Dalam berpuasa, manusia terbagi
menjadi tiga macam. Pertama,
mereka yang merugikan dirinya sendiri. Perutnya menahan lapar dan haus, tapi
matanya tidak ditahan dari pandangan haram, lisannya tidak dijaga dari
berbohong dan ghibah. Golongan ini, ganjarannya hanya lapar dan haus.
Kedua, mereka yang menjaga diri. Tidak
hanya perut yang lapar dan tenggorokan yang haus, anggota badan mereka juga
ikut berpuasa dari kegiatan yang membuat Tuhan murka.
Ketiga, mereka yang berlomba dalam
memperindah puasanya. Golongan ini adalah para manusia yang sudah ke derajat
al-ihsan. Beribadah dengan ibadah yang sebenarnya, dan diri mereka merasa
setiap saat selalu dipantau oleh Allah.
Puasa golongan
terakhir ini, tidak hanya
sebatas menahan perut, dan menjaga anggota badan dari hal yang dimurkai Tuhan,
tapi hati mereka juga terjaga dari kebencian, bersih dari dendam dan penuh
dengan ketentraman.
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ
عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ
بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan
kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara
mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula)
yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” (QS. Fathir [35]: 32)
Berada di golongan mana kita pada Ramadhan kali ini?
Di balik itu semua, kesalahan terbesar
dan penyesalan yang sesungguhnya adalah setelah Ramadhan ini berlalu dengan segala
kemudahan ibadah yang Allah berikan, khatam al-Quran berkali-kali, shalat tarawih,
sedekah, menangis dalam berdoa, diri kita kembali seperti semula sebagaimana
sebelum Ramadhan datang.
Kemunduran ini menunjukkan hati yang
belum hidup seutuhnya, cahaya al-Quran
belum meresap hingga celah yang terdalam, jiwa juga belum merasakan manisnya
ibadah dan munajat.
Ibnu Athoillah dalam Al-Hikam
berkata:
من وجد ثمرة عمله عاجلا فهو دليل على وجود القبول آجلا
“Barang
siapa mendapati hasil amal shalehnya di dunia, maka itu merupakan sebuah tanda
bahwa amalnya diterima di akhirat.”
Ibnu Ajibah mengomentari kalimat di atas dengan berkata:
“Buah
hasil dari amal shaleh adalah ada candu dalam ibadah, nikmat dalam bermunajat,
dan keadaan hati yang merasa terus diawasi oleh Tuhan (muraqabah).
“Dan
tanda adanya hasil ini adalah rasa semangat yang tinggi dalam beribadah, dan
berusaha agar terus konsisten dalam menjalankannya.”
Imam Al-Bushiri dalam Qasidah
Al-Hamziyah berkata:
وإذا حلّت الهداية قلبا *** نشطت
للعبادة الأعضاء
Jika hidayah sudah masuk ke dalam relung hati
Maka
anggota badan akan semangat beribadah
Kemunduran yang ada setelah Ramadhan, patut membuat curiga amal ibadah
kita pada Ramadhan, apakah ia layak diterima di hadapan sang Maha Raja, atau
akan dibuang begitu saja.
Jangan sampai—semoga Allah melindungi
kita dari hal tersebut—masuk kepada golongan yang mendapati Ramadhan namun
belum juga diampuni dosanya, sebagaimana yang telah disabdakan Nabi Muhammad saw.
Oleh karena itu, beberapa hari pada
bulan Ramadhan yang tersisa ini, setidaknya kita akhiri dengan ibadah yang
terbaik, dan berdoa agar amal puasa kita diterima oleh Allah.
Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitab Lathaif
Al-Ma’arif hal 323 berkata:
بعض السلف كانوا يدعون الله ستة أشهر أن يبلغهم شهر رمضان ثم
يدعون الله ستة أشهر أن يتقبله منهم
Sebagian salaf itu berdoa kepada Allah
selama 6 bulan lamanya agar mereka diberikan kesempatan untuk sampai ke bulan
Ramadhan. Setelah mereka
merasakan bulan Ramadhan, mereka berdoa kepada Allah selama 6 bulan berikutnya
agar ibadah di bulan Ramadhan mereka diterima.
Darrasah, Kairo, 27 Ramadhan 1442
Hijri