Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Setiap Ilmu dengan Jalannya Sendiri

Avatar photo
1061
×

Setiap Ilmu dengan Jalannya Sendiri

Share this article
Setiap Ilmu dengan Jalannya Sendiri
Setiap Ilmu dengan Jalannya Sendiri

Setiap disiplin ilmu pengetahuan memiliki fondasi epistemologis yang khas, yang membentuk karakter dan pendekatan ilmiahnya secara independen. Epistemologi ini menentukan perbedaan dalam objek kajian, sumber pengetahuan, serta metode validasi kebenaran di antara berbagai cabang ilmu.

Sebagai ilustrasi, matematika dan fisika merupakan dua disiplin yang berbeda secara epistemologis. Matematika bersifat rasional-formalistik karena objek kajiannya mencakup entitas-entitas abstrak seperti bilangan, geometri, himpunan, dan aljabar. Dalam literatur filsafat Islam klasik seperti Al-Hadiyyah as-Sa’īdiyyah serta beberapa syarh atas Hidāyah al-Hikmah, dijelaskan bahwa pengetahuan yang berkaitan dengan al-mawjūdāt al-dhihniyyah (entitas-entitas mental yang eksistensinya berada dalam ruang pikir), dan termanifestasikan secara material dalam dunia nyata (fī dhimn al-māddah), dikategorikan sebagai al-riyādhiyyāt (matematika).

Sumber pengetahuan matematika berasal dari deduksi logis berbasis aksioma. Dengan demikian, validasi kebenarannya dibangun melalui pembuktian logika formal, bukan melalui observasi empiris.

Berbeda dengan itu, fisika memusatkan perhatian pada fenomena-fenomena fisik seperti energi, materi, ruang, dan waktu. Ia mengandalkan observasi empiris, eksperimen, dan pengukuran sebagai sumber pengetahuan. Oleh karena itu, verifikasi kebenarannya dilakukan melalui konfirmasi terhadap realitas empiris.

Perbedaan mendasar ini menunjukkan bahwa fisika tidak tunduk pada matematika, sebagaimana matematika tidak tunduk pada fisika. Keduanya saling melengkapi, tetapi memiliki otonomi metodologis. Matematika mungkin diperlukan untuk menyelesaikan problematika fisika — terutama dalam aspek pengukuran — namun ia tidak dapat mengintervensi prinsip-prinsip ilmiah yang digunakan dalam disiplin fisika.

Contoh konkretnya bisa dilihat dalam penemuan gerak Brown (Brownian Motion), yang digunakan oleh para fisikawan sebagai bukti empiris keberadaan atom. Temuan ini secara efektif meruntuhkan konsep hayūlā (materi primitif) yang diperkenalkan oleh Aristoteles dan para filsuf paripatetik. Meskipun secara logika formal konsep hayūlā tampak lebih sistematis, namun hasil eksperimen ilmiah menjadi parameter kebenaran yang lebih kuat dalam epistemologi fisika.

Prinsip otonomi epistemologis ini juga berlaku dalam disiplin-disiplin keilmuan Islam. Misalnya, dalam membahas konsep dan sistem negara, isu tersebut berada dalam ranah fikih karena menyangkut af’āl al-mukallafīn (perbuatan mukallaf). Oleh karena itu, pendekatan penyelesaiannya mesti mengikuti metodologi fikih, termasuk pendekatan ushul fikih dan maqāshid asy-syarī’ah. Jika pendekatan yang digunakan adalah ilmu kalam, hasilnya cenderung idealistik dan tidak kontekstual, karena ilmu kalam bersifat normatif dan tidak fleksibel terhadap variabel ruang dan waktu.

Hal ini dapat dilihat dalam perbedaan antara pandangan Asy’ariyah-Maturidiyah dan Muktazilah terkait pemberontakan terhadap penguasa zalim. Asy’ariyah-Maturidiyah, melalui pertimbangan maqāshid dan kaidah akhaff al-dhararain, melarang pemberontakan demi menjaga stabilitas sosial. Sebaliknya, Muktazilah mewajibkan perlawanan terhadap pemimpin zalim berdasarkan konstruksi logika murni yang dianutnya, sebagaimana tampak dalam prinsip at-tahsīn wa at-taqbīh al-‘aqliyayn. Konsepsi politik Muktazilah ini sejajar dengan pemikiran politik idealistik dalam tradisi filsafat, seperti Republica karya Plato dan al-Madīnah al-Fādhilah karya al-Farabi, yang cenderung utopis dan kurang memperhitungkan dinamika sosial-politik riil sebagaimana pendekatan fikih.

Kecenderungan idealisme Muktazilah ini, jika diterapkan dalam praktik kenegaraan, berpotensi menimbulkan instabilitas politik karena membuka ruang legitimasi terhadap pemberontakan setiap kali kebijakan negara dianggap tidak adil oleh sebagian rakyat.

Konsepsi serupa juga dapat ditemukan dalam relasi antara ilmu kalam dan tasawuf. Meskipun ilmu kalam dapat menjadi pijakan awal dalam proses spiritual seorang sufi, namun ia tidak memiliki otoritas epistemologis untuk mengintervensi wilayah-wilayah khas tasawuf. Permasalahan seperti wahdatul wujūd seharusnya dikaji melalui pendekatan tasawuf itu sendiri, bukan dipaksa tunduk pada kategori dan kaidah ilmu kalam. Wahdatul wujūd bukanlah bagian dari akidah normatif yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, melainkan tema spiritual yang berkembang dalam kerangka tasawuf irfani.

Maka dari itu, adalah tidak tepat secara epistemologis jika wahdatul wujūd diposisikan sebagai bagian dari akidah dan ditakar secara mutlak dengan ilmu kalam. Silakan jika ada yang ingin memahami doktrin tersebut melalui pendekatan kalam, namun otoritas utama penafsiran tetap berada pada para sufi yang bergerak dalam jalur epistemologi tasawuf. Karena itu, pendekatan irfani terhadap wahdatul wujūd tidak bisa ditolak semata karena tidak sesuai dengan logika ilmu kalam.

Kontributor

  • Hadi Abdul Fattah

    Santri asal Cirebon. Penikmat kopi, kebijaksanaan, dan Syair Arab. Dapat dihubungi melalui IG: @hadi_abd.fattah