Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Refleksi Seminar Adab Perbedaan dalam Masalah Ilmu dan Agama PKU MUI Jakarta

Avatar photo
161
×

Refleksi Seminar Adab Perbedaan dalam Masalah Ilmu dan Agama PKU MUI Jakarta

Share this article

“Prof. Muhyiddin menjelaskan bahwa banyak ulama terdahulu yang menerima dan menggunakan hadits dha’if dalam situasi tertentu, terutama jika tidak ada hadits yang lebih kuat yang tersedia.”

Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) bersama Majelis Ulama Islam (MUI) DKI Jakarta menggelar seminar internasional bertajuk Adab Ikhtilaf fi Masail al-‘Ilm wa al-Din pada Kamis (16/01/2025) di Kantor Baznas, Matraman, Jakarta dengan menghadirkan Prof. Dr. Muhyiddin Muhammad Awwamah Al-Husaini, seorang ulama hadits terkemuka asal Turki yang lahir di Aleppo.

Beliau memiliki latar belakang  keilmuan yang beragam, berderet tiga gelar doktor dalam bidang keilmuan yang berbeda. Dalam seminar itu, beliau tidak hanya mencerahkan peserta tentang pentingnya ilmu, tetapi juga bagaimana menjaga adab dalam menghadapiperbedaan pendapat, khususnya dalam ranah ilmu dan agama.

Sebagai moderator, saya merasa terhormat bisa menyaksikan dan menjadi bagian daridiskusi yang menarik ini. Saya ingin membagikan beberapa catatan penting yang sayatangkap dari sesi bersama beliau yang merupakan putra dari seorang ulama besar Syekh Muhammad Awwamah.

Pada awal sesi seminar, Syekh Muhyiddin memulai dengan membacakan sebuah hadis musalsal bil awwaliyyah yang dikenal juga sebagai hadis rahmah. Hadis ini merupakan bagian dari tradisi para ulama Ahlussunah Wal Jamaah dalam menyambungkan matarantai keilmuan. beliau mengingatkan kita bahwa Islam dibangun di atas pondasi rahmah (kasih sayang).

Hadis ini bukan sekadar pengantar, tetapi mengajak kita untuk memahami bahwa dalam setiap proses penyampaian ilmu, terutama dalam tradisi Ahlussunah Wal Jamaah, rahmah adalah elemen yang mendasari segala hal. Melalui sanad yang sahih, ilmu disampaikan dengan penuh kasih sayang, menghormati setiap langkah dan adab dalam belajar, serta menjaga keberlanjutan pengetahuan dari generasi ke generasi.

Kemudian beliau menjelaskan perbedaan antara aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Secara umum, kata “Asy’aridigunakan untuk merujuk pada kedua madzhab tersebut, namun di kalangan para spesialis, terdapat perbedaan lebih lanjut, di mana beliau sendiri, meskipun dikenal secara umum sebagai Asy’ari, secara khusus adalah seorang Maturidi, yang merupakan madzhab mayoritas pengikut Hanafiyah. Selain itu, beliau juga menjelaskan bahwa dalam bidang tasawuf, ayahanda beliau mengikuti tarekat Rifa’i yang diajarkan oleh gurunya, Syekh Abdullah Sirajuddin, yang memberi pengaruh besar dalam mendalami adab dan spiritualitas.

Metodologi keilmuan ayahanda Syekh Muhyiddin merupakan salah satu aspek yang ditekankan dalam seminar ini. Menurutnya, metodologi ilmiah tidak hanya mencakup pengajaran dan penelitian, tetapi juga penulisan dan pengenalan ilmu yang dilakukan dengan cara yang komprehensif. Beliau menyebutkan bahwa lebih dari 23 karya ilmiah, termasuk tesis dan disertasi, telah ditulis mengenai metodologi beliau. Konferensi ilmiah internasional tentang ayahanda beliau juga telah diadakan pada tahun 2018 di Istanbul, dihadiri oleh ulama dari 22 negara yang mempelajari pandangan, metodologi, dan kontribusi beliau dalam ilmu hadits.

Selain membahas ilmu hadits, Syekh Muhyiddin mengingatkan tentang pentingnya menjaga kehormatan para imam Islam. Beliau menegaskan bahwa salah satu tugasu tama ayahanda adalah membela kehormatan para imam, seperti Imam Nawawi dan Ibn Hajar, dari kritik yang tidak berdasarkan pemahaman yang baik. Dalam dunia yang serba cepat ini, banyak orang, khususnya di media sosial, menganggap kritik terhadap para imam besar sebagai prestasi, padahal hal tersebut menunjukkan ketidaktahuan dan kurangnya adab.

Pentingnya membaca buku fisik juga menjadi salah satu poin yang beliau soroti. Menurutnya, membaca buku fisik memberi pengalaman yang lebih mendalam dibandingkan dengan membaca melalui perangkat elektronik. Buku fisik mengandungruh” yang tidak bisa ditemukan dalam bentuk digital.

Beliau  menekankan pentingnya pendidikan tradisional (tarbiyah mashayikhiyah), di mana seseorang belajar langsung dari para ulama, yang menanamkan nilai adab dan ilmu yang holistik. Poin ini sebenarnya merupakan kritik kepada saya pribadi yang pada awal sesi menyebutkan bahwa buku ayahanda beliau yang akan dikaji pada seminar ini dapat dengan mudah diunduh di Google.

Selain itu, beliau mengingatkan pentingnya memahami perbedaan antarakhilaf” dan “ikhtilaf“. Dalam buku Ayahanda beliau Adab al-Ikhtilaf fi Masail al-‘Ilm wa al-Din, beliau menjelaskan bahwakhilafberarti perselisihan yang merusak, sementaraikhtilafadalah perbedaan yang bersifat konstruktif. Dengan demikian, kita diajarkan untuk menghargai perbedaan dalam ilmu dan agama, bukan untuk saling bertentangan. Beliau merangkum tiga alasan utama mengapa perbedaan pendapat terjadi di kalanganulama: perbedaan akal manusia, perbedaan penafsiran terhadap teks syariah, dan perbedaan dalam bahasa Arab yang kaya akan makna.

Prof. Dr. Muhyiddin juga mengulas salah satu buku penting yang beliau sebut sebagai karyatiga kembar”: Atsar al-Hadith al-Sharif fi Ikhtilaf al-A’immah al-Fuqaha’, Adab al-Ikhtilaf, dan Ma’alim Irshadiyah li Sina’ati Talib al-‘Ilm. Buku-buku ini menawarkan panduan praktis dan metodologis dalam membentuk pelajar ilmu yang kelak dapat menjadi ulama yang bermanfaat bagi umat. Di dalam buku Ma’alim Irshadiyah, beliau mengajak pembaca untuk mengikuti metodologi para imam terdahulu, yang menurut beliau adalah pedoman yang paling aman di tengah banyaknya metode baru yang bermunculan.

Beliau juga mengungkapkan terkait perbedaan pandangan di kalangan ulama dan pentingnya memahami perbedaan tersebut dalam konteks ilmu agama. Salah satu poin utama yang disampaikan adalah tentang sebab-sebab perbedaan pandangan di kalangan para ulama, yang menurut beliau, dapat dibagi menjadi tiga aspek utama: perbedaan akal manusia dan kecenderungannya, perbedaan dalam pemahaman teks-teks agama, dan perbedaan dalam karakteristik bahasa Arab.

Perbedaan akal manusia mengacu pada kenyataan bahwa setiap individu memiliki cara berpikir yang berbeda, yang dipengaruhi oleh faktor pengalaman, latar belakang, dan lingkungan. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa para ulama berbeda pendapat meskipun mereka mengacu pada sumber yang sama.

Selain itu, teks-teks agama seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits memiliki lebih dari satu kemungkinan makna, yang menambah kompleksitas dalam penafsiran. Terakhir, perbedaan dalam bahasa Arab juga menjadi faktor penyebab, karena banyak kata dan frasa dalam bahasa Arab yang dapat memiliki makna ganda. Contohnya adalah kata “عسعسdalam surah At-Takwir yang bisa berarti awal malam atau akhir malam, tergantung pada konteksnya.

Prof. Dr. Muhyiddin juga menyoroti pentingnya memahami perbedaan dalam ilmu hadits. Salah satu isu yang menjadi pembahasan adalah penggunaan hadits dha’if (lemah) dalam beberapa kasus. Walaupun sebagian orang saat ini menghindari penggunaan hadits dha’if, Prof. Muhyiddin menjelaskan bahwa banyak ulama terdahulu yang menerima dan menggunakan hadits dha’if dalam situasi tertentu, terutama jika tidak ada hadits yang lebih kuat yang tersedia.

Beliau mengkritik pandangan yang mengabaikan hadits dha’if secara total, dengan mengutip pandangan beberapa imam terkenal yang justru menggunakannya sebagai salah satu bahan pertimbangan dalammenentukan keputusan hukum.

Para imam terdahulu, termasuk Imam Ahmad dan Abu Dawud, justru memperbolehkan penggunaannya dalam beberapa kondisi. Mereka berpendapat bahwa jika tidak ada hadits yang lebih kuat dalam topik tertentu, maka hadits lemah dapat diprioritaskan, bahkan lebih diutamakan dibandingkan dengan pendapat para ulama atau kaidahhukum (qiyas).

Dalam seminar tersebut beliau menceritakan sebuah kisah dari ayahanda beliau. Suatu kali, seorang murid ayahanda beliau bertanya, “Mengapa para ulama tidak menyatukanmadzhab-madzhab ini menjadi satu?”

Ayahanda beliau menjawab dengan bijak, “Menyatukan madzhab seperti itu bertentangan dengan kehendak Allah, Sunnah Nabi Muhammad SAW, dan juga akal sehat.”

Salah satu bagian yang menarik dalam seminar ini adalah sesi tanya jawab, di mana Prof. Dr. Muhyiddin menjelaskan bahwa semua ulama terdahulu, termasuk yang dikenalsebagai ulama fikih, pada dasarnya adalah sufi. Tasawuf pada masa mereka adalah bentuk adab dan spiritualitas yang memengaruhi sikap mereka dalam ilmu dan kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa tasawuf dan fikih tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi.


**Tulisan ini merupakan catatan penulis sebagai moderator dalam seminar tersebut.

Kontributor

  • Mabda Dzikara

    Alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang aktif menjadi dosen di IIQ Jakarta.