Fenomena “bagi-bagi jabatan” sering menjadi topik perbincangan dalam dunia politik modern. Biasanya, praktik ini muncul ketika kekuasaan ingin dipertahankan atau didukung oleh pihak-pihak tertentu.
Pejabat publik atau politisi menawarkan posisi strategis kepada orang-orang yang memiliki pengaruh, sebagai imbalan atas dukungan politik yang mereka berikan. Di satu sisi, bagi-bagi jabatan ini bisa dianggap sebagai bagian dari strategi politik untuk memperkuat kekuasaan.
Namun di sisi lain, praktik ini juga dapat menimbulkan masalah serius, seperti munculnya pejabat yang tidak kompeten yang bisa mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan. Pada akhirnya, fenomena ini menggambarkan kerentanan kekuasaan yang bergantung pada loyalitas pribadi dibanding kompetensi dan integritas.
Praktik bagi-bagi jabatan sebenarnya sudah lama ada, bahkan tercatat dalam sejarah kuno. Salah satu contohnya adalah kisah Fir’aun dalam Al-Qur’an, yang menggunakan strategi serupa dalam mempertahankan kekuasaannya ketika menghadapi ancaman dakwah Nabi Musa AS.
Ketika dakwah Nabi Musa mulai mengancam posisi Fir’aun sebagai penguasa, dia segera merancang strategi untuk menjaga kestabilan kekuasaannya.
Dalam QS. al-Syu’ara ayat 42, Fir’aun menawarkan kedudukan tinggi kepada para penyihir dengan janji, “Ya, dan bahkan kamu pasti akan mendapat kedudukan yang dekat (kepadaku),” setelah mereka membantu dalam upaya melawan Nabi Musa.
Ironisnya, meskipun Fir’aun belum memenangkan pertarungan melawan Nabi Musa, namun ia sudah berjanji akan membagi-bagikan jabatan untuk para penyihir tersebut. Ini menunjukkan betapa putus asanya Fir’aun dalam mempertahankan kekuasaannya, hingga rela menjanjikan posisi tinggi sebelum hasil akhirnya diketahui.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah respon para penyihir setelah mendapat janji jabatan dari Fir’aun. Dalam QS. al-Syu’ara ayat 44, mereka berkata, “Demi kekuasaan Fir’aun, pasti kamilah yang akan menang.” Ini bukanlah mantra biasa para penyihir, melainkan sebuah pernyataan yang sengaja diucapkan sebagai bentuk penghormatan kepada Fir’aun.
Sikap para penyihir ini mencerminkan fenomena pengkultusan individu yang sering kita temui dalam dunia politik. Mereka yang dijanjikan jabatan cenderung berlebihan dalam memuji penguasa, seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa tanpa keberadaan sang penguasa.
Mereka bahkan mengaitkan kemampuan mereka dalam menyihir dengan kekuasaan Fir’aun, mereka mengatakan “kita bisa menyihir seperti ini adalah karena kekuasaannya Fir’aun” dan “keberhasilan kita ini adalah karena pemerintahan Fir’aun”.
Kisah Fir’aun ini memberikan pelajaran penting tentang dinamika kekuasaan dan politik, yang relevan bahkan di zaman sekarang. Pertama, kita dapat melihat bagaimana kekuasaan yang tidak dilandasi kebenaran pada akhirnya akan runtuh. Fir’aun, yang mengklaim dirinya sebagai Tuhan, justru harus bergantung pada bantuan orang lain untuk mempertahankan posisinya.
Ini menunjukkan bahwa kekuasaan yang dibangun atas kebatilan dan ketakutan cenderung rapuh dan tidak bertahan lama. Kedua, praktik bagi-bagi jabatan seringkali dilakukan sebagai alat politik untuk memperoleh loyalitas dan dukungan, namun hal ini bisa menjadi pedang bermata dua.
Dalam konteks zaman sekarang, jabatan publik idealnya diisi oleh mereka yang kompeten dan memiliki integritas, bukan sekadar berdasarkan kedekatan politik atau kepentingan pribadi. Hal ini mengajak kita untuk mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih dan profesional.
Terakhir, kisah ini juga mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam “kultus individu” atau sikap berlebihan dalam memuji pemimpin. Kita harus menjaga objektivitas dan mengutamakan kemaslahatan bersama, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Sebagai umat Islam, kita diingatkan bahwa kekuasaan sejati hanya milik Allah SWT, dan praktik politik yang tidak dilandasi keadilan dan kebenaran pada akhirnya akan hancur.