Manusia tidak lepas dari kebutuhan biologis, makanya disyariatkan menikah. Agar supaya kenikmatan ini berbuah pahala, bukan dosa. Karena saking butuhnya pada hubungan intim, Imam Ghazali menyitirkan suatu pendapat ulama yang menganalogikan hubungan badan dengan makan.
Dalam Ihya’ Ulumiddin, Imam Ghazali menulis:
وكان الجنيد يقول أحتاج إلى الجماع كما أحتاج إلى القوت
Imam Al-Junaid berkata; aku butuh hubungan badan sebagaimana aku butuh pada makan. (Ihya’ ulum al-Din, PDF Juz 2 Hal. 29)
Karena saking butuhnya seseorang menyalurkan keinginannya, terkadang mereka sampai menyewa perempuan. Pihak perempuan pun, terpaksa menjadi pekerja seks komersial. Sudah maklum bahwa memberikan jalan orang untuk berbuat maksiat adalah suatu kemaksiatan, lalu bagaimana dengan implikasi transaksi tersebut?
Empat mazhab menjadi 2 kubu dalam permasalahan ini, Syekh Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan:
الحنفية – قالوا: إذا استأجر الرجل امرأة للزنا – قبلت، ووطئها، فلا يقام الحد عليهما ويعزران بما يرى الإمام، وعليهما إثم الزنا يوم القيامة. لما روي أن امرأة طلبت من راعي غنم في الصحراء أن يسقيها، لبناً – فأبى أن يعطيها اللبن حتى تمكنه من نفسها، ونظراً لضرورتها وحاجتها إلى الطعام قبلت المرأة. ووطئها الراعي – ثم رفع الأمر إلى سيدنا عمر بن الخطاب رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فدرأ الحد عنهما وقال: ذلك مهرها، وعد هذا استئجار لها. ولأن الإجارة تمليك المنافع، فأوردت شبهة عندهما… إلى أن قال… الصاحبان قالا: يجب إقامة الحد عليهما. لأن منافع البضع لا تملك بالإجارة فأصبح وجود الإجازة، وعدمها سواء، فلا تعد شبهة تدرأ الحد عنهما. وصار الرجل كأنه وطأها، من غير شرط، وذلك الرأي هو الراجح المعمول به في المذاهب.
Menurut golongan Hanafiyyah, ketika ada seorang laki-laki menyewa perempuan untuk disetubuhi, lalu pihak perempuan menerimanya, maka keduanya tidak dihad (sanksi zina). Hanya saja keduanya diasingkan (baca; diusir), sesuai dengan apa yang dititahkan imam. Keduanya pun mendapat dosa atas perbuatannya. Pendapat ini berlandaskan pada kejadian seorang wanita yang meminta air kepada laki-laki penggembala di suatu pekarangan, ia pun memberikannya dengan syarat mau disetubuhi. Karena dalam keadaan terdesak butuh untuk minum dan makan, perempuan tersebut pun menyetujuinya. Kemudian kasus ini dibawa ke Sayyidina Umar bin Khattab, ternyata beliau enggan untuk mensanksi keduanya. Hanya saja beliau menetapkan mahar bagi laki-laki tersebut untuk dibayarkan kepada pihak wanita, sebab transaksi sewa ini memberikan efek syubhat bagi keduanya.
Hanya saja ada dua Ashab Hanafiyyah mengatakan bahwa keduanya wajib dihad, sebab manfaatnya alat kelamin tidak bisa didapat dengan transaksi ijarah atau sewa-menyewa (melainkan dengan nikah). Sehingga syubhat ini tidak bisa menjadikan pengurungan had bagi keduanya, pendapat ini rajih. Dan pendapat inilah yang dijadikan pedoman dalam mazhab ini.
Selain dari mazhab ini, sikap mereka diungkapkan dalam redaksi berikut:
المالكية، والشافعية، والحنابلة – قالوا: يقام الحد عليهما، ولا يصير الاستئجار شبهة تدرأ الحد عنهما، لأن حد الإجارة لا يستباح به الفرج شرعاً، وعرفاً، فصار كما لو استأجرها، للطبخ ونحوه من الأعمال، ثم زنا بها، فإنه يقام عليه الحد في هذه الحال. من غير خلاف من أحد من العلماء.
Mazhab Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah menyatakan bahwasanya kedua pihak tadi tetap dihad. Transaksi sewa yang terjadi di antara keduanya tidak menjadikan adanya syubhat, sebab transaksi ini tidak bisa memberikan kebolehan untuk memanfaatkan farji secara syara’ dan urf. Maka dalam kasus ini, keduanya dihad, ulama pun tiada yang khilaf dalam permasalahan ini.
Hanya saja, implikasinya berbeda dengan zaman sekarang. Namun keduanya tetap disanksi sesuai dengan aturan yang berlaku, maka dari itu jauhilah perbuatan ini. Boleh jadi sanksinya tidak anda terima, namun anda sudah pasti berdosa.
Keterangan ini disarikan dari karyanya Abdurrahman Al-Jaziri yang berjudul al-fikih ala madzahib al-Arba’ah, PDF Juz 5 hal. 88-89