Positivisme berasal dari kata “positif”. Positif yang dimaksud adalah semua hal yang berdasarkan fakta dan dapat ditangkap melalui indra. Dengan demikian kata “positif” selaras dengan kata faktual. Positivisme sendiri merupakan salah satu aliran filsafat ilmu yang lahir pada abad ke-19 M dimotori oleh sosiolog Auguste Comte. Menurut kaum positivisme pengetahuan manusia tidak boleh melebihi fakta-fakta yang dapat ditangkap oleh indra. Ini merupakan konsep dasar untuk membangun klaim mereka bahwa pengetahuan yang dianggap ilmiah dan paling benar adalah pengetahuan yang mampu dibuktikan dengan data empirik.
Bagi kaum positivisme kebenaran pengetahuan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: teramati (observable), terulang (repeatable), terukur (measurable), teruji (testable) dan meramalkan (predictable). Dalam langkah observasi yang diajukan kaum positivis tersebut terdapat dominasi yang sering kali dianggap paling logis dalam perkembangan ilmu lebih lanjut. Dari pandangan yang dianggap paling logis inilah kemudian muncul aliran baru yang dikenal dengan “Positivisme Logis. Aliran ini merupakan perkumpulan yang terlingkup dalam kumpulan pemikir yang juga dikenal sebagai “Lingkaran Wina”. Kaum positivis logis terdiri dari para ahli filsafat dan saintis yang mempunyai kecenderungan anti terhadap metafisika, etika, estetika, yang dianggapnya sebagai spekulatif.
Lingkaran Wina yang meneguhkan dirinya sebagai salah satu aliran filsafat ilmu pada perkebangannya berjalan memfokuskan diri untuk mencari demarkasi (garis pembatas) antara pernyataan bermakna (meaningfull) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless) dengan sebuah landasan yang mereka sebut dengan istilah verifikasi. Artinya, jika suatu pernyataan dapat diverifikasi maka pernyataan tersebut dianggap bermakna. Sebaliknya, jika suatu pernyataan tidak bisa diverifikasi maka tidak disebut bermakna.
Dengan prinsip verifikasi ini mereka menegaskan bahwa proposisi (pernyataan) yang dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi melalui pengamatan (observasi) adalah proposisi bermakna. Selanjtunya, proposisi yang bermakna inilah yang bisa dibuktikan dengan data empirik, dan bisa dikatakan sebagai pengetahuan yang benar -menurut mereka. Pada tahap selanjutnya, kaum positivis logis menjadikan garis demarkasi yang dilandasi prinsip verifikasi sebagai embrio untuk membuat dikotomi antara pengetahuan yang dianggap ilmiah (science) dan pengetahuan yang dianggap tidak ilmiah (pseudo-science).
Dengan pola prinsip verifikasi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang etika, estetika, teologi, semantik, elokasi, dan segala hal yang tidak bisa ditangkap indra masuk ke dalam kategori pengetahuan nonilmiah, karena tidak mampu dibuktikan dengan data empirik. Sedangkan pengetahuan seperti fisika, kimia, astronomi, dan segala hal yang dapat dibuktikan dengan data empirik dan logika induktif masuk ke dalam kategori pengetahuan ilmiah. Dengan kata lain, pengetahuan bisa dianggap benar dan dikatakan ilmiah jika memenuhi salah satu unsur yang disebut “objektif”. Dengan hadirnya sifat objektivisme juga maka kebenaran-kebenaran pengetahuan yang bersumber dari tradisi, mitos dan agama akan terabaikan.
Setidaknya seperti itulah positivisme logis berhasil membuat manusia modern terpukau dengan istilah ‘kebenaran ilmiah’ yang ‘objektif. Doktrin “objektifisme pengetahuan” dan “kebenaran ilmiah” yang telah menyihir manusia modern inilah yang menjadi domain ilmu pengetahuan di mata mayoritas manusia modern dari Barat hingga Timur. Yang sangat disayangkan adalah masyarakat muslim yang sebenarnya memiliki fondasi epistemologi pengetahuan sendiri ikut terpapar oleh doktrin positivisme logis.
Fenomena Guru Gembul yang mengharamkan akidah untuk diilmiahkan adalah salah satu bukti paparan postivisme yang meracuni paradigma muslim modern. Fenomena ini jelas menunjukkan minimnya pengetahuan kita tentang khazanah intelektual Islam milik kita sendiri, dan di saat yang sama kita tidak mampu membaca dinamika Filsafat Barat yang selalu mengalami perkembangan. Artinya, masyarakat muslim belum siap menghadapi tantangan kemajuan zaman hingga ke akarnya. Kita -sebagai umat Islam- ternyata lebih nyaman dengan mengikuti arus utama yang muncul di permukaan.
Tulisan ini hanya ingin menghadirkan kritik epistemik dari sudut pandang Barat untuk menunjukkan bahwa anggapan yang dipegang tentang standar “ilmiah” selama ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Bagi orang-orang seperti Guru Gembul dan yang terpapar doktrin positivisme logis “ilmiah” hanya berada pada jangkauan indrawi saja. Namun, bukan hanya tradisi intelektual Islam yang keberatan dengan gagasan tersebut, tidak sedikit filsuf Barat pascapositivisme yang menentang gagasan ini.
Gugatan filsuf dan teolog Barat atas postivisme logis
Karl Raimund Popper (1902-1994) adalah orang pertama yang mengajukan kritik terhadap positivisme. Popper adalah seorang pemikir Jerman yang juga aktif dalam Lingkaran Wina. Meski bagian dari Lingkaran Wina, Popper menolak prinsip verifkasi (pembuktian teori lewat fakta-fakta) yang dilembagakan Lingkaran Wina sebagai garis demarkasi antara pengetahuan ilmiah dan nonilmiah. Sebagai gantinya, Popper menyodorkan prinsip falsifikasi. Falsifikasi sendiri adalah cara pandang terahdap sesuatu dari sisi kesalahan, jika terdapat satu kesalahan yang ditemukan dalam sebuah teori maka setiap upaya untuk membenarkannya sia-sia karena dari awal sudah terlihat salah.
Oleh karena itu, bagi Popper, daripada menghabiskan waktu untuk mengumpulkan angsa berwarna putih lebih baik mencari satu angsa berwarna hitam guna memfalsifikasi kebenaran proposisi “seluruh angsa berwarna putih”. Di sini Popper ingin menunjukkan bahwa para ilmuan terkadang, bahkan seringkali, fokus dengan fakta-fakta yang mendukung klaim ilmiahnya, tanpa disadari hal itu dapat mengabaikan fakta anomali (fakta yang membuktikan sebaliknya). Fakta anomali sangat penting untuk dipertimbangkan guna menguji validitas klaim ilmiah seorang ilmuwan.
Di era modern ini, ilmu pengetahuan masih bergelut seputar generalisasi abstrak yang benar –selama terdapat keselarasan dengan fakta indrawi. Namun, menurut Popper, sebenarnya kita tidak pernah bisa memastikan secara logis bahwa kita telah mencapai kebenaran, yang ada hanya semakin mendekati kepastian lewat pengguguran teori-teori yang terbukti salah. Oleh karena itu, Popper menggunakan istilah ‘verisimilitude’ (mendekati kebenaran) untuk menggantikan istilah korespondensi (kebenaran akurat.) dalam teori kebenaran ilmiah.
Dalam anggapan Popper suatu teori akan diterima bila sudah mampu meruntuhkan teori sebelumnya. Ilmu pengetahuan berkembang dan maju bukan melalui proses akumulasi, tetapi melalui proses eliminasi yang ketat terhadap potensi kesalahan dan kekeliruan. Uji kekuatan teori harus dilakukan melalui tes kesalahan, bukan tes kebenaran. Jika suatu teori terbukti salah maka teori tersebut dinyatakan invalid, sebaliknya jika teori tersebut mampu bertahan dan lolos dari gempuran fakta anomali maka teori tersebut dinyatakan valid.
Menurut Popper, perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui logika penemuan yang didasarkan pada metodologi yang ketat. Ide baru bisa saja muncul dalam bentuk kilatan intuisi atau refeksi religius. Dalam analisis histori Popper observasi tidak pernah mendahului teori seperti apa yang diyakini positivsme logis karena semua observasi adalah muatan teori dan interpretasi dari fakta-fakta yang ada.
Gugatan Popper pada masa selanjutnya diteruskan oleh Paul Feyerabend (1924-1994). Bagi Feyerabend, tidak ada teori yang sepenuhnya konsisten dengan fakta, dan tidak ada rasionalitas yang terlepas dari konteks. Feyerabend memberi contoh kasus tergesernya teori geosentrik (bumi sebagai pusat tata surya) oleh teori heliosentrik (matahari sebagai pusat tata surya). Feyerabend mensinyalir bahwa penemuan teori heliosentris berlangsung tanpa suatu metode yang ketat (tidak memenuhi standar ilmiah versi positivisme logis). Bagi Feyerabend, kesuksesan Copernicus (tokoh yang mempopulerkan heliosentris) justru diperoleh dengan melanggar spektrum metodologis yang rasional. Sebab, semua pengalaman indrawi -pada masa itu- menunjukkan bahwa bumi tidak bergerak, sebaliknya yang terlihat bergerak oleh mata indrawi adalah semua benda-benda langit mengitari bumi.
Dari kasus historis tersebut, Feyerabend keberatan terhadap pandangan para ilmuwan yang menetapkan satu metode baku dalam dunia ilmiah, seperti standar ilmiah yang ditetapkan positivisme logis. Sebagai gantinya, Feyerabend mengajukan tiga prinsip, yaitu: kontra induksi, pengembangbiakan (proliferation) dan apa saja boleh (anything goes). Dua prinsip terkahir (pengembang biakan dan apa saja boleh) secara garis besar ingin memosisikan semua ide, gagasan, dan metode untuk berkembang secara independen, bejalan dengan sendirinya, tanpa ada dominasi, atau menjadi otoritas ilmiah. Dengan prinsip ini, bagi Fereyabend, metode yang ‘irasional’ juga terkadang dibutuhkan, karena berdasarkan analisis sejarah, Feyerabend menemukan bukti-bukti bahwa ilmu pengetahuan justru berkembang di ruang yang bebas, bukan dengan memagarinya melalui peraturan tunggal.
Dengan demikian, pada dasarnya Fereyabend ingin menyajikan gagasan pluralisme metode. Ini merupakan langkah untuk menyelamatkan pengetahuan agar tidak masuk ke dalam jurang mitos. Gagasan Fereyabend memang sangat radikal karena terlihat menggoyahkan otoritas keilmuan yang sudah dibangun sejak era Aristoteles. Namun demikian, prinsip “apa saja boleh” bukan berarti kebebasan liar tanpa batas. Harus tetap ada yang mengawal prinsip tersebut agar tidak membuka pintu seperti mitologi untuk masuk ke dalam dunia ilmiah. Fereyabend hanya ingin memulihkan wewenang pengetahuan-pengetahuan nonilmiah versi positivisme logis -yang selama ini dimarginalkan- untuk mendapatkan kembali hak menyuarakan kebenaran dalam ruang diskusi ilmiah.
Gugatan juga muncul dari teolog dan filsuf ilmu yang bernama Alvin Plantinga. Di dalam bukunya God and Other Minds, Plantinga mengajukan beberapa gugatan mendasar terhadap klaim positivisme logis dengan beberapa gagasan:
- Kritik terhadap prinsip verifikasi
Plantinga menentang prinsip ini dengan menunjukkan bahwa banyak keyakinan sehari-hari kita tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetapi tetap dianggap rasional. Seperti keyakinan bahwa “orang lain memiliki pikiran dan kesadaran. Keberadaan pikiran orang lain adalah keyakinan yang masuk akal, meskipun kita tidak bisa “melihat” pikiran orang tersebut dengan kasat mata (bukti empiris). Demikian juga kepercayaan pada Tuhan. Dia dapat menjadi rasional meskipun tidak didukung oleh bukti empiris secara langsung.
- Pembelaan terhadap keyakinan dasar
Plantinga menyuarakan ide bahwa beberapa keyakinan kita adalah basic beliefs (keyakinan dasar), yaitu “keyakinan yang tidak memerlukan justifikasi dalam bentuk bukti empiris untuk dianggap rasional. Ia menekankan bahwa keyakinan dasar ini, seperti kepercayaan pada dunia luar atau kepercayaan pada keberadaan orang lain, tidak didasarkan pada bukti empiris, tetapi diterima sebagai hal yang wajar. Bagi Plantinga, kepercayaan kepada Tuhan tidak perlu tunduk dengan kriteria ilmiah (harus dibuktikan secara empiris) versi positivisme logis. Sebab keyakinan tersebut bersifat fundamental (basic) dalam kehidupan manusia.
- Penolakan atas evidentialism
Evidentialism adalah pandangan bahwa suatu keyakinan hanya rasional jika didukung oleh bukti yang cukup. Positivisme logis sangat mendukung bentuk ekstrem dari evidentialism ini, mereka menuntut verifikasi empiris untuk setiap klaim yang dianggap bermakna atau rasional. Plantinga menolak pandangan ini, karena menurutnya ada banyak aspek kepercayaan manusia bersifat “intuitif” tanpa bukti empiris. Keyakinan kepada Tuhan termasuk dalam kategori ini, sehingga menuntut bukti empiris untuk keyakinan religius adalah tuntutan yang tidak wajar dan tidak realistis.
- Keberatan terhadap reduksi positivisme logis
Positivisme logis cenderung mereduksi segala bentuk pengetahuan menjadi pengetahuan yang dapat diverifikasi secara empiris. Namun, Plantinga mengkritik pandangan ini karena terlalu menyederhanakan cara manusia membangun keyakinan dan pengetahuan. Ada banyak bentuk pengetahuan valid yang tidak dapat diukur atau diverifikasi dengan kriteria ilmiah versi positivisme logis. Salah satunya adalah pengetahuan tentang Tuhan, kebaeradaan akal seseorang, dan pengalaman religius, ia tidak dapat direduksi menjadi sesuatu yang bisa diukur atau diverifikasi dengan data empirik. Meski begitu, pengetahuan tersebut tetap menjadi pengetahuan yang bermakna dan relevan.
Secara umum, Platinga ingin menunjukkan bahwa klaim positivisme logis tentang pembatasan ilmiah pada wilayah empirik adalah klaim yang cacat. Selain mengajukan kerja pengetahuan yang sempit positivisme logis juga tidak realistis, karena tidak mampu menjelaskan kompleksitas pengalaman manusia yang melibatkan sisi intuitif yang bersumber dari wahyu atau ilham.
Dari paparan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah ide bersama, bukan ide satu orang atau satu kelompok saja. Kebenaran mutlak juga tidak bisa direduksi oleh segelintir kelompok tertentu. Sebab, manusia biasa pastinya berpotensi salah dan berpotensi benar. Sehingga, selama pengetahuan itu memiliki sumber dan metode pengambilan yang bisa dipertanggung jawabkan, maka pengetahuan tersebut layak mendapatkan ruang di dalam dunia ilmiah.
Daftar pustaka:
Adian, Donny Gahral. Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume sampai Tomas Kuhn. Jakarta: Teraju, 2002.
Lubis, Akhyar Yusuf. Paul Feyerabend Penggagas Antimetode. Bandung: Teraju, 2003.
Suhartono, Martin. “Karl R. Popper: Belajar dari Kesalahan” dalam Sastrapatedja, M. (ed.). Manusia Multi Dimensional Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1982.
Plantinga, Alvin Carl, God And Other Minds; A Study of the Rational Justification of Belief in God, London: Cornell University Press, 1967.
Shea, Brendan, artikel dalam judul “Karl Popper: Philosophy of Science, dipublikasi oleh Internet Enciclopedia of Philosopy: https://iep.utm.edu/pop-sci/.