Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Pandemi di Balik Megahnya Masjid Sultan Hasan

Avatar photo
40
×

Pandemi di Balik Megahnya Masjid Sultan Hasan

Share this article

Salah satu mahakarya arsitektur Mesir Islam yang masih bisa ditemui saat ini adalah Masjid Sultan Hasan di kota Kairo. Pembangunan masjid ini dimulai pada tahun 1356 M/757 H atas perintah Sultan An Nasir Hasan yang memerintah Mesir waktu itu dan benar-benar selesai di tahun 1363 M/764 H.

Tidak hanya sebagai masjid, bangunan ini juga didirikan
sebagi tempat belajar sekaligus asrama siswa pendidikan Islam sehingga dikenal
juga sebagai Madrasah Sultan Hasan.

Dalam buku Tarikh Misr al Islamiyyah (Sejarah
Mesir Islam), Jamaluddin As Syayal menyebut bahwa masjid ini adalah peninggalan
Mesir Islam yang paling indah. Menurutnya, pendapat ini sesuai dengan pendapat
para sejarawan maupun para pelancong.

Tidak salah, memang. Masjid Sultan Hasan terbukti nampak
indah dan megah apalagi jika dilihat dari ketinggian Benteng Shalahuddin Al
Ayyubi yang ada seberangnya, tepatnya di arah kiblat.

Kendati demikian, ada kisah pilu di balik berdirinya
masjid ini. Pada tahun 1348 M/749 H, Mesir yang waktu itu dikuasai oleh Dinasti
Mamluk, atau disebut juga Daulah Mamalik, dilanda sebuah pandemi dahsyat yang
terkenal dengan nama Al Mawt as Aswad atau The Black Death.

Pandemi yang dipercaya merenggut tak kurang dari sepertiga
populasi Mesir dan 200 juta korban secara global ini diperkirakan mulai mewabah
di wilayah Timur Jauh lalu merembet ke arah barat hingga Eropa dan Timur Tengah.

Menurut Caroline Williams dalam buku Islamic Monuments
in Cairo
, harta benda peninggalan korban pandemi ini masuk memenuhi
pundi-pundi kas negara waktu itu. Dari kas negara inilah sang sultan memiliki
modal besar untuk membangun masjid yang megah, sebuah kebijakan yang sesungguhnya
tidak populer di mata rakyat.

Sultan An Nasir Hasan sendiri dinobatkan menjadi penguasa
tertinggi Mesir setahun sebelum terjangkitnya pandemi (1347 M/748 M). Saat itu
ia masih sangat muda, baru berusia tigabelas tahun.

Ayahnya bernama An Nasir Muhammad sedang kakeknya bernama
Al Mansur Qalawun, keduanya juga sultan penguasa tertinggi Mesir di masanya. Setelah
dinobatkan, sultan yang masih belia ini tidak benar-benar memiliki andil dalam
pengambilan keputusan. Segala urusan pemerintahan lebih berada di bawah
keputusan para amir.  

Saat terjadinya pandemi, angka korban penduduk Mesir bisa
mencapai angka 10.000 dalam satu hari saja, sebagaimana diceritakan Jihan
Mamduh Ma’mun dalam buku Daulah Salatin al Mamalik fi Misr (Negeri Para
Sultan Mamluk di Mesir).

Total korban tak kurang dari 900.000 penduduk serta
seribu punggawa militer Mesir. Empat
puluh desa hilang populasinya dan lahan pertanian tak tergarap karena para
petani menjadi korban. Harga dua seperempat kilo gandum pun mencapai angka 200
dirham.

Di antara sekian dinasti penguasa Mesir Islam, Dinasti
Mamluk dapat dikatakan paling unggul dalam melahirkan peninggalan bangunan artistik.
Sebagaimana penguasa dinasti Mesir Islam lain, para sultan maupun amir Dinasti
Mamluk berlomba-lomba mendirikan bangunan umum maupun keagamaan.

Tak jarang masjid satu berseberangan atau bersampingan
dengan masjid yang lain. Lorong-lorong kota Kairo kuno menjadi semacam museum terbuka
yang memajang sekian banyak peninggalan Mesir Islam termasuk Dinasti Mamluk.

Namun demikian, Dinasti Mamluk juga terkenal dengan
intrik politiknya yang keras yang tak jarang diiringi kudeta berdarah. Karakter
keras ini tak bisa dilepaskan dari asal-muasal dinasti ini.

Istilah mamluk yang bentuk jamaknya adalah mamalik
ini memiliki arti ‘budak’. Generasi awal dinasti ini bermula dari para mamluk
yang akhirnya merdeka lalu menjadi punggawa militer dan akhirnya menanjak
posisinya menjadi penguasa.

Dinasti Mamluk terbagi menjadi dua periode, Mamluk Bahri
(1250–1382 M) dan Mamluk Burji (1382–1517 M). Kata bahri berarti laut
atau perairan sedang burji berarti menara atau benteng.

Cikal bakal Dinasti Mamluk Bahri adalah para serdadu
mamluk  keturunan etnis Turk yang
baraknya berada di Pulau Raudhah, tengah Sungai Nil. Sementara itu, para
petinggi Dinasti Mamluk Burji adalah keturunan etnis Circassia dari wilayah
Kaukasus yang memerintah dari Benteng Shalahuddin Al Ayyubi, Kairo.

Ibu kota sepanjang masa pemerintahan Dinasti Mamluk
adalah kota Kairo, Mesir. Dari kota inilah Dinasti Mamluk dapat memerintah
wilayah yang kini masuk negara Libya, Sudan, Saudi Arabia, Yordania, Palestina,
Israel, Lebanon, Suriah dan Turki. Peninggalan-peninggalan Mamluk saat ini juga
masih bisa ditemui di kota suci Makkah dan Madinah.

Kerasnya intrik politik Dinasti Mamluk juga berimbas pada
Sultan An Nasir Hasan. Karena masalah politik sang sultan dilengserkan oleh
para amir di tahun 1351 M dan digantikan oleh adiknya Sultan As Salih
Salahuddin Salih.

Namun melalui intrik politik juga akhirnya Sultan An
Nasir Hasan bertahta lagi di tahun 1354 M. Di masa pemerintahannya yang kedua
inilah, tepatnya di tahun 1356 M, ia mulai mendirikan bangunan megah yang kita
kenal dengan nama Masjid-Madrasah Sultan Hasan.

Sejarawan Mesir terkemuka, Al Maqrizi, yang lahir
beberapa tahun setelah meninggal Sultan Hasan, mencatat kemegahan masjid sang
sultan. Dalam karya monumentalnya, Al Khitat, sejarawan ini menyatakan
bahwa di dalam Masjid Sultan Hasan terdapat keajaiban-keajaiban arsitektural.

Ia menyebut ruang dalam atau iwan di masjid ini
lebih megah dari iwan milik raja kisra di kota-kota di Iraq. Mimbarnya
yang berbahan marmer ia sebut tiada tanding. Kubah besarnya ia sebut tak dapat
ditemui di tempat lain baik di Mesir, Syam, Iraq, Maghrib (Afrika Utara bagian
barat) maupun Yaman.

Sayang sekali, kubah yang disebutkan oleh Al Maqrizi di
atas, kini tidak bisa ditemui lagi. Kubah yang asli telah mengalami kerusakan
dan yang tersisa adalah hasil renovasi dari generasi penguasa berikutnya.

Masjid ini memiliki panjang 150 meter, lebar 68 meter dan
tinggi 36 meter, sedang menara tertingginya mencapai angka 84 meter. Menurut Al
Maqrizi, masa pembangunan masjid ini memakan waktu tiga tahun tanpa ada hari
libur.

Jika menurut referensi lain pembangunannya memakan waktu
tujuh tahun, berarti empat tahun yang terakhir adalah masa penyempurnaan.

Di kota Kairo, kiblat ada di arah tenggara. Masjid Sultan
Hasan memiliki iwan di arah kiblat, arah barat daya, barat laut dan
timur laut. Pada empat sudut di antara empat iwan, terdapat empat ruang
madrasah untuk empat mazhab fikih yang berbeda. Bangunan untuk mazhab Hanafi
adalah yang terbesar dan berada di sudut selatan, sedang untuk mazhab Hanbali
adalah yang terkecil di sudut barat.

Bangunan di sudut utara untuk mazhab Maliki, di sudut
timur untuk mazhab Syaifi’i, sementara bagian tengah adalah ruang tanpa atap
yang dilengkapi tempat berwudhu. Selain madrasah yang berorientasi
pendidikan fikih, kuttab yang merupakan lembaga pendidikan dasar baca
tulis Al Quran untuk kanak-kanak juga diselenggarakan di masjid ini dengan
sasaran utama anak-anak yatim.

Sultan Hasan memang tidak lama menikmati keindahan masjid
yang ia bangun karena mangkat di tahun keenam pembangunan. Terlepas kontroversi
penggunaan dana dari peninggalan korban pandemi, Sultan Hasan waktu itu berusaha
menjalankan masjid dan madrasahnya dengan semangat kedermawanan.

Segenap syaikh, guru, siswa madrasah, siswa
kuttab maupun pegawai yang beraktivitas di masjid ini dijamin
kehidupannya secara finansial. Hal ini dipaparkan oleh Su’ad Mahir Muhammad
dalam bukunya Masajid Misr wa Awliya’uha As Salihun (Masjid-masjid Mesir
dan Para Walinya yang Saleh).

Jaminan serupa juga diberikan kepada para imam, muazin serta ahli pengatur waktu shalat. Tidak ketinggalan pula para qari’ (pelantun Al Quran), hafidz (penghafal Quran), ahli bacaan al qiraa’ah sab’ (bacaan Quran yang tujuh dialek) serta madih (pelantun pujian atas Nabi) yang punya tugas masing-masing di masjid ini.

Sultan juga memberi fasilitas pemeriksaan kesehatan untuk seluruh pegiat masjid dengan mendatangkan ahli kesehatan dan perobatan setiap harinya.

Pada malam Jumat, juga pada hari-hari tertentu termasuk
hari raya, masjid ini menyiapkan sajian makanan istimewa untuk para pegiat
masjid dan fakir miskin. Acara tahunan yang juga diadakan di masjid ini adalah
pembagian pakaian, penutup kepala dan alas kaki secara cuma-cuma kepada mereka.

Suatu ketika di tahun kelima pembangunan, menara di
bagian gerbang masjid runtuh dan menimbulkan ratusan korban yang kebanyakan
anak-anak yatim yang belajar. Rencana pembangunan menara di gerbang pun tidak
berlanjut. Banyak orang menganggap runtuhnya menara ini sebagai pertanda akan
runtuhnya kekuasaan sang sultan.

Tak lama kemudian di tahun 1361 M/762 H, intrik politik
menjadikan Sultan An Nasir Hasan terbunuh di usianya yang ke-27 oleh seorang
mamluk bawahannya sendiri yaitu Yalbugha Al Umari.

Tampuk kekuasaan kemudian berpindah ke sang kemenakan yang
bernama Al Mansur Muhammad. Sepeninggal sang sultan, penyempurnaan pembangunan masjid
ini tetap dilanjutkan hingga tahun 1363 M/764 H.

Kontributor

  • Muhyidin Basroni

    Muhyidin Basroni, Lc., MA., peminat kajian sejarah, budaya dan seni dalam Islam, pernah belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, kini mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.