Waktu itu banyak pelajar yang mengeluh karena lelahnya belajar, ujian yang banyak, dan waktu yang sangat padat dengan kegiatan. Saya katakan, lelah dalam belajar adalah hal yang sangat wajar.
Dalil yang paling saya sukai adalah kisah Nabi Musa saat mencari Gurunya, Nabi Khidir. Sebelum bertemu, Al-Quran mengisahkan Nabi Musa yang meminta bekalnya, karena ia sudah sangat merasa lelah.
Al-Quran menyebut keluhan rasa lelah itu dalam Al-Kahfi:
لقد لقينا من سفرنا هذا نصبا
“Sungguh kamu telah menemukan rasa lelah dalam perjalanan ini”.
Saya yakin, setiap lafadz yang disebut Al-Quran pasti ada tujuannya. Pada ayat itu, ia ingin menyampaikan bahwa mencari apapun itu, apalagi hal yang sangat berharga, pasti akan lelah. Ini marhalah pertama dalam belajar yang harus dirasakan oleh santri, yaitu rasa lelah dan cape.
Dua ayat berikutnya, setelah merasa lelah, Nabi Musa akhirnya bertemu dengan Guru yang diinginkan:
فوجدا عبدا من عبادنا
“Lalu, baru mereka berdua (nabi Musa dan yusya’) menemukan seorang hamba dari hamba-hamba kita”.
Seolah Al-Quran ingin berkata, apa yang dicari akan kamu temui setelah rasa lelah itu dirasakan. Tapi apakah perjalanannya akan semudah itu? Tidak. Setelah menemukan Guru, akan banyak ujian-ujian yang akan ditemui.
Ujian-ujian ini adalah menepis semua kebiasaan yang sebelumnya biasa dilakukan. Dalam kisah Nabi Musa, ia melihat perahu yang dihancurkan begitu saja, anak yang dibunuh, dan bangunan yang diperbaiki tanpa ada balasan budi. Semua ini tidak biasa dilihat Nabi Musa.
Sama seperti santri saat masuk ke lingkungan baru di pesantren, dia akan diuji dengan hal-hal yang sebelumnya tidak biasa ia lihat. Ketertiban, tidak megang hp, rutin belajar, dll. Ini semua memang tidak akan diketahui dampaknya saat ia alami, sama seperti Nabi Musa yang sering bertanya, kenapa dan mengapa?
Hingga sampai ke marhalah terakhir, saat perpisahan seorang murid dan Gurunya, saat wisuda diberlangsungkan, baru si murid mengerti peraturan yang diberikan oleh Gurunya:
هذا فراق بيني وبينك، سأنبيك بتأويل ما لم تستطع عليه صبرا
“Ini adalah perpisahan antaraku dan kamu, dan akan aku beri tahu kepadamu, alasan dibalik hal-hal yang dulu tidak bisa kamu sabari”.
Ternyata segala yang dilakukan oleh Gurunya, dan peraturan yang diberikan, memiliki alasan yang waktu itu belum bisa ditangkap oleh sang murid.
Jadi marhalah belajar, merasa lelah untuk mencari, menemukan Guru sejati, atau kita artikan metode dalam belajar, kemudian sabar dalam ujian, baru akhirnya menemukan jawaban atas semuanya.
Kalau kita katakan, kisah Al-Quran adalah kisah yang terulang-ulang dengan tokoh yang beda di setiap zamannya, maka bisa jadi kita adalah Nabi Musa yang sedang mencari Khidirnya.
••
Fahrizal Fadil.
17 Agustus 2024.