Sebagian ulama memang ada yang anti pada bantuan maupun gaji dari pemerintah. Terkait interaksi dengan sumbangan dana maupun gaji pemerintah, sikap ulama terbagi menjadi tiga:
Pertama: Menolak keras, seperti Imam Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Kelompok pertama ini melihat bahwa menerima sumbangan atau gaji pemerintah bertentangan dengan kehormatan ilmu.
Baca juga: Belajar Mencintai Negeri dari Syekh Adnan Al-Afyuni
Kedua: Mau menerima tapi tidak meminta atau mengajukan proposal, seperti Imam Malik; tatkala mendapat sumbangan segera dibelanjakan pada tempatnya; membantu para penuntut ilmu dan orang-orang yang membutuhkan.
Menurut Imam Malik, dalam uang pemerintah ada hak orang alim yang menyebarkan ilmu. Mereka setara dengan tentara yang menjaga keamanan negara.
Ketiga: Mau menjadi pejabat dan menerima gaji seperti Imam Asy-Syafi’i.
Saat gajian, Imam Asy-Syafi’i menghabiskan uangnya untuk disedekahkan. Bukan untuk memperkaya diri.
Yang membedakan adalah bahwa Imam Abu Hanifah kaya raya sementara Imam Ahmad hidup serba kekurangan.
Bahkan, kata Abu Nuaim Al-Asbihani dalam Hilyah-nya, tatkala Al-Makmun mengeluarkan kebijakan bisyarah bagi semua muhaddis, hanya Imam Ahmad yang menolak menerimanya.
Baca juga: Jalan-jalan dalam Tradisi Muhadditsin
Kenyataan ini masih bisa dimaklumi sebab Al-Makmun adalah lawan politik dan ideologisnya. Namun saat Al-Mutawakkil, penguasa setelah Al-Watsiq yang mengubah kebijakan dan menghormati ulama Sunni, menawarinya kekayaan, Imam Ahmad tetap pada pendiriannya.
Namun saat posisi terdesak karena akan dianggap membangkang kepada Al-Mutawakil, Imam Ahmad menerima hadiahnya tapi segera memanggil putranya, Shaleh, agar segera dibagi-bagikan ke fakir miskin. Al-Mutawakil dianggap berjasa oleh ulama Sunni karena menyelamatkan mereka dari pemaksaan ideologi Muktazilah.