Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Perbedaan Pendapat dan Pentingnya Persatuan: Perspektif Ibnu Taimiyah

Avatar photo
24
×

Perbedaan Pendapat dan Pentingnya Persatuan: Perspektif Ibnu Taimiyah

Share this article

Sudah menjadi hal yang lumrah dalam menghadapi penganut wahabisme adalah mereka sangat mudah menyalahkan, membid’ahkan, bahkan mengkafirkan kelompok yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Para penganut wahabisme mengaku bahwa digenggamannya ada pemahaman salaf yang benar. Walaupun kenyataannya tidak demikian. Salaf yang mereka pahami adalah apa yang dipahami oleh Muhammad bin Abdul Wahab atau Ibnu Taimiyah.

Perilaku yang mudah menyalahkan ini sangat berpengaruh terhadap keadaan sosial di masyarakat. Mulanya mereka senang berkumpul dan saling sapa. Pada akhirnya, doktrin wahabisme yang melenceng, dapat memecah persatuan dan persaudaraan dalam masyarakat.

Tahlil, misalnya. Sebelum paham wahabisme menyeruak, masyarakat senang berkumpul dan menjalin silaturahmi dalam kegiatan mingguan membaca Al-Qur’an dan zikir.

Setelah wahabisme datang, orang-orang yang “terpapar” akan memandang kegiatan tersebut  tidak baik. Dan menganggap orang yang melakukannya dengan pandangan hina, merasa dirinya benar, sedangkan selainnya berada dalam kesesatan.

Wahabisme sangat menjunjung tinggi pendapat Ibnu Taimiyah. Bisa dibilang Ibnu Taimiyah merupakan referensi utama. Namun, di sisi lain Ibnu Taimiyah sangat menjunjung tinggi arti persatuan dalam umat dan menghindar dari perpecahan hanya karena sebatas perbedaan pendapat dalam tata cara ibadah furu’iyah.

Dalam Majmu’ Rasail karya Ibnu Taimiyah, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah mengeluarkan sebuah risalah karya Ibnu Taimiyah yang sangat mengedepankan nilai-nilai persatuan berjudul Khilaf Ummah fi Al-Ibadah wa Mazhab Ahlu As-Sunnah. Ibnu Taimiyah berkata pada awal risalahnya:

قاعدة في صفات العبادات الظاهرة التي حصل فيها تنازع بين الامة، في الرواية و الرأي مثل الاذان و الجهر بالبسملة و القنوت في الفجر و التسليم في الصلاة و رفع الأيدي فيها و وضع الأكف فوق الأكف و مثل التمتع و الافراد و القران في الحج و نحو ذلك. فإن التنازع في هذه العبادات الظاهرة و الشعائر أوجب أنواعا من الفساد الذي يكرهه الله و رسوله و عباده المؤمنون.

“Prinsip dalam tata cara ibadah lahiriah yang menimibulkan perselisihan di tengah-tengah umat, seperti urusan riwayat, adzan, mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat, membaca qunut dalam shalat Subuh dst,bahwa  pertikaian dalam ibadah-ibadah lahiriah dan praktik syiar beragama, mendatangkan berbaga macam kerusakan dan kerugian yang justru dibenci oleh Allah, Rasul, dan hamba-hamba-Nya yang beriman.”

Baca juga: Imam As-Suyuthi: Akan Ada Ujian Besar Tiap Akhir Abad

Ibnu Taimiyah juga menyebutkan penyebab umat tercerai-berai hanya sebab perbedaan pendapat dalam ibadah furuiyah. Di antaranya; banyaknya umat yang tidak faham akan pehamanan syariat yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, dan banyaknya pengikut hawa nafsu dan memahami agama sebatas prasangka.

Sebab-sebab tersebut sangat kentara dan terjadi dalam paham wahabisme. Mereka tidak faham akan syariat yang sebetulnya. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang terucap ditafsirkan dengan hawa nafsu dan prasangka saja, tanpa menghiraukan ilmu-ilmu alat untuk memahaminya. Contoh kecilnya; kejadian perdebatan antara KH. Idrus Ramli dengan seorang Doktor yang tidak bisa membaca kitab.

***

Sikap Ibnu Taimiyah dalam menjaga persatuan sangat tegas. Dalam Majmu’ Rasail, Ibnu Taimiyah berpendapat,  “Tidak boleh menjadikan hal-hal yang dianjurkan sebagai hal yang wajib. Mencegah seseorang untuk meninggalkan suatu hal (sunnah), atau memandang orang yang tidak melakukannya telah bermaksiat terhadap Allah dan Rasul-Nya juga tak dianjurkan. Karena terkadang, meninggalkan perkara sunnah karena ada tujuan yang jelas lebih utama dari pada mengerjakannya.”

Dalam hal ini, kita melihat sesuatu yang sangat kontradiktif dengan apa yang diperbuat penganut wahabisme. Dalam hal Sunnah seperti celana isbal, atau jenggot, mereka sangat keras memaksa golongan selainnya untuk meniru mereka. Padahal, Ibnu Taimiyah sangat menghindari sifat memaksa, lebih-lebih menganggap yang tidak melakukannya sebagai pelaku maksiat.

Selain sikap Ibnu Taimiyah yang tegas dalam menjaga persatuan, tanggapannya terhadap perbedaan pun sangat bagus. Ibnu Taimiyah berkata:

و لا يجوز تكفير المسلم بذنب فعله و لا بخطأ أخطأ فيه، كالمسائل التي تنازع فيها اهل القبلة

“Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim hanya karena sebab dosa yang ia lakukan, atau kesalahan yang ia perbuat, seperti masalah-masalah yang masih diperdebatkan oleh sesama muslim.”

***

Menelisik jauh sebelum masa Ibnu Taimiyah, nilai-nilai persatuan sangat dijunjung tinggi. Nilai ini tergambar jelas dalam sabda nabi Muhammad Saw., Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash, “ada seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah tentang siapakah muslim yang paling baik? Rasulullah menjawab: adalah orang yang orang-orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.”

Etiket dan budi pekerti luhur ini juga nyata dalam diri Imam Malik. Ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid bermusyawarah dengan Imam Malik tentang kitab Al-Muwaththa’ yang akan digantung di Ka’bah, dan manusia akan mengamalkan isinya. Imam Malik menjawab, “jangan kamu lakukan itu, sesungguhnya sahabat-sahabat Rasulullah berbeda pendapat dalam hal furu’, dan mereka terpisah di negara yang berbeda, dan saya yakin bahwa mereka mempunyai pendapatnya masing-masing.

Baca juga: Bedah Pemikiran Tokoh IM, Sayyid Qutb dalam Fi Zilal Al-Qur’an

Nilai yang sama juga tampak jelas pada murid Imam Malik: Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Syahdan, salah satu murid Imam Syafi’i bernama Imam Yunus bin Abdul A’la pernah berdebat dengan gurunya. Akibat perdebatan ini, akhirnya Imam Yunus berpisah sesaat dengan Imam Syafi’i. Tidak lama dari perbedebatan itu, Imam Syafi’i mengunjungi rumah muridnya dan berkata, “Wahai Aba Musa, apakah kamu tidak ingin kita tetap bersaudara meskipun kita tidak sepakat dalam satu masalah?.”

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Saya sedih jika sahabat Rasulullah tidak berbeda pendapat, karena jika mereka sepakat dengan satu pendapat, dan ada seorang yang menyelisihinya, maka orang tersebut akan dianggap melenceng. Tapi, jika sahabat Rasulullah berbeda pendapat, kelak umat bisa memilih pendapat siapa saja.”

***

Persatuan umat adalah hal yang sangat dibenci oleh musuh-musuh Islam. Karena hanya dengan pertikaian, musuh-musuh Islam akan mudah berkembang dan menjatuhkan martabat umat. Oleh karena itu, menjaga persatuan menjadi salah satu tiang penting dalam Islam, agar umat senantiasa dalam kejayaan dan kemakmuran.

Kontributor

  • Fahrizal Fadil

    Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Aceh. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Bahasa dan Sastra Arab. Aktif menulis di Pena Azhary. Suka kopi dan diskusi kitab-kitab turats.