Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tauhid Yanggo (Umi): Catatan Kecil Seorang Anak

Avatar photo
48
×

Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tauhid Yanggo (Umi): Catatan Kecil Seorang Anak

Share this article

Sebuah takdir terindah yang Allah
berikan kepada aku adalah terlahir dari rahim seorang perempuan hebat nan luar biasa.
Perempuan yang telah mencurahkan segala kasih sayang dan keteladanan yang
begitu indah dalam perjalanan kehidupan yang aku lalui sampai saat ini.

Jika orang lain mengenalnya dari dunia
kampus, seminar dan pemikiran keagamaan yang beliau gagas dan tuliskan, maka
Allah mentakdirkanku untuk mengenal perempuan ini jauh daripada itu.

Aku tumbuh dan hidup dalam hangatnya
dekapan dan kasih sayangnya yang menyejukkan. Perempuan yang tidak sekalipun aku
pernah mendengar keluhannya dalam segala keterbatasan. Perempuan kuat yang
tidak sedetik pun meninggalkanku saat gontai dan gagal. Perempuan yang selalu
hadir menjadi semangat dan motivasiku dalam melangkah menjadi diriku saat ini.

Saat orang lain mengenalnya sebagai
guru besar, dosen, ulama perempuan, dan sederet gelar lainnya, maka aku
mengenalnya sebagai seorang ibu; ibu yang darahnya mengalir di dalam nadiku; kesabaran
dan keteladanannyalah yang telah merawat dan membentukku; seorang perempuan
yang dukungan dan semangatnya telah mengantarkanku untuk dapat menyelesaikan program
S3 sebagai salah satu pencapaian akademikku di usia yang terbilang muda kala
itu.

Jika banyak orang bercerita tentang
prestasi akademiknya saat beliau menjadi wanita pertama yang menyelesaikan program
doktoral di Universitas Al-Azhar, Kairo, maka semangat yang sama telah beliau
wariskan kepadaku untuk terus maju meraih harapan dan mimpi besar itu. Beliau
adalah ibuku: Umi Huzaemah.

Dalam pandanganku, umi adalah
seorang ibu dan istri yang sangat baik. Segudang aktivitas di luar rumah yang umi
miliki, tidak  pernah menjadikan umi
melupakan perannya di dalam rumah, baik sebagai seorang istri terlebih sebagai
ibu.

Tidak ada sehari pun terlewatkan di
dalam rumah kami kecuali ada sebuah kitab yang umi baca dan muraja’ah. Itupun
tidak menghalangi umi untuk selalu menyapa dan menanyakan semua aktivitas yang aku
lakukan. Aku bersakasi bahwa segala khidmahnya untuk umat dan bangsa, tidak sedikit
pun menafikan curahan perhatiannya untuk kami di rumah.

Bahkan, sejak pagi, sebelum beliau berangkat
 mengajar dan beraktivitas, setidaknya
beliau tidak pernah lupa untuk memasak makanan untuk kami semua. Kadang, aku
sering bergumam dalam hati, “Begitu baiknya Allah kepadaku, sampai sarapan
harianku saja dibuatkan oleh seorang ulama dan guru besar perempuan kebanggan Indonesia
itu.”

Umi juga seorang istri yang sangat
berbakti kepada suami, Abiku sendiri. Mereka berdua memang sama-sama guru besar
dalam bidang yang berbeda, namun tidak sekalipun aku pernah menemukan umi membantah
keputusan dan pendapat abi.

Aku bersaksi bahwa umi tidak pernah
menunda saat abi memanggil dan membutuhkannya. Umi tidak pernah sekalipun keluar
rumah kecuali tanpa izinnya. Bahkan di akhir hayat umi, saat kami ingin membawa
beliau ke rumah sakit, ridha dan izin abilah yang umi minta untuk terakhir kalinya.

Umi adalah guru besar perempuan
yang takzim dan penghormatannya kepada suami selalu menjadi prioritas utama. Pun
kepada dua cucunya. Dalam  kesibukannya, umi
selalu menyempatkan diri untuk bermain dan mendidik cucu-cucunya.

Seingatku,  Umi  Huzaemah adalah orang yang tidak pernah
berburuk sangka terhadap orang lain. Saat aku pernah hendak marah pada seseorang,
umi selalu mengingatkan agar berhusnuzan kepada orang lain. “Mungkin kamu salah
dengar, mungkin kamu salah paham,” begitu nasehat umi yang selalu aku kenang.

Umi adalah orang yang sangat
menghargai waktu dan kedisiplinan. Dalam aktivitasnya, baik mengajar maupun
menghadiri sebuah rapat kelembagaan, umi selalu berusaha untuk  datang tepat waktu, bahkan menjadi orang pertama
yang hadir. Di dalam kamar mandi beliau, umi meletakkan jam dinding sebagai pengingatnya
akan waktu, agar umi tidak datang terlambat dalam acara apapun.

Dedikasi  umi pada ilmu pengetahun sungguh luar biasa.  Saat kondisi sakit sekalipun, umi tetap
menyempatkan diri untuk mengerjakan tugas-tugas dan tanggung jawabnya, termasuk
mengoreksi desertasi, tesis, dan skripsi para mahasiswanya hingga larut malam.

Tak jarang, saat aku hendak  tidur di malam hari, aku melihat umi masih membaca,
menulis atau mengoreksi, dan saat aku terbangun, kulihat umi sedang sujud atau muraja’ah
al-Qur’an sebagai wirid harian yang memang beliau istiqomahkan.

Dalam urusan sosial, umi adalah
orang yang selalu berusaha hadir dalam berbagai momen yang beliau diundang di
dalamnya, mulai dari pengajian majelis taklim, pernikahan, khitanan, takziah, dan
sebagainya, selama beliau memiliki kelenggangan waktu dari jadwal akademik dan
kelembagaan beliau.  

Aku pernah mengantarkannya untuk
hadir ke sebuah pernikahan muridnya jauh di pelosok kota Serang beberapa tahun
yang lalu. Meskipun harus menempuh perjalanan berjam-jam, umi selalu menikmati setiap
perjalanan yang beliau lalui kala itu.

Sejak kecil, rumahku selalu ramai. Dalam
rumah sederhana kami, umi selalu mengajak para kerabat dekat dan jauh beliau
untuk tinggal bersama kami, termasuk sahabat-sahabatku yang sudah umi anggap
sebagai anaknya sendiri. Umi tidak pernah membedakan siapapun. Beliau selalu
peduli terhadap suksesnya pendidikan semua orang yang berada dalam rumah kami. Pun,
sampai hari ini.

Seingatku sudah banyak generasi asuhan
umi yang telah sukses menyelesaikan pendidikan tingginya.  Tentu, setelah kepergiannya, aku dan semua
orang yang pernah tinggal di rumahku sangat merindukan ‘daging goreng’ special
khas Sulawesi yang umi masak untuk kami semua dengan tangannya.

Tidak ada sedikit pun kenangan buruk
tentangnya, sebab hidupnya selalu penuh dengan kebaikan. Semua nasehat berharganya
 akan selalu aku ngat sebagai bekal menjalani
kehidupan dan tentu akan aku wariskan kepada anak-anakku kelak.

Ada satu nasehat umi yang sangat
membekas bagiku mengenai konsep keikhlasan. Beliau yang tidak pernah kenal lelah
ini pernah berucap, “Orang yang mudah lelah/capek berarti dia kurang ikhlas,
karena kalau seseorang ikhlas, maka ia tidak akan merasakan hal tersebut.”

Allah mentakdirkanku untuk dapat
berkhidmat kepada umi sampai pada detik-detik terakhirnya. Meski dalam kondisi
yang sangat terbatas, aku berkesempatan untuk memandikan jenazahnya sampai
mengantarkan beliau ke peristirahatan terakhirnya.   Sebuah
hal yang menjadi khidmat terakhirku kepadanya

Selamat jalan Umi, Ibunda kami, terima
kasih untuk setiap perhatian, kasih dan cintamu. Mohon maaf atas segala kesalahan
dan kekurangan kami. Semoga kami bisa meneruskan perjuanganmu, mendidik dengan penuh
keikhlasan. Dan semoga kelak kita bisa bertemu di surga Allah. Amin.

Kontributor

  • Dr. Syarif Hidayatullah, S.S.I., MA.

    Dosen Program Pasca Sarjana Hukum Ekonomi Syariah (HES) Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta.Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.