Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Review film The Swimmer: Arab, perang, dan hijrah

Avatar photo
54
×

Review film The Swimmer: Arab, perang, dan hijrah

Share this article

Film The Swimmer ini diangkat dari kisah nyata seorang perempuan Suriah bernama Yusra Mardani yang berhasil tampil di Olimpiade Brazil, 2016. Meski diangkat dari kisah nyata, tidak perlu terlalu berharap setiap karakter dan setiap scene adalah benar-benar penggambaran dari peristiwa yang dialami oleh tokoh utama, Yusra Mardani. 

Film ini dibintangi oleh Nathalie Issa sebagai Yusra Mardini, Manal Issa sebagai Sara Mardini (Kakak Yusra), dan Matthias Schweighöfer sebagai Sven, pelatih perang Yusra yang membantu Yusra mewujudkan impian untuk tampil di Olimpiade Brazil 2016. Matthias Schweighöfer adalah seorang aktor yang dikenal melalui perannya pada film Army of The Thieves, sebuah film spin off yang ratingnya lebih bagus dari film aslinya, Army of the Dead.

Arab, salah satu alasan untuk mengomentari film ini. Syiria, memiliki nama resmi negara (dalam bahasa Indonesia) Republik Arab Syiria, sebuah penegasan bahwa orang-orang Syiria itu ikut mengaku berkebangsaan Arab. Syiria memiliki sejarah yang sangat panjang, sering disebut dalam berbagai riwayat teks agama Islam.

Syiria dalam masa kenabian, sering disebut menggunakna istilah Syam, sebuah wilayah yang termasuk menjadi tujuan utama perdagangan klan Quraisy pada masanya. Damaskus juga pernah menjadi ibukota bagi Dinasti Umayyah, sebuah dinasti muslim yang mulai dikukuhkan dengan naiknya Muawiyah putra Abu Sufyan menjadi khalifah.

Suriah telah menjadi bagian penting dalam sejarah peradaban Islam dan dunia. Pernah menjadi pusat peradaban, menjadi daerah penting, bahkan menjadi pendukung utama terjadinya pertumpahan darah antar sesama muslim: di masa lalu (Muawiyyah vs Sayyidina Ali) dan masa kini (Basar Al-As’ad vs kelompok oposisi).

Dan film ini mengambil latar waktu saat perang saudara di Suriah pecah, memuncak, dan berdampak pada warga negara yang tak memiliki kepentingan politik selain kedamaian, ketentraman, dan harapan hidup di masa depan.

Scene pembuka dalam film ini vibes-Arab-nya cukup kental, dengan tarian kebahagiaan orang Arab dan percakapan full bahasa Arab. Dan ada pesan yang membuat saya spontan tersenyum di saat ayah Yusra Mardini, menyatakan kebahagiaannya memiliki 3 orang anak perempuan yang lebih baik dari memiliki 1000 anak laki-laki.

Dialog ini bagi saya semacam punchline untuk tradisi patriarki Arab yang sangat kuat, bahkan mengakar. Pun dalam dialog lain, seorang pengungsi muslimah dari Eritrea, sebuah negara di Afrika, juga sempat menyatakan kekagumannya pada Yusra yang berbangsa Arab, tapi tak berkerudung dan seorang perenang profesional. Agama yang dianut oleh Yusra dan Sara sebenarnya bukanlah hal sangat penting dibahas dalam tulisan ini, tapi dasarnya orang Indonesia, suka sekali menanyakan agama orang lain.

Dalam film ini, hampir tidak ditunjukkan secara tersurat apa agama yang dianut oleh Yusra. Di awal film, ekspektasi orang Indonesia mungkin akan mengira (atau bahkan berharap), bahwa agama Yusra dan Sara adalah Islam, karena beberapa simbol agama Islam cukup lekat dengan Arab, terlebih dalam pesta keluarga Yusra dan Sara memang ada keluarga yang berkerudung. Namun, beberapa sumber menyatakan Yusra adalah orang Suriah yang beragama Kristen. Terpaksa saya tulis agamanya Yusra, biar dianggap orang Indonesia yang cukup kepo dengan agama orang lain. Meski bagi tradisi pergaulan di Barat, agama adalah privasi, kecuali bagi mereka yang memang membuka diri tentang agama mereka.

Pesan tentang agama, keberagaman, dan kontribusi wanita Arab ini dikemas cukup bagus dan halus oleh Sally El-Hosaini, seorang sutradara wanita berkebangsaan Inggris, sekaligus sebagai penulis cerita bersama Jack Thorne. Jack Throne dikenal sebagai seorang penulis cerita yang cukup handal, telah berhasil mendapatkan banyak penghargaan di dunia film. Karya lain Jack Thorne sebagai penulis cerita yang belum lama rilis adalah film Enola Holmes 2.

Kisah Yusra dan Sara Mardini ini menjadi menarik karena menceritakan perang dari sudut pandang warga sipil yang tak tahu-menahu dan tak terlibat secara langsung dalam perang. Nanum mendapatkan dampak yang benar-benar traumatik. Bom di tempat-tempat umum, peluru-peluru yang melesat di atas kepala, dan kekacauan stabilitas negara. Berpindah dari tanah air yang konfliknya berkepanjangan adalah sebuah pilihan logis bagi mereka, dan pilihan warga Suriah kala itu justru bukan negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim. Negara tujuan yang didambakan justru negara-negara Eropa, terutama negara Jerman, negara yang kalah perang di Perang Dunia kedua.

Perang selalu hanya menyisakan duka, tak peduli siapapun yang berperang, lingkungan sekitarnya akan terdampak. Angka harapan hidup yang kian menurun, cita-cita dan karir juga akhirnya harus dikorbankan hanya untuk hidup. Alur utama dalam film ini mengambil latar waktu pada tahun 2015, 4 tahun setelah perang saudara di Suriah pecah, dan keadaan benar-benar tak stabil.

Dalam kurun tahun yang sama, orang-orang Indonesia juga ada yang berangkat menuju Suriah, dibohongi oleh buaian bacaan teks-teks Al-Qur’an, diiming-imingi cita-cita negara Islam, dan dibohongi oleh janji-janji tentang kemuliaan. Dan pada saat yang bersamaan, jutaan warga Suriah sendiri justru berjuang untuk “hijrah” dari tanah kelahiran mereka demi untuk harapan hidup yang lebih cerah. Meski dalam proses hijrah tersebut yang dipertaruhkan bukan saja harta dan tanah kelahiran, nyawa menjadi taruhan saat harus melintasi laut Aegean dari daerah Turki untuk menuju Lesbos, sebuah pulau di wilayah negara Yunani.

Perjalanan para pengungsi dari beberapa negara konflik yang kemudian bertemu di titik Yunani, dipertemukan oleh harapan untuk hidup di Eropa melalui seorang penyelundup dengan membayar harga nominal yang sangat besar, tapi mungkin tak sebesar dengan harga satu nyawa. Meski dalam perjalanan pengungsian melalui penyelendupan manusia via jalur laut juga sama sekali tidak mudah. Besarnya harga yang dibayar tak berbanding lurus dengan jaminan keselamatan nyawa dalam perjalanan menuju pulau Esbos.

Bahkan dalam film ini, terdapat scene dramatis yang menggambarkan satu perahu karet yang overload dan harus melintasi lautan lepas. Yusra dan Sara Mardini yang merupakan perenang profesional mampu menyelamatkan orang-orang dalam perahu karet yang hampir tenggelam. Scene dalam film ini cukup dramatis, tapi masih kurang menggambarkan peristiwa sesungguhnya di saat Yusra dan Sara berenang menarik perahu penuh orang selama 3,5 jam menuju pantai Lesbos.

Para pengungsi dari berbagai negara konflik berkumpul di Turki. Turki menjadi pintu keluar para korban perang di Suriah dan beberapa negara lain yang sedang mengalami konflik karena cukup dekat dan berbatasan langsung dengan negara-negara di Eropa.

Dan dalam waktu yang bersamaan, Turki menjadi pintu masuk bagi para pendukung ISIS, termasuk pendukung ISIS yang berasal dari Indonesia. Para pengungsi dari berbagai negara yang berkumpul di Turki dan menyepakati kesepakatan dengan penyelundup, diceritakan dari beberapa negara yang sama-sama mengalami konflik: Suriah, Afghanistan, Somalia, ketiga negara ini penduduknya mayoritas adalah pemeluk agama Islam, dan negara Eritrea. Eritrea adalah negara yang dinilai Human Rights Index sebagai negara yang indek kebebasan hak asasi manusia-nya paling rendah. Dan juga kebebasan persnya cukup buruk, peringkat kebebasan persnya berada di bawah negara Korea Utara. Scene perkenalan para pengungsi dari berbagai negara konflik ini bagi saya cukup mewakili alasan-alasan untuk pergi dari tanah kelahiran demi mendapatkan harapan hidup yang lebih baik.

Ada sebuah scene yang tiba-tiba membuat imajinasi saya berpetualang membayangkan hijrahnya para Sahabat Nabi dari kota Makkah menuju Madinah. Hijrahnya para Sahabat secara berangsur-angsur dan merelakan segala hal di kota Makkah bukan saja untuk berpindah kota, namun juga mengikuti panutan mereka (Kanjeng Nabi), dan mendapatkan harapan hidup yang lebih baik di komunitas yang dibentuk oleh Kanjeng Nabi.

Scene dimana para pengungsi harus berjalan kaki dari Yunani melintasi bebeberapa negara untuk sampai di Jerman bagi saya cukup dramatis, dengan penambahan beberapa karakter dan kisah alasan mengungsi dari masing-masing karakter.

Begitu juga beberapa scene yang menggambarkan sekelompok orang-orang yang benar-benar mengambil keuntungan dari para pengungsi dan korban konflik di negara masing-masing. Para penyelundup manusia antar negara menjadi salah satu pihak yang diuntungkan dengan menarik biaya yang cukup besar hanya dengan menjual harapan untuk bisa meloloskan para pengungsi di perbatasan antar negara. Tak jarang, bahkan seringnya, mereka tidak benar-benar peduli pada pengungsi, hanya peduli dengan uang saku mereka untuk dimiliki.

Perang di Suriah, acapkali diglorifikasi dengan menggunakan simbol-simbol identitas keagamaan: Sunni – Syiah, tentara Tuhan – tentara setan, dll.

Pada jaman kenabian, Kanjeng Nabi pernah mengutus serombongan pasukan untuk berperang di sekitar daerah Syam. Pada saat itu, alasan utama Kanjeng Nabi mengutus pasukan adalah, adanya ancaman terhadap kafilah-kafilah dagang umat muslim yang cukup serius, sehingga menghambat roda perekonomian warga Madinah (baik Muslim maupun non Muslim), dan mengancam stabilitas komunitas yang dipimpin oleh Kanjeng Nabi. Alasan perang ini bukan sekedar untuk meraih kuasa atau permusuhan antara muslim dan agama lain, tapi benar-benar untuk menyelesaikan konflik.

Berbeda jauh dengan perang yang terjadi di Suriah pada masa sekarang ini yang penuh dengan kepentingan politik dan perebutan kekuasaan, yang kemudian dibalut dengan narasi-narasi keagamaan Islam agar terus mereproduksi kebencian dan semangat untuk berperang – membunuh siapa saja yang ada di pihak yang berseberangan, meskipun sama-sama beragama Islam.

Kisah Yusra Mardini dalam film The Swimmer ini cukup menarik untuk disimak, layak untuk ditonton bagi yang berpikiran terbuka, yang tidak melulu berekspektasi bahwa Arab itu semuanya Islam. FIlm ini juga termasuk direkomendasikan bagi mereka yang masih mendambakan mati syahid di Suriah. Syukur-syukur bisa ditonton bagi mereka yang sedang menjalani proses deradikalisasi di beberapa rumah tahanan di Indonesia.

Perang, apapun itu selalu menyisakan duka. Pun segala doktrin-doktrin kemuliaan setelah kematian, hanya untuk mereka yang gugur. Bagi yang selamat dari perang, trauma dan kesedihan selalu mengiringi dan bagian dari hidup mereka.

Cukup kiranya kisah Yusra Mardini sebagai korban perang di Suriah, dan catatan panjang sejarah pertumpahan darah sesama muslim untuk dipelajari bahwa indentitas keagamaan tidak selayaknya digunakan sebagai kendaraan politik. Event-event politik selayaknya dilewati secara rasional, bukan sekedar emosi keagamaan yang diwujudkan dalam simbol-simbol identitas keagamaan yang membawa kebencian dan kehancuran.

Kontributor

  • Landy T. Abdurrahman

    Asal Purworejo, Jawa Tengah. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir. Sekarang sedang menyelesaikan program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta