Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Santri dan literasi: Keniscayaan yang sukar ditampik

Avatar photo
24
×

Santri dan literasi: Keniscayaan yang sukar ditampik

Share this article

Tak bisa dipungkiri kemajuan zaman yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan arus informasi cukup pesat memberikan pengaruh dan dampak signifikan dalam kehidupan umat manusia–baik di bidang perpolitikan, ekonomi, pendidikan hingga sosial keagamaan pun tidak luput.

Di satu sisi, kemajuan ini memberi akses informasi secara leluasa kepada masyarakat misalnya, informasi keagamaan. Namun di sisi lain, informasi-informasi berbau hoaks, ujaran kebencian, narasi memecah belah, dll. juga menghiasinya.

Hidup di era ini memaksa seluruh elemen yang ada bertransformasi sesuai tuntutan zaman, tidak terkecuali pesantren agar eksistensinya tetap bisa dirasakan di tengah-tengah masyarakat. Alih-alih menyuguhkan segala kemudahan, justru ketegangan, kekhawatiran, dan kegelisahanlah yang seringkali timbul di tengah kehidupan masyarakat.

Mengutip Gus Nadir–sapaan akrab KH Nadirsyah Hosen–seorang akademisi sekaligus Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-New Zealand, kebutuhan akan petunjuk-petunjuk keagamaan (fatwa) di tengah kehidupan masyarakat modern banyak dilakukan secara virtual dimana interaksi ini mereduksi relasi interpersonal keagamaan.

Ironi ini tidak sekadar menjangkiti masyarakat urban (perkotaan), melainkan tengah merambah pada kehidupan pelosok-pedesaan. Akibatnya, seakan mereka tidak lagi memerlukan guru untuk belajar ilmu pengetahuan  terutama keagamaan. Dengan cukup memainkan jari telunjuk (membukan kitab google), segudang ilmu pengetahuan dapat dengan mudah diakses dan dipelajari seseorang.

Walau begitu, produk pengetahuan yang diperoleh melalui kitab google (tanpa guru) tak jarang menjerumuskan pada hal-hal atau perilaku-perilaku negatif. Ada sekian banyak orang yang telah terbukti melakukan hal-hal negatif tersebut seperti; aksi teror, berperilaku intoleran hingga dengan penuh percaya diri meledakkan diri sendiri (bom bunuh diri) dikarenakan belajar ilmu keagamaan pada kiai google.

Saya sependapat dengan pernyataan KH. Ahmad Bahauddin Nursalim yang akrab disapa Gus Baha, bahwa dalam memahami ilmu agama, sanad (transmisi keilmuan) amatlah penting bagi siapa pun yang hendak mendalaminya. Andaikan tidak ada sanad dalam belajar maka bisa dipastikan orang akan berpikir tentang agama sesuai maunya atau hawa nafsunya. Sungguh sangat berbahaya.

Di tengah kondisi yang semakin hari kian mengkhawatirkan peran dan keterlibatan seorang santri dalam dinamika kehidupan ini sangat diperlukan. Tentu untuk mengedukasi masyarakat, khususnya di bidang ilmu keagamaan. Mengapa harus santri? Selain keilmuan yang dimiliki bersanad, juga latar belakang pendidikannya, pesantren. Yakni suatu lembaga sejak awal berdiri memfokuskan kajiannya pada ilmu-ilmu keislaman, khususnya karya-karya ulama klasik (kitab kuning).

Dalam proses pembelajarannya, pesantren lebih mengedepankan sikap demokratis, egaliter, toleran, dan moderat ketimbang memonopoli pengetahuan yang dapat berimplikasi pada lahirnya taklid buta, klaim kebenaran tunggal, berpikiran eksklusif, dll. Tak pelak, jika santri dan para alumnus pesantren memiliki cara berpikir atau cara pandang inklusif–namun tetap tegas pada kemungkaran–dalam menyikapi segala persoalan yang ada.

Kembali ke peran santri, salah satu instrumen yang bisa digunakan untuk mengedukasi masyarakat tentang ilmu keagamaan adalah melalui literasi (dalam hal ini tulis-menulis)–tanpa menafikan peran lainnya. Bahkan, penguasaan akan literasi bagi santri merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa ditampik. Mengingat, kehidupan masyarakat Indonesia–baik orang dewasa, remaja, tua hingga anak dibawa umur pun–nyaris dihabiskan untuk berselancar di dunia maya ketimbang dunia nyata.

Tidak menutup kemungkinan, jika mereka akan mengakses konten-konten keagamaan yang tak jarang narasi-narasinya bernuansa memecah belah, intoleran, dan sebagainya dengan dalih untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang ilmu agama. Maka, sudah waktunya seorang santri keluar dari tempat ‘pertapaannya’ dan tampil di ruang publik. Tentu melalui tulisan-tulisan keagamaan berperspektif toleran, moderat, dan inklusif sebagaimana diajarkan di pesantren.

Keterlibatan santri dalam dinamika kehidupan melalui literasi tulis-menulisnya di ruang publik, selain menjadi sarana dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, juga sebagai counter atau kontra-narasi di tengah maraknya paham-paham keagamaan bernuansa radikal, ekstrem, memecahbelah dan lain-lain yang telah banyak menghiasi dunia virtual bahkan dunia nyata kita belakangan ini.

Ala kulli hal, saya husnuzan bangsa ini ke depan akan menjadi bangsa yang tangguh dan bermartabat. Sehingga, cita-cita para pendiri dan pejuang bangsa Indonesia–kesatuan dan persatuan NKRI–tak sekadar menjadi bualan, jargon, dan mimpi belaka. Namun, benar-benar terwujud dalam kehidupan masyarakat Indonesia tanpa memandang identitas primordial masing-masing mereka. Wallahu a’lam.

Kontributor

  • Saidun Fiddaraini

    Alumnus Ma'had Aly PP Nurul Jadid, Paiton, kini mengajar di PP Zainul Huda, Arjasa Sumenep. Juga penikmat kajian keislaman dan filsafat.