tersingkapnya tabir) bukan wahyu.
Ketegangan yang terjadi antara penganut tarekat karena saling mengklaim sebagai yang terbaik dan pendirinya sebagai wali teragung, disebabkan oleh absennya kesadaran bahwa setiap mukasyafat itu bukan wahyu. Kebenarannya tidak mutlak dan bisa jadi sang wali hanya dibukakan satu bilik kecil dari alam malakut, bukan keseluruhannya.
Yang paradoks, menurut saya, adalah ungkapannya dengan “para pewaris Nabi” yang hanya dialamatkan buat orang-orang seperti dia yang mendalami kemukjizatan Al-Qur’an dan menjadi para pelayan Al-Qur’an. Sementara para guru sufi dan pakar ilmu kalam dianggap tidak mewarisi derajat ini.
Dia juga memotong arus transmisi sanad, dan hanya mengaku berguru langsung pada Rasulullah atau kitab suci Al-Qur’an. Namun siapapun yang membaca tulisan-tulisannya akan menyadari bahwa semua dasar keilmuannya ikut mewarnai wacana yang digagasnya.
Para guru sufi dan pakar ilmu kalam juga pelayan Al-Qur’an dalam dimensi dan keahliannya. Mereka juga para pewaris Nabi. Cakupan Al-Qur’an sangat luas, tak ada manusia yang sanggup menangkap semua dimensi Al-Qur’an. Masing-masing keahlian dan ulama saling melengkapi.
Dari Tasawuf ke I’jaz Qur’ani
Jika ditanya: An-Nursi masuk kategori sufi Sunni atau falsafi? Maka jawabannya agak sulit, sebab dia menghormati semua aliran tasawuf, baik yang falsafi maupun sunni. Takaya (pondok sufi) telah menyumbangkan banyak hal buat Islam. Kontribusi mereka layak diapresiasi, namun dia sendiri merasa sudah menemukan konsep baru yang tak bisa disebut sebagai pendekatan kaum sufi.
An-Nursi mengaku mendapat pencerahan setelah bermimpi didatangi ibunya. Dan kemudian ada semacam suara yang menyuruhnya untuk menulis tentang kemukjizatan Al-Qur’an, terutama di tengah kegamangan kaum muslimin Turki digempur oleh sekularisasi barat.
Dengan kembali menyegarkan aspek kemukjizatan Al-Qur’an, dia berharap bisa menumbuhkan keimanan sekaligus kecintaan kembali pada Al-Qur’an. Bukan waktunya mengembangkan teknik-teknik zikir, baiat dan suluk ketat ala kaum sufi. Kaum muslimin lebih membutuhkan makanan pokok daripada makanan pelengkap.
Kemukjizatan Al-Qur’an adalah demarkasi terakhir An-Nursi. Melalui kontemplasi panjang di pengasingan dan penjara, An-Nursi berhasil menafsirkan Al-Qur’an secara tematis maupun dalam bentuk jawaban dari sebuah pertanyaan yang diajukan murid-muridnya.
Siapapun yang membacanya akan menangkap bahwa Al-Qur’an di tangan An-Nursi benar-benar menjadi hudan linnas (kitab petunjuk) yang menumbuhkan keimanan dan kecintaan kembali pada Islam.
Dengan pengetahuannya yang ensiklopedis, tulisan-tulisan An-Nursi menjadi cahaya di tengah kepungan modernitas dan sekularisme. Bukan seperti Fi Zilal Al-Qur’an milik Sayid Qutub yang juga ditulis dari balik jeruji besi. Di tangan Sayid Qutub, Al-Qur’an dijadikan senjata bagi dia untuk membalas dendam atas perlakuan lalim penguasa; Sayid Qutub mengkafirkan mayoritas kaum muslimin modern.
Semua ini didasari background keduanya; Said An-Nursi seorang ulama yang mencintai Allah, Rasulullah dan cinta tanah airnya, anti kekerasan dan pertumpahan darah sesama muslim. Sementara Qutub adalah seorang jurnalis, yang membenci modernitas, menyimpan dendam kesumat pada negerinya. Sehingga tulisan Sayid Qutub banyak dijadikan rujukan resmi ekstrimis hingga teroris.