Kita semua tahu, bahwa hidup ini terkadang berada di atas, terkadang pula berada di bawah. Dalam artian, terkadang kita mengalami kesuksesan, kesenangan, kelapangan, kemudahan dan berbagai kenikmatan lainnya. Tapi di lain kesempatan, terkadang pula kita juga mengalami kegagalan, kesedihan, kesempitan, kesusahan dan seterusnya.
Hal ini memang sejalan dengan sunatullah, yang mengatakan bahwa hidup ini memang selalu berubah; kadang di atas, kadang juga di bawah. Sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya,
وَتِلْكَ ٱلْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ ٱلنَّاسِ
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapatkan pelajaran)… (QS. Ali Imran: 140)
Namun, tahukah kita, apakah yang menyebabkan hidup kita itu berada di bawah? Dalam artian, hidup kita menjadi terasa berat, hati kita gundah, risau, sedih, gelisah, walau secara zahir kita sedang bergelimang harta dan serba berkecukupan?
Jawabannya ada pada QS. Thaha: 124. Yaitu keberpalingan kita dari peringatan Allah SWT.
Mari kita simak dan renungkan bunyi ayat dan tafsirnya.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيامَةِ أَعْمى
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)
Baca juga: Bahagianya Nabi Hidup Bersama Orang-orang Kecil
Seteleh Allah menjelaskan jaminan yang akan diperoleh orang-orang yang mau mengikuti petunjuk-Nya, yakni pada ayat sebelumnya yang berupa tidak akan sesat dan celaka, kini Allah menjelaskan akibat yang akan diperoleh orang-orang yang berpaling dari peringatan-Nya, yaitu berupa kehidupan yang sangat sempit yang dipenuhi dengan kegusaran, kesedihan, kekhawatiran dan lain sebagainya. (Lihat Muhammad Sayyid Thanthawi, Tafsir al-Wasith: 9/164)
Ibnu Katsir menjelaskan, yang dimaksud “kehidupan yang sempit” di situ adalah yang bersangkutan tidak akan memiliki ketenangan batin dan kelapangan dada, meskipun secara zahir tampaknya ia itu berselimutkan kenikmatan, seperti mampu mengenakan pakaian apa saja yang disukainya, menyantap makanan apapun yang ia kehendaki, menginap di manapun yang dia inginkan, karena sejatinya hatinya itu selalu berada dalam kebimbangan dan kekhwatiran.
Bahkan, kesempitan hidup yang akan dirasakannya itu tidak hanya berhenti di dunia saja, melainkan terus berlanjut hingga ke alam kuburnya. Seperti kata Sufyan bin Uyainah, bahwa “kehidupan yang sempit” di situ kelak ia akan dihimpit oleh kuburnya. Seperti penjelasan Imam As-Suyuthi juga, bahkan ia akan diazab atau disiksa di sana.
Tidak hanya itu. Kelak, di hari kiamat, orang yang berpaling dari Al-Qur’an atau ajaran Allah itu juga akan dikumpulkan dalam keadaan buta. Yakni buta penglihatannya. Seperti yang mereka adukan kepada Allah SWT pada ayat selanjutnya (QS. Thaha: 125).
Dikatakan pula, yang dimaksud buta di situ adalah buta terhadap segala sesuatu kecuali neraka jahanam; sebagai tempat kembalinya, seperti kata Ikrimah yang dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Baca juga: Al-Faqih Al-Muqaddam, Penggagas Tarekat Alawiyah dan Jejak Apolitiknya
Lantas, bagaimana caranya agar kita bisa memiliki kehidupan yang baik dan cemerlang?
Al-Qur’an sebagai kitab hidayah telah memberikan petunjuk kepada umatnya, yaitu dengan cara senantiasa terus beramal sholih serta dalam keadaan beriman.
Sebagaimana firman-Nya,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa beramal sholih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa maksud dari amal sholih pada ayat tersebut adalah amalan yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sementara maksud dari “kehidupan yang baik” di situ tentunya mencakup banyak hal, seperti yang dijelaskan dalam tafsirnya beliau juga, yang antara lain berupa rezeki yang tayib dan halal, diberi sifat qanaah atau legowo dalam menerima semua keadaan, diberi kebahagiaan dan keberuntungan serta diberikan kemudahan dalam melakukan amal ketaatan.
Baca juga: Pandangan Imam Mazhab Mengenai Dana dan Gaji Pemerintah
Oleh karena itu, jika kita ingin terhindarkan dari kehidupan yang sempit dan ingin diberi kehidupan yang baik, maka mengikuti petunjuk ayat Al-Qur’an di atas adalah solusinya.