Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Pengucapan Niat Puasa, Perdebatan yang Terus Berulang

Avatar photo
23
×

Pengucapan Niat Puasa, Perdebatan yang Terus Berulang

Share this article

Setiap kali bulan Ramadan datang, acapkali beredar klaim-klaim bid’ah dan ketidakbenaran atas perilaku muslim satu oleh muslim lainnya. Status di media sosial tentang kebid’ahan dan kesalahan orang muslim yang mengucapkan niat puasa Ramadannya kembali ke permukaan walau tahun demi tahun pembahasan ini sudah ada jawabannya.

Sumber fatwa datang dari Muhammad Shalih al-Munjid no. 37643 yang merujuk pada al-Ikhtiyārāt al-Fiqhiyyah-nya Albani acapkali menjadi senjata untuk membid’ahkan muslim lainnya yang punya perilaku meniatkan puasa dengan melafalkannya. Tidak ada dalil hadisnya, tidak dilakukan oleh Nabi saw., para Sahabat dan seterusnya menjadi alasan mereka menyudutkan yang lain.

Untuk merespon mereka yang gemar membid’ahkan dan
menyalahkan pengucapan niat puasa, berikut kami sampaikan pendapat Ibnu
Taimiyah, sosok yang gemar dijadikan objek rujukan fatwa dan pendapat mereka
dalam akidah dan fikih.

Dalam kitab Majmū‘Fatāwā Shaykh al-Islām Ibn Taymiyah cetakan Mujamma‘
al-Malik Fahd li al-Ṭabā‘ah-Madinah tahun 2004
Juz 25 halaman 214-215, juga ada di kitab Aḥkām al-Ṣiyām Taḥqīq Abd al-Qādir ‘Aṭā cetakan Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah-Bairut tahun 1986
halaman 145, kitab min Fatāwā A’imat al-Islām fī al-Ṣiyām li Abd Allāh Aḥmad al-‘Allāf cetakan Dār al-Ṭarfayni-Thaif tahun 1997 halaman 158.

Selanjutnya dalam kitab Fatāwā Ramaḍān fī al-Ṣiyām
wa al-Qiyām wa al-I‘tikāf wa Zakāt al-Fiṭr; Abū Muḥammad Ashraf ‘Abd al-Maqṣūd
cetakan Maktabah Aḍwā’ al-Salaf-Riyadh tahun 1998 Juz 1 halaman 161 serta
kitab Nidā’ al-Rayyān fī Fiqh al-Ṣawm wa Faḍl Ramaḍān li Sayyid Ḥusayn al-Affācetakan Dār al-Maṣriyyah-Kairo tahun 1998 Juz 3 halaman
53-54:

وَسُئِل عن إمام جماعة بمسجد مذهبه
حنفي ذكر لجماعته أن عنده كتابًا فيه‏:‏ أن الصيام في شهر رمضان إذا لم ينو بالصيام
قبل عشاء الآخرة، أو بعدها أو وقت السحور، وإلا فما له في صيامه أجر، فهل هذا صحيح
أم لا‏؟‏

فأجاب‏:‏ الحمد لله، على كل مسلم يعتقد
أن الصوم واجب عليه، وهو يريد أن يصوم شهر رمضان النية، فإذا كان يعلم أن غدًا من رمضان
فلابد أن ينوي الصوم، فإن النية محلها القلب، وكل من علم ما يريد فلابد أن ينويه‏.‏

والتكلم بالنية ليس واجبًا بإجماع المسلمين،
فعامة المسلمين إنما يصومون بالنية، وصومهم صحيح بلا نزاع بين العلماء‏.‏ والله أعلم‏.‏

Syeikh Ibn Taimiyah ditanya tentang seorang Imam
jamaa
h
di masjid yang bermadzhab Hanafi, Imam tersebut menyampaikan pada para jamaah
bahwa ia mempunyai
sebuah kitab, tertulis dalam kitab tersebut bahwa puasa di
bulan Ramadan jika tidak diniati puasa sebelum waktu isya akhir atau setelahnya
atau waktu sahur, maka ia tidak mendapatkan pahala puasanya, apakah pendapat
ini benar?

Syeikh Ibn Taimiyah menjawab. Alhamdulillah, untuk
setiap Musli
m yang meyakini bahwa puasa adalah kewajiban baginya
dan ia ingin niat puasa di bulan Ramadan, maka jika ia tahu bahwa esok adalah
Ramadan maka wajib untuknya niat puasa, sesungguhnya niat itu tempatnya di hati
dan setiap orang yang mengetahui apa yang diinginkannya maka ia harus
meniatkannya.

Dan mengucapkan niat bukanlah kewajiban secara
ijma’ ulama, maka seluruh Muslim seyogianya puasa dengan berniat dan puasanya
sah tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama, wa Allah a’lam.

وَسُئِل شيخ الإسلام ما يقول سيدنا في صائم رمضان‏:‏ هل يفتقر
كل يوم إلى نية أم لا‏؟‏

فأجاب‏:‏ كل من علم أن غدًا من رمضان، وهو يريد صومه فقد
نوي صومه، سواء تلفظ بالنية أو لم يتلفظ‏.‏ وهذا فعل عامة المسلمين، كلهم ينوي الصيام‏

Dan Syeikhul Islam (Ibn Taimiyah) ditanya, apa yang
dikatakan oleh baginda kita dalam perkara puasanya seseorang di bulan Ramadan,
apakah harus ada niat setiap harinya atau tidak?

Syeikh Ibn Taimiyah menjawab: setiap orang yang
tahu bahwa esok adalah Ramadan dan ia ingin puasa maka ia
sudah berniat untuk
puasanya, baik ia melafalkan niat itu atau tidak, ini adalah perilaku seluruh
orang Muslim, seluruhnya
akan berniat untuk puasa.   

Dari dua jawaban Syeikh Ibn Taimiyah yang terabadikan dalam 5 kitab di
atas, apakah beliau menyalahkan seorang Muslim yang mengucapkan niat puasanya?
Apakah beliau menafikan keadaan beberapa orang Muslim yang melafalkan niat
puasa?

Sangat jelas bahwa beliau tahu akan sebagian Muslim yang mungkin
melakukan pelafalan niat dalam puasanya, hanya beliau menyampaikan bahwa hal
tersebut tidaklah wajib dan tidak menyalahkan. Maka, pengucapan niat puasa
seperti yang terjadi secara jamak di Nusantara tidaklah salah dan tidak perlu
dipermasalahkan dan diributkan.

Sama halnya saat seorang dokter bilang bahwa sarapan
pagi tidaklah wajib dan ini sudah disepakati oleh ikatan para dokter. Lalu
seandainya ada yang melakukan sarapan, apakah hal itu tidak boleh?, atau ada
seorang dosen menyampaikan pada para mahasiswa bahwa hadir di kelas setiap
kuliah bukan sebuah keharusan, lalu apakah salah jika ada mahasiswa yang selalu
hadir di kelas?

Jika ada guru menyampaikan pada murid-muridnya bahwa memakai sepatu
hitam tidaklah wajib, apakah salah jika ada murid yang memakai sepatu hitam?.
Penyampaian tiga contoh kasus ini sudah barang tentu dapat disadari bahwa
dengan mengkhususkan sesuatu itu dalam penyampaian berarti secara tidak
langsung mengakui sesuatu itu ada dan boleh.

Jika tidak wajib sarapan berarti mengakui ada yang sarapan dan itu
dibolehkan, tidak wajib hadir di kelas berarti mengakui ada yang hadir di kelas
dan itu dibolehkan, jika tidak wajib memakai sepatu hitam berarti mengakui ada
yang memakai sepatu hitam dan itu dibolehkan.

Kalau kita browsing di internet banyak para ulama dan masyayikh
di negara Arab membolehkan pengucapan niat puasa, salah satunya adalah Syeikh
Ali Jumah, mantan mufti agung Mesir. Beliau menjelaskan bahwa niat memang cukup di hati, tidak diwajibkan
untuk diucapkan secara ijma’, namun pengucapan niat puasa Ramadan itu berguna
untuk menghilangkan keraguan.

Melafalkan niat puasa untuk ta’yīn
(memperjelas bahwa ia puasa Ramadan) itu boleh dan bahkan termasuk kesunnahan
para guru terdahulu, hal ini dapat kita temui dalam kitab Radd al-Mutār alā al-Durr al-Mukhtar Shar Tanwīr al-Abār (āshiyah Ibn ‘Ābidin) cetakan Dār ‘Ālam al-Kutub-Riyadh Juz 3 halaman 344.

Kitab lain yang mendukung akan kebolehan mengucapkan niat adalah Ittiāf al-Anām bi Akām al-iyām li Zayn Muammad al-‘Idrūs al-Bā‘alawī cetakan Maktabat al-Mujallad al-‘Arabī-Kairo 2016 halaman 27. āshiyah I‘ānat al-ālibīn li Abī Bakar Uthmān Muammad Shaā cetakan Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah-Bairut lihat Juz 1 halaman
375.

Dalam al-Mawsū‘ah
al-Fiqhiyyah Wiz
ārat
al-Awq
āf
wa Shu’
ūn al-Islāmiyyah al-Kuwayt cetakan Dār al-Ṣafwah-Kuwait
Juz 28 halaman 21 tidak mensyaratkan niat diucapkan namun bukan berarti tidak
boleh dan bahkan disampaikan di situ bahwa dalam madzhab Hanafi pelafalan niat
adalah sunnah.

Rawḍat al-Ṭālibīn li al-Nawāwī cetakan Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah-Bairut Juz 2 halaman 214 juga menyampaikan bahwa niat puasa itu tempatnya di hati dan tidak disyaratkan mengucapkannya dengan tidak ada perbedaan ulama (لا يشترط النطق بلا خلاف). Kata “tidak disyaratkan” ini tidak cukup kalau dimaknai sebagai tidak boleh, justru makna “tidak disyaratkan” adalah menunjukkan akan kebolehan mengucapkan niat. Semisal anda tidak disyaratkan masuk kelas kuliah setiap hari, lantas apakah tidak boleh kalau masuk kelas setiap hari?. Tentu boleh bahkan baik.

Maka dapat kita pahami bahwa mengucapkan niat puasa adalah boleh, tidak menyalahi syariat dan tidak patut diperdebatkan terlebih itu dilakukan untuk menghilangkan keraguan dan lebih memantapkan diri untuk berpuasa.

Memang tidak ada riwayat bahwa Nabi saw. dan para Sahabat
melafalkan niatnya, namun bukan berarti itu tidak diperbolehkan sebab segala
sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi saw. (tark al-nabī) belum dapat dijadikan dalil keharaman jika tidak didukung
oleh naṣṣ, dalam hal ini penulis pernah mengupasnya dalam jurnal ilmiah, wa Allāh a’lam.

Kontributor

  • Bakhrul Huda

    Kord. Akademik Ma'had Jami'ah UINSA Surabaya dan Tim Aswaja Center Sidoarjo.