Scroll untuk baca artikel
Talaqqi Akbar
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Prostitusi: Antara Problem Kemanusiaan dan Sudut Pandang Keagamaan

Avatar photo
88
×

Prostitusi: Antara Problem Kemanusiaan dan Sudut Pandang Keagamaan

Share this article

Prostitusi sebagai problem kemanusiaan menjadi suatu hal yang masih diperdebatkan. Berbagai pandangan pun tak ada habisnya dibahas, menyangkut apakah prostitusi itu dikelola, dilarang, diatur dan lain sebagainya.

Perdebatan tentang prostitusi masih bergantung pada konsentrasi politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya serta agama. Hingga saat ini tidak menemui ujung pangkalnya.

Tak jarang pelaku prostitusi mendapatkan perlakuan diskriminasi karena dianggap sebagai sarana penyakit HIV/AIDS akibat perilaku seks. Seiring berjalannya waktu, prostitusi menjadi kegiatan yang semakin terorganisir.

Prostitusi dalam Aturan Hukum Positif

Menurut pandangan Merton, struktur sosial pada kenyataannya membuat beberapa orang berbuat menyimpang dari norma sosial[1]. Untuk mempertahankan hidupnya, setiap orang memilki kebebasan memilih pekerjaan apa yang ingin dijalankannya.

Kemudian Pasal dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Adanya diskriminasi bertentangan dengan pasal tersebut.

Baca juga: Empat Cara Memelihara Keluarga Menurut Al-Quran

Adanya pekerja seks komersial (PSK) dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Antara lain faktor ekonomi. Kemiskinan membuat seseorang memilih untuk mendapatkan materi dengan cara yang cepat dan mudah tanpa keahlian khusus atau pendidikan.

Faktor sosial juga mempengaruhi. Dimulai dari keluarga yang retak sehingga kurangnya kasih sayang orang tua dan pengarahan yang tepat menjadikan anak dapat terjerumus dalam kehidupan yang buruk.

Faktor pendidikan seperti kurangnya pendidikan formal maupun pendidikan agama menjadi kurangnya etika dan moral.

Selain itu ada faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi untuk menjadi PSK.

Bentuk diskriminasi yang dialami oleh PSK biasanya diskriminasi hukum dan sosial. Diskriminasi hukum adalah diskriminasi yang diterima oleh PSK di ranah hukum, karena peraturan baik nasional maupun daerah melarang adanya wanita tuna susila sehingga tidak adanya perlindungan bagi PSK baik sebagai individu maupun dalam pekerjaannya.

Diskriminasi secara sosial yang dimaksud adalah diskriminasi dalam masyarakat. Stigmaisasi masyarakat yang menganggap bahwa PSK merupakan sampah masyarakat, sumber dosa atau lainnya membuat PSK sulit untuk memiliki kehidupan yang normal.

Di samping itu perbuatan main hakim sendiri baik yang terorganisisr dan terencana maupun yang bersifat spontan sering terwujud dalam bentuk tindak kekerasan, pembakaran, dan amuk massa terhadap lokasisasi pelacuran[2].

Berdasarkan pasal 296 KUHP, “barang siapa yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.

Pada pasal 507 KUHP “barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”.

Hanya kedua pasal KUHP tersebut yang dapat menjerat prostitusi. Namun, tidak ada ketentuan atau hukuman bagi pengguna atau pemakai dari jasa prostitusi baik denda maupun penjara atau kurungan.

Baca juga: Ayat-ayat Langit dan Maknanya bagi Penduduk Bumi

Lemahnya penegakan hukum terkait dengan prostitusi ditandai dengan berkembangnya media komunikasi yang digunakan untuk praktik prostitusi, yakni melalui dunia maya atau sering disebut prostitusi online.

Adanya penawaran melalui prostitusi online dapat memudahkan praktik dengan minim risiko terhadap pengungkapan oleh pihak berwenang.

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yaitu nomor 11 tahun 2008 tidak memberikan ancaman pidana atas sebuah tindakan prostitusi online. Pasal 27 ayat (1) UU ITE hanya memberikan ancaman bagi yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat akses berupa gambar, video, animasi, ataupun sketsa.

Prostitusi dalam Pandangan Syariat Islam

Dalam terminologi Arab, prostitusi atau pelacuran diistilahkan sebagai bai’ul irdhi yang artinya menjual kehormatan. Seorang wanita dalam Islam mendapatkan penghormatan dan keistimewaan yang lebih dibanding dengan seorang laki-laki. Prostitusi menjadi bentuk penghinaan terhadap derajat manusia, terutama wanita.

Menurut QS. An-Nur [24]: 33, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, padahal mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Baca juga: 9 Pesan Al-Azhar untuk Atasi Pelecehan Seksual

Ayat ini mengisyaratkan dua hal, yakni upaya pelarangan segala bentun pemaksaan dan eksploitasi seksual dan dukungan serta pendampingan terhadap korban.

Hukum Islam sendiri menganggap bahwa pelacuran atau prostitusi sebagai zina, yang di dalamnya terdapat unsur zina yakni persetubuhan yang diharamkan dengan sengaja dengan niat melawan hukum dan norma.

Pengaturan dan sanksi untuk prostitusi atau pelacuran sebagai zina sudah diatur dalam QS. Al-Isra’ [17]:32, QS. An-Nur [24]: 33, dan QS. An-Nur [24]: 2.

Dalam hukum Islam sendiri hukuman bagi pezina ada beberapa jenis. Ada pezina muhsan yakni perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang sudah atau pernah menikah, hukumannya adalah dirajam.

Kemudian pezina ghairu muhsan adalahorang yang belum pernah melakukan perzinaan, hukumannya dengan hukuman cambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan pezina dari hamba sahaya dengan hukuman 50 kali cambukan.[3]

Dari aspek spritual, upaya untuk mengatasi prostitusi atau zina adalah meningkatkan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT, serta memperdalam ilmu agama dan menciptakan lingkungan yang kondusif dan jauh dari adanya praktik prostitusi. Untuk ranah pemerintahan, perlu dibuatkan UU yang mengatur tentang hukuman bagi pengguna atau pemakai jasa prostitusi, sehingga baik mucikari maupun pemakai mendapatkan sanksi atau hukuman.


[1]Bambang Ali Kusumo, 1997, Kriminologi, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi, Hal.40

[2]Syarifuddin, Prostitusi Sebagai Penyakit Sosial dan Problematika Penegakan Hukum, Makalah Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidanan Universitas Sumatera Utara Medan, hal. 10-11

[3] Ziba Mir-Hosseini, Memidanakan Seksualitas: Hukum Zina sebagai Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konteks Islam, ww.stop-killing.org.2017

Kontributor

Talaqqi Akbar