Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Perempuan dalam Dogma, Terpenjara ataukah Merdeka?

Avatar photo
19
×

Perempuan dalam Dogma, Terpenjara ataukah Merdeka?

Share this article

Islam dikenal sebagai agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Nabi Muhammad SAW diutus kepada kaum Arab Jahiiyyah dengan memperkenalkan prinsip-prinsip universal-progresif, yakni berupa tauhid, persaudaraan, persamaan, dan solidaritas sosial.

Meskipun di dalam perjalanannya, Nabi Muhammad SAW banyak melewati berbagi rintangan dari kaumnya. Terlebih yang kemudian menjadi tantangan besar bagi Nabi Muhammad SAW  ialah yang mana Bangsa Arab pada saat itu sangat memandang rendah kaum perempuan.[1]

Posisi perempuan pada saat itu, hanya dipandang sebagai penyalur kebutuhan seksual semata dan tidak memiliki peranan yang vital dalam status sosial masyarakat. Keadaan tersebut mengakibatkan posisi kaum perempuan menjadi tidak berharga dan mudah untuk diperjualbelikan. Dalam hal ini, perempuan hanya dipandang sebagai objek, bukan subjek utama dalam kehidupan.

Pada masyarakat Arab jahiliyah, kedudukan perempuan terbilang sangat rendah dan dalam posisi yang memprihatinkan. Bahkan dianggap sebagai suatu barang. Terlihat dari salah satu contoh dalam kehidupan mereka. Ketika seorang suami meninggal, saudara tua laki-laki atau saudara laki-laki lainnya dapat mewarisi jandanya. Sedangkan perempuan tersebut yang telah ditinggalkan oleh suaminya tidak mendapat bagian warisan.[2] Kondisi tersebut tentu saja sangat bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Ajaran Islam sangat menjunjung tinggi akan nilai-nilai kemanusiaan, persamaan, dan lain sebagainya. Islam hadir untuk mengangkat derajat kaum perempuan, sehingga diperlakukan layak sesuai dengan hak yang dimilikinya. Islam beserta ajarannya yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW telah mengangkat derajat kaum perempuan. Perempuan sudah tidak lagi dipandang sebelah mata, bahkan perempuan juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi.

Isu kesetaraan gender masih menjadi topik yang menyisakan perdebatan dalam Islam. Menjadi perdebatan karena terdapat pro dan kontra dan tidak semua kalangan mau menerimanya. Sebagian yang menolak isu tersebut beralasan bahwa Islam tidak membenarkan adanya persamaan gender. Secara nash sudah disebutkan bahwa laki-laki memiliki kelebihan dan derajat lebih tinggi dibanding dengan wanita. Bahkan mereka meyakini, dengan merujuk pada dalil-dalil yang ada, bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Sementara kelompok yang lain menganggap isu kesetaraan gender sejalan dengan semangat persamaan dan keadilan sebagaimana yang telah diusung oleh Islam sejak awal kelahirannya. Menurut mereka yang pro terhadap isu kesetaraan gender berpendapat bahwa tidak sedikit nash baik dalam Al-Qur’an maupun hadis yang menekankan adanya persamaan hak antara kaum perempuan dan laki-laki.

Kelompok ini menyerukan akan pentingnya melakukan pembacaan ulang terhadap dalil-dalil yang selama ini dipahami secara literal atau bahkan dianggap keliru, yang mengakibatkan munculnya pemahaman yang timpang dalam memahami keberadaan kaum wanita.

Salah satu penyebab pandangan tidak adil gender dalam Islam adalah budaya patriarki yang ditandai dengan dominasi laki-laki dalam pendidikan dan keilmuan. Mufassir dari kaum laki-laki masih jarang sekali memperjuangkan kepentingan kaum wanita.

Keterkaitan antara penafsir al-Quran dengan cara pandang muslim tersebut menghasilkan produk penafsiran yang memihak laki-laki sehingga terjadi pengekangan norma-norma keadilan yang diatasnamakan sebagai sebuah doktrin agama atau dari ajaran Al-Quran maupun hadis Nabi.[3]

Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor terjadinya diskriminasi perempuan disebabkan oleh penafsiran-penafsiran yang bias patriarki dan tidak memberikan porsi keadilan dan hak-hak perempuan dalam kesetaraan.

Adapun teks Keislaman yang seringkali dianggap bias gender ialah: 1) Asal usul penciptaan manusia, Nabi Adam adalah manusia pertama sedangkan Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam. Pemahaman ini mengacu pada pengertian harafiyah dalam surah An-Nisa ayat 1. Dampaknya ialah timbulnya anggapan bahwa perempuan hanyalah sebagai pelengkap laki-laki sehingga perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.

2) Kisah Terlemparnya Adam dan Hawa dari Surga, ulama pada umumnya menyampaikan bahwa sebab godaan hawa yang terpengaruh bisikan iblis sebagaimana termaktub dalam surah Al-A’raf ayat 20-22, maka mereka terlempar dari surga. 3) Kepemimpinan Perempuan, terdapat sebuah hadis yang menyatakan bahwa “Celakalah suatu kaum yang mempercayakan kepemimpinannya kepada perempuan” (HR. Bukhari dari Abu Bakrah).

Diperkuat dengan ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa laki-laki itu pemimpin bagi perempuan, yakni surah An-Nisa ayat 34. Dampaknya ialah tak jarang ulama salaf menjadikan ayat tersebut sebagai dalil ketidakbolehan perempuan berperan sebagai pemimpin dalam ruang publik lebih khususnya dalam ranah politik, dan pandangan ulama salaf ini mendiskriminasikan perempuan dengan berlandaskan ayat tersebut, sehingga ayat ini menjadi bias Gender.[4]

Pemahaman-pemahaman terhadap ajaran agama yang bias gender tadi menyebabkan perempuan mengalami ketimpangan dan ketidakadilan gender. Oleh karenanya sangat diperlukan adanya pembacaan ulang dan upaya dekonstruksi atas hasil ijtihad ataupun penafsiran lama yang dinilai bias gender dan bias patriarki. Al-Qur’an menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari nafs yang sama, bahwa laki-laki dan perempuan merupakan pelindung dan sahabat bagi yang lainnya.

Keduanya pun memiliki tugas yang sama dan kesempatan untuk memperoleh rahmat dari Allah, sebagaimana termaktub dalam surah At-Taubah ayat 71. Ajaran al-Qur’an sama sekali tidak merendahkan ataupun meremehkan perempuan berkenaan dengan watak dan struktur bawaannya. Al-Qur’an membersihkan perempuan dari tuduhan sumber godaan maupun dosa.

Al-Qur’an diturunkan dalam rangka untuk mengikis perbedaan antara laki-laki dan perempuan terkhusus dalam bidang kemanusiaan. Sedangkan hak-hak perempuan di luar rumah yakni seperti hak memperoleh pendidikan, hak politik dan lainnya setara dan sederajat dengan hak yang dimiliki oleh laki-laki. Al-Qur’an sama sekali tidak mendiskriminasi perempuan malah mengangkat harkat dan martabat perempuan.


[1] M. Faisol, Hermeneutika Gender: Perempuan dalam Tafsir Bahr al-Muhith (Malang: UIN Maliki Press, 2011), h. 1.

[2] Moh. Yasir Alimi, Jenis Kelamin Tuhan: Lintas Batas Tafsir Agama (Yogyakarta: LkiS,

2002), h. 37.

[3] Atik Wartini, “Tafsir Feminis M.Quraish Shihab: Telaah Ayat-Ayat Gender dalam Tafsir al-Misbah”, dalam Jurnal Palastren edisi No. 6, Vol. II, 2013, h. 475.

[4] Lift Anis Ma’shumah, “Teks-teks Keislaman dalam Kajian Feminisme Muslim; Telaah Metodologis atas Pandangan Feminis Muslim terhadap Penciptaan dan Kepemimpinan Perempuan”, dalam Jurnal Sawwa, Vol. VII, No. 2, April 2012, h. 70.

Kontributor

  • Maharani Wulandari

    Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAIN Samarinda. Meminati kajian keislaman, moderasi dan kebangsaan dan tafsir Al-Qur’an