Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Pujangga Ahmad Syauqi, Ulama Al-Azhar dan Penyanyi Ummi Kultsum

Avatar photo
35
×

Pujangga Ahmad Syauqi, Ulama Al-Azhar dan Penyanyi Ummi Kultsum

Share this article

Hari-hari terakhir di penghujung usia, penyair Ahmad Syauqi mengalami sakit keras. Mendengar kabar tersebut, Al-Imam Al-Akbar Syekh Al-Azhar Muhammad bin Ibrahim Al-Ahmadi Adz-Dzawahiri As-Syafi’i As-Syadzili (w.1944) datang membesuknya.

Syekh Al-Azhar itu mengatakan kepadanya, “Dalam mimpi, aku diutus oleh Kanjeng Rasul Muhammad Saw. ‘Katakan pada Ahmad Syauqi: Ana fi Intadzarak (aku menunggumu).'”

Tak lama setelah mendengar kabar gembira tersebut, Ahmad Syauqi tiba-tiba sembuh dari sakitnya. Barulah selang beberapa waktu kemudian Ahmad Syauqi wafat, tepat pada tanggal 13 Oktober 1932 Pukul 02.00 dini hari.

Sebagaimana diriwayatkan Hasan Husein dalam bukunya Tsulasiyat Al-Burdah (1988).
Al-Imam Al-Akbar Syekh Al-Azhar Muhammad bin Ibrahim Al-Ahmadi Adz-Dzawahiri As-Syafi’i As-Syadzili merupakan salah satu tokoh pembaharu dan figur sentral di lingkungan Al-Azhar karena semasa hidupnya menjabat posisi tertinggi di Al-Azhar.

Beliau murid Syekh Muhammad Abduh yang bersahabat karib dengan ayahnya sendiri Syeikh Ibrahim Adz-Dzawahiri-salah satu ulama Al-Azhar juga. Disematkan nama Al-Ahmadi padanya karena memang dinisbatkan pada Sayyid Syeikh Ahmad Badawi RA, seorang wali qutub yang maqamnya berada di kota Thanta. Syeikh Azh-Dzawahiri memiliki karangan kitab yang populer berjudul Al-‘Ilm Wa All-‘Ulama.

Inggris dan para pemangku kekuasaan Mesir membuat Syeikh Muhammad Adz-Dzawahiri dulu mengundurkan diri -lebih tepatnya dipaksa mundur- dari jabatan tertinggi Al-Azhar. Salah satu sebab utamanya adalah beliau melawan dan tidak tunduk pada intervensi pihak luar yang hendak mereduksi pengaruh Al-Azhar dalam urusan negara.

Upaya menggerogoti Al-Azhar bukan hal baru. Selalu saja ada pihak-pihak yang ingin menguasai instansi agama yang usianya lebih dari 1000 tahun itu. Kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) saat berada di tampuk kekuasaan 2012-2013 setelah memenangi kontestasi politik pasca Arab Spring, juga memilik syahwat yang sama. Karena Al-Azhar menjadi penghalang utama segala agenda IM. Tapi akhirnya bukan Al-Azhar yang berhasil mereka kuasai, namun kelompok tersebut yang justru tunggang langgang berantakan tak karuan.

Ternyata kalau ditelusuri lebih jauh, Syeikh Muhammad Al-Dzawahiri ini adalah kakek Aiman Adzh-Dzawahiri, tokoh sentral dan paling berpengaruh dalam Jaringan Kelompok Teroris Al-Qaeda, sebagai Second Commander setelah Osama bin Laden.

Tapi jangan salah sangka dulu, meski sama-sama memiliki klan Azh-Dzawahiri, bahkan nasabnya masih tersabung, namun garis pemikiran dan pandangan mereka berdua sangat jauh berbeda. Sang Kakek Muhammad adalah tokoh terhormat dan pembaharu di Al-Azhar, beliau jelas sunni terlebih sangat Sufi. Sementara Si Cucu Aiman seorang salafi-jihadi, yang memilih jalan keras lagi terjal, sehingga sangat berbeda bahkan bersebrangan dengan kakeknya.

Lucunya, Aiman Adz-Dzawahiri pernah sempat mengatakan bahwa kakeknya telah kafir, bahkan keluar dari Islam. Aneh bin ajaib memang. Begitulah para ekstrimis, suka mengeluarkan statemen ngawur, seperti pernyataan Aiman yang jelas-jelas ditujukan pada kakeknya sendiri, Syeikh Al-Azhar yang sudah tidak diragukan keluasan ilmunya. Orang-orang takfiri memang cenderung begitu: gampang mengkafirkan orang lain, terlebih kalangan sufi.

Baca juga: Mengenal Eissa dan Nagm, Musisi Mesir yang Dicintai Kaum Demonstran

Ulama Al-Azhar dan Ahmad Syauqi

Para ulama Al-Azhar selain memiliki kedalaman ilmu agama, sebagian besar sangat piawai dan ahli bersyair. Namun aspek kepenyairan mereka jarang terekspos. Tidak sedikit yang mengarang Qasaid Madaih (Kasidah Pujian) kepada Nabi Muhammad SAW. maupun Qasidah munajat dan do’a.

Misalnya Syeikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Syeikh Hasan Gad, Syeikh Muhammad Abdel Moneim Hafagi, Syeikh Moamed Ragab Bayoumi, Syeikh Mohamed Abdel Moneim El-Orabi, Syeikh Mohamed Ahmed El-Azzab, Syeikh Ahmad Umar Hasyim dan seabrek nama lainnya.

Namun demikian, para ulama Al-Azhar tersebut cukup memberikan perhatian tersendiri dan sering menyitir syair-syair karya Ahmad Syauqi. Abdul Ghani Hindy, salah seorang anggota Majlis Al-A’la bercerita bagaimana Syekh Sya’rawi-saat masih sugeng- sempat mewanti-wanti dalam satu pengajiannya.

“Jangan sebut Ahmad Syauqi dengan Rahimahullah, melainkan sebut beliau dengan ‘Radliyallahu ‘Anhu’.” Begitu wejangan Syeikh Sya’rawi.

“Karena tidak ada penyair yang memuji kanjeng Nabi Muhamamd Saw. seperti halnya Syawqi sejak Hassan bin Tsabit, Ka’ab bin Zuheir dan seterusnya sampai hari ini. Selain itu, aku belum pernah mendengar seorang pun yang mampu menjelaskan prinsip Islam hanya dalam satu bait syair, kecuali hanya Ahmad Syauqi.” demikian kesan Syeikh Sya’rawi.

Selain Syekh Sya’rawi, ada pula Syekh Al-Azhar lainnya, yang turut memberikan perhatian khusus terhadap karangan Ahmad Syauqi, yaitu Syeikh Salim Al-Bisyri. Beliau terbilang paling kredibel dalam mememberikan syarah (komentar) Qasidah Nahjul Burdah dalam kitabnya, Wadhu Al-Nahji sebagai penjelasan bagi orang awam yang kesulitan memahami syair Ahmad Syauqi.

Imam Besar Al-Azhar tersebut bukan tokoh sembarangan. Beliau tokoh paling dihormati dan disegani semasa hidupnya sebagai Al-Imam Al-Akbar (Imam Besar) Al-Azhar.

Sejak muda, Ahmad Syauqi berguru kepada Syeikh Husein Al-Marshofi (W.1889), salah seorang ulama besar Al-Azhar dan sosok guru bagi para sastrawan dan pemikir Mesir. Beliau memiliki karya fenomenal, Al-Wasilah Al-Adabiyah Ila Al-Ulum Al-‘Arabiyah yang belum lama ini Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Ath-Thayyeb meminta Dar Al-minhaj untuk menerbitkan ulang buku tersebut. Buku ini dipandang penting oleh beliau untuk bahan ajar dan referensi bagi pelajar dan peneliti.

Ahmad Syauqi banyak terpengaruh dari Syekh Husein, hingga lihai dalam olah bahasa dan mengarang sajak-sajak puisinya. “Syeikh Husein Al-Marshofi adalah satu-satunya guruku yang berhasil memperluas pemahamanku dan membangun cara berfikirku,” kata Ahmad Syauqi mengenang gurunya.

Ahmad Syauqi memang lahir di Kairo, namun berdarah Kurdi campur Turki. Salah satu keturunannya, Laila El-Damardash (cicit Ahmad Syauqi) yang saat ini masih hidup, tidak berbicara bahasa arab, tak mengerti banyak tentang bahasa arab sebagaimana kakek-buyutnya. Malahan cicitnya itu lebih menguasai bahasa Inggris, Prancis, Spanyol dan Portugal ketimbang Bahasa arab. Ini menandakan bahwa orang yang tidak berdarah Arab asli, boleh jadi lebih menguasai bahasa dan sastra Arab ketimbang penduduk Arab sendiri, meskipun berguru kepada orang Arab.

Baca juga: Kedekatan Emosional antara Al-Azhar dan Warga Afro-Amerika

Hadiah Ahmad Syauqi untuk Ummi Kultsum

Ummi Kultsum baru menyanyikan karya-karya Ahmad Syauqi beberapa tahun setelah dia wafat. Bermula saat Ahmad Syauqi tiba-tiba mendatangi rumah Ummi Kultsum dan memberinya sebuah amplop.

Ummi Kultsum sempat manggung di salah satu acara pementasan yang digelar Ahmad Syauqi di hadapan para pembesar dan elit politik Mesir kala itu. Maksud dia tentu sebagai tanda terima kasih. Namun saat disodorkan, Ummi Kultsum justru menolak kalau-kalau itu sebagai imbalan.

“Tidak, tidak. Selamanya mustahil kuterima.” kata Ummi Kultsum menolak, “Kamu menghinaku. Ini aib.”

Itu adalah ungkapan orang Mesir sebagai tabiat mereka yang menolak ketika orang yang sudah merasa sangat dekat memberikan sesuatu sebagai imbalan. Justru pemberian itu dianggap penghinaan dan tidak menghargai.
Bagi orang Mesir, pemberiaan berbentuk uang dianggap seperti sedang berurusan dengan orang lain bukan sebagaimana orang yang sudah sangat dekat. Wajar saja, orang Mesir suka mubalaghah (berlebih-lebihan) dan mujamalah (basa-basi).

Melihat Ummi Kultsum agak tersinggung, Ahmad Syauqi hanya bergeming.

“Buka saja amplop itu, Hei Tsumah!” ucap Syauqi tenang.

Ummi Kultsum pun membukanya. Benar saja, amplop itu bukan berisi segepok uang seperti yang dikiranya sebagai imbalan manggung, melainkan berisi coretan syair-syair karangan Ahmad Syauqi yang secara khusus dipersembahkan untuknya. Di kemudian tahun, lirik puisi itu dilagukan olehnya.

Betapa girang Ummi Kultsum. Hadiah syair itu bagi dia merupakan imbalan terbesar sepanjang hidupnya. Sebuah syai dan ditulis oleh seorang Ahmad Syauqi.

Bersama Riyadh Sonbati, maestro kenamaan Mesir, Ummi Kultsum menggarap lagu Nahjul Burdah, Salu Qalbi dan Wulidal Huda. Liriknya adalah syair-syair cinta Ahmad Syauqi sebagai pujian kepada junjungan agung Muhammad SAW. Lagu-lagu itu pertama rilis pada tahun 1946 dan masih masyhur hingga detik ini.

Konon Ahmed Syauqi merupakan sosok penyair yang doyan mabuk. Entah memang dirinya betul-betul mabuk atau yang dimaksudkan adalah mabuk cinta. Tapi siapa sangka,gelora cinta yang dituangkannya dalam syair membuat dia dimuliakan oleh para ulama Al-Azhar. Bahkan membuat junjungan agung Muhammas SAW. menunggunya, sebagaimana dikabarkan langsung Al-Alim Al-Allamah Syekh Al-Azhar Muhammad bin Ibrahim Al-Ahmadi Adz-Dzawahiri As-Syafi’i As-Syadzili.

Salah satu syair pujian Ahmed Shawqi kepada Nabi berbunyi:

إِذا خَفَضتُ جَناحَ الذُلِّ أَسأَلُهُ
عِزَّ الشَفاعَةِ لَم أَسأَل سِوى أمَمِ

Kumengiba pada Nabi Muhammad kala tergelincir dalam kubangan kenistaan,
Tiada lain hanya kepadanya kupinta sya’faat untuk meringankan bebanku.

وَإِن تَقَدَّمَ ذو تَقوى بِصالِحَةٍ
قَدَّمتُ بَينَ يَدَيهِ عَبرَةَ النَدَمِ

Orang takwa di hadapan Rasulullah menunjukkan amal salehnya
Sementara aku hanya tumpahkan diri di hadapannya penuh penyesalan tak terkira.

Wallahu ‘Alam.

Kontributor