Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Santri dan pemajuan kebudayaan

Avatar photo
33
×

Santri dan pemajuan kebudayaan

Share this article

Per 2017 lalu, di Indonesia berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang biasa disebut UU Pemajuan Kebudayaan. Di dalamnya, dinyatakan bahwa pemajuan kebudayaan merupakan “upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan.” Sasaran utama pemajuan kebudayaan disebut sebagai objek pemajuan kebudayaan; yang terdiri atas tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.

Sejumlah pasal dan ayat dari UU Pemajuan Kebudayaan menyatakan bahwa masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan dalam upaya-upaya pemajuan kebudayaan, yaitu dalam aspek pelindungan dan pengembangan. Peran masyarakat dalam pelindungan objek pemajuan kebudayaan yaitu dalam hal pencatatan dan pendokumentasian objek pemajuan kebudayaan; pemutakhiran data objek pemajuan kebudayaan; pengamanan objek pemajuan kebudayaan; pemeliharaan objek pemajuan kebudayaan; penyelamatan objek pemajuan kebudayaan; dan publikasi terhadap informasi yang berkaitan dengan inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, dan penyelamatan objek pemajuan kebudayaan. Adapun peran masyarakat dalam pengembangan objek pemajuan kebudayaan dapat ditempuh melalui kegiatan penyebarluasan, pengkajian, dan pengayaan keberagaman.

Sebagai salah satu elemen masyarakat, kaum santri—terutama yang menuntut ilmu di pesantren salafiyah atau tradisional—juga tidak lepas dari kebudayaan. Bahkan, mereka sudah akrab dengan beberapa objek pemajuan kebudayaan.

Pertama, dalam bidang tradisi lisan, di kalangan para santri biasanya beredar sejarah lisan tentang para ulama atau pesantren-pesantren di masa lalu; dari kisah-kisah yang berkaitan dengan para wali hingga riwayat hidup para guru dari kyai-kyai mereka. Adapula tradisi lisan berupa dongeng-dongeng yang berkaitan dengan kehidupan pesantren, yang biasanya mengandung pesan-pesan moral.

Kedua, dalam hal manuskrip, sejumlah pesantren menyimpan manuskrip yang merupakan karya para pendirinya atau karya para ulama pendahulu mereka. Para santri melestarikan manuskrip tersebut dengan cara mempelajarinya. Bahkan, ada santri yang mempelajari manuskrip beraksara Jawa, bukan hanya aksara Arab atau Arab pegon.

Ketiga, dalam hal ritus, para santri merupakan elemen penting dalam pelaksanaan ritus di masyakarat, terutama ritus-ritus yang melibatkan pembacaan ayat suci Al-Quran, doa-doa, maupun maulid Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh, jika ada warga yang menyelenggarakan suatu ritus—misalnya dalam rangka memperingati empat bulan atau tujuh bulan kehamilan seseorang—maka para santri biasanya turut mendampingi kyai atau ustaz mereka yang diundang ke acara dimaksud; baik sebagai pembaca ayat suci, doa, maupun maulid. Jika tiba saatnya, seorang santri akan menjadi kyai atau ustaz yang diundang untuk mengisi acara di ritus-ritus tertentu.

Keempat, dalam bidang seni, sebagian santri dapat dikatakan sebagai pelaku kesenian. Jenis kesenian yang biasa dilakoni para santri misalnya seni tarik suara dan musik, yang bermanfaat dalam kesenian hadrah atau kasidah. Selain itu, ada juga santri yang menekuni seni rupa, seperti kaligrafi dan melukis. Tidak jarang, keterampilan para santri dalam berkesenian menjadi mata pencaharian setelah mereka menyelesaikan pendidikan di pesantren.

Kelima, dalam bidang bahasa, para santri yang belajar di pesantren yang masih mempraktikkan tradisi ngalogat­—metode penerjemahan kitab kuning ke dalam bahasa lokal—merupakan bagian dari para penjaga bahasa daerah, setidaknya Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda. Hal tersebut karena dengan menggunakan metode ngalogat, para santri mau tidak mau harus menguasai bahasa daerah yang menjadi pengantar pembelajaran kitab kuning di suatu pesantren.

Keenam, dalam bidang olahraga tradisional, banyak santri merupakan murid dari suatu perguruan atau aliran pencak silat tertentu. Contoh pencak silat yang digeluti para santri yaitu Pagar Nusa, yang biasanya ada di pesantren yang berafiliasi kepada NU.

Enam contoh tersebut memberikan gambaran bagaimana santri sudah bergelut dengan objek pemajuan kebudayaan. Lebih jauh lagi, bisa jadi sebetulnya para santri sudah berperan dalam pemajuan kebudayaan. Ke depannya, para santri diharapkan dapat lebih memperkuat peran mereka dalam pemajuan kebudayaan, baik itu dalam aspek pelindungan maupun pengembangan.

Dengan melihat eksistensi objek pemajuan kebudayaan dalam dunia santri serta kemungkinan peran mereka dalam pemajuan kebudayaan, sudah selayaknya pengampu kebijakan kebudayaan di tingkat pusat—yaitu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi—dan tingkat daerah—dinas kebudayaan provinsi maupun kabupaten/kota—memberi perhatian lebih kepada para santri dan pesantren.

Kontributor

  • Herman Hendrik

    Sarjana S1 Antropologi UI, S2 Kajian Kebijakan UNPAD-GRIPS. Peneliti pada Pusat Riset Agama dan Kepercayaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Meminati penelitian pesantren, tarekat dan tasawuf.