Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo: Teladan Keilmuan Wanita

Avatar photo
28
×

Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo: Teladan Keilmuan Wanita

Share this article

“Seorang istri adalah pemimpin atas rumah
tangga dan anak-anaknya.”
(HR. Muslim)

Hampir semua wanita pasti memiliki pandangan yang
sama saat ditanya tentang sosok Prof. Huzaemah Tahido Yanggo. Mereka akan
mengagumi sosok ini sebagai ulama perempuan hebat yang memiliki peran luar
biasa.

Saya pun mengagumi sosok Ibu Huzaemah sebagai
prototipe wanita paling ideal di Indonesia. Perjalanan intelektual dan akademik
sosok ini memang belum ada tandingannya sampai saat ini; guru besar, ulama internasional
dan yang paling penting sosok ini adalah seorang ibu dan istri.

Pertemuan istimewa kami diawali dari program kader
wanita ulama di kelas beasiswa internasional Pascasarjana Institute Ilmu
Al-Qur’an, Jakarta. Saya memang menyelesaikan S1 juga di Institusi yang sama,
tapi selama 3-4 tahun, Ibu Huzaemah belum pernah mengajar saya secara langsung.

Bersama tiga belas wanita penghapal al-Qur’an
lainnya, saya mengambil program S2 Ilmu Qiraat dan menjadi satu-satunya program
magister di IIQ yang menggunakan bahasa pengantar Arab dan semua muridnya
wanita. Tentu, kehadiran Ibu Huzaemah di kelas telah menjadi ‘The Real Figure’
bagaimana sosok  seorang ulama wanita itu
hidup di tengah umat.

Tidak ada kesan takut saat pertama kali bertemu
dengan beliau. Namun aura keulamaan yang beliau miliki memang menjadikan kita
lebih banyak sungkan dan segan ketika berhadapan dengan beliau. Selayaknya
santriwati saat bertemu dengan kiainya, maka saya lebih sering grogi sambil
memendam kekaguman itu kepada beliau.

Pernah suatu momen presentasi, saya datang
terlambat dengan makalah yang harusnya saya presentasikan. Saat itu saya sedang
hamil anak kedua dan kondisi suami yang memang belum bisa mengantarkan ke
kampus tepat waktu. Saya kira ibu akan marah. Ternyata beliau memaklumi
keterlambatan saya dan mempersilahkan saya presentasi.

Saya sering mendengar kisah ketegasan beliau di
kelas lain, namun saat bersama kami, beliau sangat amat berusaha untuk
memaklumi.

Mungkin di kelas kami, ibu seperti merasakan kilas
balik masa perjuangan pendidikannya di al-Azhar dahulu. Beliau seperti melihat
dirinya saat mengajar kami dan merasa iba kalau harus lebih tegas kepada kami.

Maklum, di kelas kami mayoritas adalah seorang
istri dan ibu yang saat itu juga dituntut 
dengan tugas-tugas makalah dan presentasi berbahasa arab, juga hafalan
30 juz yang harus kami pertanggungjawabkan. Meskipun tentu pada umur yang sama,
tekanan, hambatan serta kualitas keilmuan ibu sudah pasti jauh lebih besar dan
mapan ketimbang kami saat itu, namun ibu tetap memaklumi.

Saat ibu mengampu mata kuliah Tafsir Ayat Ahkam,
beliau selalu mengarahkan kami untuk dapat melengkapi  referensi makalah dengan sumber-sumber
ter-update dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan bukan hanya dari
turats-turats klasik.

Beliau selalu menekankan pentingnya integrasi
hukum syara’ dengan hukum positif sebuah wilayah, sebab terkadang fikih klasik
belum mengakomodir ketentuan-ketentuan hukum dari masalah-masalah keumatan di
sebuah wilayah. Hal ini tentu menunjukkan kearifan beliau dalam memahami
keluhuran syariat dan pentingnya pembumian nilai-nilai tersebut di tempat kita
hidup dan tinggal, sehingga mampu menciptakan maslahat yang lebih substansial.

Pernah suatu ketika, ibu juga menjelaskan hukum
perceraian. Jatuhnya talak  menurutnya
harus terjadi di depan hakim dengan semua perangkat-perangkat peradilan yang
ada. Jadi menurutnya, ucapan talak di luar pengadilan tidak dihitung sebagai
talak, sebab itulah fungsi kenapa kita tidak memisahkan antara agama dan
negara.

Jika kita memakai istilah ekofeminisme untuk
menggambarkan kodrat keperempuanan paling ideal, maka menurut saya, ibu adalah
sosok  ekofeminisme sejati. Seorang
pejuang  perempuan yang telah membuat
makna emansipasi itu hidup dan teraktualisasikan di dalam dirinya tanpa perlu
teori dan kata-kata. Seorang perempuan yang berada pada puncak keilmuan dan
keidealan seorang wanita di abad ini; seorang guru besar, faqihah, ulama,
hafidzah, sufiyah, muftiyah yang juga sukses berperan menjadi seorang istri dan
ibu. Mau apalagi?

Jika di balik laki-laki hebat ada seorang
perempuan yang senantiaaa mendukung dan memotivasi, saya meyakini bahwa dibalik
perempuan menakjubkan ini juga ada seorang suami dan anak yang juga
menakjubkan. Seorang suami yang ikhlas mewakafkan istri tercintanya  untuk umat dan bangsa. Seorang suami yang
ridha dan selalu berdoa untuk perjuangan sang istri di manapun dia berada.
Seorang suami yang lapang dada mendukung capaian istri dalam segala kondisi
yang dialaminya.

Saya meyakini, 
capaian akademik dan spiritual yang ibu dapatkan saat ini, tentu juga
dikuatkan dengan  ridha suami dan anak yang
senantiasa menyertai. Sebab sehebat apapun wanita, ia tetaplah istri yang surganya
tetap berada dalam ridha suami.

Sehebat apapun wanita di luar sana, ia tentu
selalu membutuhkan rumah tempat dia kembali dan menata hati. Ada rumah tempat
ia berkeluh kesah dan menyandarkan kepedihan sebelum ia kembali terlihat kuat
di depan umat. Sebuah tanggung jawab untuk membuat rumah tetap stabil dengan
iklim yang menenangkan tersebut, tentu tidak mungkin tercipta dari sebuah
keluarga dengan mental spiritual biasa.

Dari rumahlah hal-hal menakjubkan itu bermula.
Suami yang ikhlas dan ridha, anak soleh yang 
mendoakan serta niat untuk mengabdi pada Allah Swt.

Terima kasih, Ibu!
Bersamamu kami meneladani,
Darimu kami mengerti,
Untukmu doa doa kami,
Semoga Allah jadikan segala jasamu sebagai jariyahmu.
Selamat jalan dan kembali.

Kontributor