Perubahan iklim sangat berpotensi membahayakan ibadah haji pada tahun-tahun mendatang, demikian hipotesis para pemerhati cuaca. Atau setidaknya, dalam waktu dekat, bagian outdoor di sekeliling Ka’bah tidak lagi nyaman untuk dipakai bertawaf.
Bagi kurang lebih 1,8 milyar umat Islam di dunia, atau sekitar seperempat dari populasinya, menunaikan ibadah haji adalah kewajiban yang musti dijalankan sekali seumur hidup bagi yang telah memenuhi syarat. Rukun inti ibadah haji memerlukan sekitar lima hari kegiatan, yang mana 20 hingga 30 jam darinya mengharuskan berada di ruangan terbuka. Atas dasar tersebut, wacana yang berkaitan dengan dampak perubahan cuaca tidak bisa disepelekan begitu saja.
Menurut laporan penelitian di MIT (Massachusetts Institute of Technology) dan di California yang tertuang dalam situs resmi MIT sendiri, pada tahun-tahun mendatang, perubahan iklim, terutama bagi wilayah Arab Saudi akan menapaki peningkatan terdrastisnya. Kondisi panas serta kelembapan di sejumlah wilayah Timur Tengah dapat mengakibatkan bahaya ekstrim bagi kesehatan masyarakatnya maupun para pendatang.
Sebuah makalah dalam jurnal Geophysical Review Letters, seorang profesor teknik sipil serta pakar ekologi di MIT bernama Alfatih Eltahir berikut dua ilmuwan lainnya melaporkan adanya risiko yang perlu diantisipasi bagi jemaah haji tahun-tahun mendatang. Disadari ataupun tidak, pemanasan global mengalami peningkatan cukup drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya, tidak terkecuali di Arab Saudi.
Bulan haji bertepatan dengan musim panas terjadi pada tahun-tahun tertentu, hal ini semata karena memakai penanggalan lunar, bukan hitungan matahari. Setiap tahun musim haji selalu terjadi 11 hari lebih awal bila disesuaikan dengan penanggalan matahari, oleh karenanya bakal ada rentang tahun-tahun tertentu di mana haji berlangsung pada puncak musim panas. Dan saat-saat itulah, menurut Altahir, dapat sangat membahayakan para jemaah.
Jemaah akan mengalami cuaca lebih ganas pada musim haji dari tahun 2047 hingga 2052, dan terulang kembali dari tahun 2079 sampai 2086. Pada kurun tersebut besar kemungkinan akan menjadi musim-musim haji paling membahayakan sepanjang sejarah, oleh karenanya langkah untuk mencegah perubahan iklim layak ditempuh sejak dini. Oleh siapa saja di mana saja.
“Di Saudi Arabia, ketika tengah menginjak musim panas,” ucap Eltahir selaku Profesor Breene M. Kerr di MIT, “Kondisi (cuaca) setempat menjadi ganas, sementara sebagian ritual haji dijalankan di luar ruangan.”
Risiko buruk ini sudah terlihat tanda-tandanya, meski rincian peristiwanya belum tampak jelas. Ada beberapa kejadian pada musim haji yang mengakibatkan tingginya angka kematian selama beberapa dekade terakhir, seperti yang dilaporkan Eltahir. Yaitu pada tahun 1990 yang menewaskan 1.462 orang, kemudian pada 2015 menyebabkan 769 orang tewas dan 934 mengalami luka-luka.
Eltahir mengatakan bahwa kedua tahun tersebut bertepatan dengan puncak suhu terpanas serta kelembapan area haji yang diukur dengan suhu bola basah (wet bulb temperature). Tekanan suhu tinggi inilah yang menurut Eltahir kemungkinan besar telah memainkan perannya menewaskan para jemaah dua tahun tersebut.
“Jika anda berdesak-desakan di sebuah tempat,” ucap Eltahir, “semakin ganas cuaca panas tempat tersebut, maka semakin besar kemungkinan lahirnya sebuah insiden.”
Suhu bola basah, tingkat akurasinya diukur dengan menempelkan kain basah ke bola lampu termometer, hal ini dapat dijadikan indikator langsung seberapa efektif keringat seseorang dapat mendinginkan tubuh. Semakin meningkat kelembapan, semakin rendah suhu yang dapat memicu gangguan kesehatan. Pada suhu di atas suhu bola basah sekitar 77 derajat Fahrenheit, maka tubuh tidak dapat lagi mendinginkan dirinya sendiri secara efisien, pada titik inilah suhu secara sah dikategorikan sebagai “bahaya” oleh Badan Layanan Cuaca Nasional AS. Adapaun ketika suhu sampai pada angka 85 F, statusnya disebut sebagai “bahaya ekstrim”, di mana serangan panas dapat lebih mudah merusak otak, jantung, ginjal, serta otot-otot, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Perubahan iklim secara signifikan menambah jumlah hari bagi musim panas, suhu bola basah di dua kota suci akan dapat melebihi batas “bahaya ekstrim”. Bahkan, meski langkah-langkah umum mitigasi secara rapi diterapkan, Eltahir mengatakan, “Masih akan parah. Masih akan ada masalah, hanya saja yang akan terjadi tidak seburuk tanpa adanya langkah-langkah itu.”
Sebagai salah satu rukun Islam, haji merupakan ritual yang sangat penting bagi setiap muslim. Eltahir menekankan para pemangku kebijakan khususnya di Arab Saudi untuk mempersiapkan segalanya demi menghadapi situasi yang berpotensi mengancam ini. Berbagai tindakan telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk instalasi nozel yang memberikan kabut air di beberapa lokasi outdoor untuk menghadirkan suasana adem bagi jemaah, juga pelebaran di beberapa titik untuk mengurangi kepadatan.
Untuk tahun-tahun mendatang yang teramat mencemaskan, Eltahir bahkan mengasumsikan perlu adanya pengurangan jumlah kuota jemaah haji. Hasil penelitian ini, kata Eltahir, “Seharusnya mampu (menjadi bahan) guna membantu penyusunan langkah-langkah dalam menetapkan kebijakan, termasuk kebijakan mitigasi perubahan iklim berikut rencana-rencana dalam beradaptasi.”
Tokoh terdepan dalam riset ilmiah ini antara lain Suchul Kang, seorang peneliti post-doktoral MIT; juga Jeremy Pal, seorang profesor teknik sipil dan ilmu lingkungan di Loyola Marymount University di Los Angeles. Penelitian ini memperoleh dukungan sepenuhnya dari MIT Environmental Solutions Initiative.
Liputan lebih lengkap MIT terkait penelitian di atas, klik di sini.