Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Penggunaan istilah “pesantren” sebagai wujud moderasi beragama ulama nusantara

Avatar photo
24
×

Penggunaan istilah “pesantren” sebagai wujud moderasi beragama ulama nusantara

Share this article

Model lembaga pendidikan Pesantren dalam dunia pendidikan [informal] Islam di Indonesia, merupakan salah satu bentuk dari hasil produk akulturasi budaya di Indonesia [Nusantara]. Akulturasi budaya tersebut tidak lepas dari budaya awal (budaya agama) yang telah lebih dulu ada di Nusantara sebelum masuknya Islam. Hal tersebut memberi pesan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui sistem pendidikan yang dapat diterima oleh agama dan budaya terdahulu, yang sudah ada sejak lama di Nusantara sebelum masuknya Islam.

 

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (memberi kebaikan pada semesta alam), tidak memaksakan model-model penyebaran agama-nya melalui pendidikan dengan model lembaga pendidikan di tempat kelahirannya (Arab). Islam lebih mengedepankan toleransi pada budaya yang telah lebih dulu ada di Nusantara. Karenanya, para penyebar agama Islam kala itu dengan cepat dapat beradaptasi dan mendapat tempat di tengah masyarakat karena memilih untuk menggunakan model-model lembaga pengajaran dan pendidikan yang telah dikenal masyarakat Hindu-Buddha yang menjadi agama dan budaya tertua di Nusantara. Inilah salah satu ciri khas para penyebar agama Islam kala itu, yang hingga kini masih terus dipegang teguh oleh para ulama/kyai serta para murid/santrinya.

Jika mengambil sejarah datangnya pengaruh Islam dari era-Kalingga (Jepara), maka dapat disimpulkan bahwa dimulainya penyebaran agama Islam di Nusantara melalui sistem pendidikan informal telah dimulai sejak abad ke-7 atau sekitar tahun 651 M. Adanya kelompok-kelompok masyarakat Jawa yang kemudian intens melakukan interaksi ke-ilmuan Islam dan kemudian berkembang menjadi lembaga-lembaga pendidikan ke-agama-an yang kita kenal saat ini bernama Pesantren.

Interaksi-interaksi dalam hal penyampaian nilai-nilai ke-agama-an yang dilakukan para mubaligh yang sekaligus berperan sebagai pedagang dilakukan di berbagai tempat dengan membentuk kelompok-kelompok kecil. Menjadi sangat wajar jika mereka kemudian dapat sering berinteraksi, karena para pedagang yang juga mubaligh tersebut tentu membutuhkan sebuah tempat untuk melaksanakan kegiatan ibadah wajib (shalat) setelah aktivitas dagangnya. Saat berada di tempat beribadah inilah yang kemudian dijadikan sarana menyampaikan ilmu-ilmu ke-agama-an.

Antusiasme masyarakat untuk ikut berkumpul dalam kelompok-kelompok yang dibentuk para mubaligh pedagang tersebut serta semakin menariknya kajian-kajian yang disampaikan menambah banyaknya jumlah Cantrik/Santri yang berkumpul untuk mengikutinya. Berkumpulnya banyak Cantrik/Santri  tersebut, menjadikan seorang mubaligh perlu mengakomodir segala kebutuhan yang muncul karenanya. Kebutuhan tempat dan sarana penyampaian pelajaran adalah hal mendesak yang harus segera disediakan agar pertemuan-pertemuan dalam kelompok-kelompok yang sudah terbentuk itu dapat terus berlangsung.

Istilah Pesantren, dimungkinkan mengadopsi kata Pesantian yang digunakan umat Hindu-Buddha sejak lama di Nusantara. Pesantian dalam model pendidikan agama Hindu-Buddha merupakan sebuah tempat pembelajaran intensif dalam hal ilmu agama. Kemudian kata Pasraman atau “ashram” yang merujuk pada tempat tinggal para murid, yang kemudian diartikan sebagai “asrama” atau “pondokan/pondok”.

Kemunculan model-model padepokan atau sanggar-sanggar yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan terpadu dalam bidang seni, keahlian, ketangkasan dan pendidikan di Nusantara sejak dulu adalah bentuk akulturasi selanjutnya yang di kemudian hari menjadi lembaga Pesantren. Pesantren (pe-Santri-an), dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat murid-murid (santri) mempelajari ilmu dan segala hal yang menyertainya. Definisi lain yang menjelaskan arti Pesantren adalah proses pe-nyantri-an yang memiliki dua arti ; yaitu tempat santri atau proses menjadi santri (Soebahar 2013).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa istilah Pesantren yang berangkat dari istilah-istilah seperti sanggar dan padepokan, dan juga cantrik dan pesantian adalah ruang publik tertua dan berasal dari hasil akulturasi budaya yang mencerminkan moderasi beragama di Nusantara. Pesantren sebagai lembaga pendidikan berakar moderasi di Nusantara tersebut tetap mencerminkan nilai-nilai tawassuth, i’tidal, tasamuh, musyawarah, ishlah, qudwah, muwathanah serta i’tirofil urfi.

Kesimpulannya, penggunaan istilah Pesantren merupakan wujud moderasi beragama yang dipraktekkan para ulama-ulama terdahulu yang menyebarkan nilai-nilai Islam di Nusantara. Nilai-nilai tawassuth ; dipraktekkan Pesantren yang selalu mengambil jalan tengah setiap kali terjadi pro-kontra dalam sebuah persoalan. Nilai i’tidal ; tergambarkan bahwa Pesantren senantiasa obyektif (tegak lurus) dalama berinteraksi di dalam negara Indonesia yang majemuk ini. Nilai tasamuh ; merupakan sikap Pesantren yang sangat toleran dalam segala sendi kehidupan di Indonesia yang sangat ber-aneka ragam suku, budaya, agama dan bahasa. Nilai musyawarah ; mencerminkan bahwa sejak awal masuknya Islam melalui lembaga Pesantren selalu mudah untuk diajak berunding dalam mengambil keputusan terbaik demi kemaslahatan bersama. Nilai ishlah ; dipraktekkan oleh kalangan Pesantren yang selalu memutuskan untuk selalu ingin berdamai dan mendamaikan setiap persoalan yang muncul yang melibatkan pihak-pihak berseteru. Nilai qudwah ; adalah sikap ke-pelopor-an yang selalu diambil perannya oleh Pesantren dalam segala bentuk kegiatan di masyarakat. Nilai muwathanah ; cinta tanah air tidak terbantahkan lagi telah dibuktikan oleh kalangan Pesantren di negeri ini sejak masa penjajahan hingga pembangunan saat ini. Nilai i’tiroful urfi ; telah ditunjukkan Pesantren, bahwa kalangan Pesantren telah menunjukkan keramahannya sejak awal hadir di Nusantara hingga saat ini.

Pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang ada di Nusantara, melalui kepiawaian para ulama Nusantara terdahulu dalam berinteraksi dengan masyarakat yang telah lama memegang teguh budaya namun berhasil ter-akulturasi kan. Penggunaan istilah Pesantren merupakan bentuk moderasi beragama yang ditunjukkan ulama-ulama Nusantara terdahulu demi menjaga kerukunan serta pembangunan berkemajuan yang dilakukan seluruh bangsa. Saat ini, Pesantren diharapkan mampu meneruskan moderasi beragama yang telah diwariskan ulama terdahulu, menuju Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.

Muhammad Arief Albani | Purwokerto, 28 September 2022

Kontributor

  • Muhammad Arief Albani

    Alumni Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Saat ini aktif sebagai Pengrus LTM PCNU Banyumas dan ISNU Banyumas serta ketua Koperasi Nusantara Banyumas Satria (NUMas). Selain itu, aktif di PP Bani Rosul Bantarsoka, Purwokerto Barat, Banyumas Jawa Tengah.