Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Sikap Hati-hati yang Salah, Begini Contohnya

Avatar photo
25
×

Sikap Hati-hati yang Salah, Begini Contohnya

Share this article

Beberapa
abad silam, ada suatu kejadian di daratan kota madinah, antara sikap hati-hati
dalam mengambil langkah yang benar baginya, namun salah pada kenyataannya.

Habib
Zain bin Ibrahim bin Sumait dalam kitab al-Fawaid al-Mukhtarah,
menceritakan:

قال جابر بن عبد الله : خرجنا مع عمر ابن
الخطاب الى بعض رباع (المدينة) فقطر على رجل منا ماء من جناح فقال الرجل : ياصاحب
الجناح أنظيف ماؤك؟ فالتفت اليه عمر فقال يا صاحب الجناح لا تخبره فان هذا ليس عليه.

Sahabat
Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa suatu hari ia berjalan-jalan di
lorong-lorong kota Madinah bersama Khalifah Umar bin Khattab. Tiba-tiba dari
sebuah teras rumah ada air yang tumpah dan mengenai salah satu dari rombongan
tersebut.

Lelaki
itu lantas bertanya, “Wahai pemilik rumah, apakah airmu bersih atau tidak?”

Khalifah
Umar dengan cepat berkata kepada pemilik rumah, “Wahai pemilik rumah, tak perlu
engkau jawab, karena sebenarnya ia tidak wajib untuk menanyakan hal itu.”

Demikian
sebuah kisah singkat dituliskan dalam kitab al-Fawaid al-Muhktarah pada
halaman 322, yang merupakan kumpulan nasihat dari al-Allamah as-Sayyid Zain bin
Ibrahim bin Sumaith, seorang ulama dan mujaddid Islam dari Madinah abad ini.

Meskipun
singkat namun pelajaran yang dikandung kisah tersebut sangat berharga. Singkat
tapi padat, dan sarat akan makna, bahwa dalam hidup ini banyak sekali hal-hal
yang sesungguhnya sederhana namun dibuat rumit oleh pikiran sendiri.

Sebagaimana
kejadian di atas, secara hukum fiqih, apabila seseorang tidak tahu air itu
berasal dari mana dan tidak ada tanda-tanda air tersebut kotor maka statusnya
adalah suci, tanpa perlu menanyakannya, bahkan sama sekali tidak ada kewajiban
untuk menyelidiki lebih jauh.

Sebagaimana
yang disampaikan oleh Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Hadrami, bahwa setiap
sesuatu yang belum dipastikan kenajisannya, namun biasa najis dalam sejenisnya,
seperti baju anak kecil dan dan tukang jagal yang bodoh, maka yang paling
unggul dari dua pendapat ialah mengamalkan pendapat yang asal yaitu, suci.
(Lihat, Bughyatul Mustarsyidin, h. 30)

Peristiwa
itu tak ubahnya Bani Israil yang mendapat perintah sederhana untuk menyembelih
seekor sapi betina, namun mereka justru membuat rumit diri sendiri dengan bertanya
ciri-ciri sapinya, usia, dan warna kulitnya. Padahal awalnya perintah nabi Musa
as sangat gampang yang penting sapi dan betina. Cerita itu diabadikan oleh
Allah swt dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُواً
قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

 “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada
kaumnya, ‘Allah memerintahkan kamu agar meyembelih seekor sapi betina.’ Mereka
bertanya, ‘Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?’ Dia (Musa)
menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang
bodoh.’”

(QS. Al-Baqarah: 67)

قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ
لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لا فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ
عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ

Mereka
berkata, “mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada
kami tentang (sapi betina) itu.” Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman,
bahwa sapi betina itu tidak tua dan tidak muda, (tetapi) pertengahan antara
itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”
(QS. Al-Baqarah:
68)

قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ إِنَّهُ
يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ

“Mereka
berkata, ‘Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada
kami apa warnanya.’ Dia (Musa) menjawab, ‘Dia (Allah) berfirman, bahwa (sapi)
itu adalah sapi betina yang kuning tua warnanya, serta menyenangkan orang-orang
yang memandangnya.’”
(QS. Al-Baqarah: 69)

قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ
لَنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ
لَمُهْتَدُونَ

Mereka
berkata, Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami
tentang(sapi betina) itu. Karena sesungguhnya sapi itu belum jelas bagi kami,
dan jika Allah menghendaki, niscaya kami mendapat petunjuk.”
(QS.
Al-Baqarah: 70)

Semua
permintaan bani Israil mengakibatkan jawaban Allah swt yang justru lebih rinci.
Pada ayat selanjutnya Allah berfirman:

قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ
لا ذَلُولٌ تُثِيرُ الأَرْضَ وَلا تَسْقِي الْحَرْثَ مُسَلَّمَةٌ لا شِيَةَ فِيهَا
قَالُوا الآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ

“Dia (Musa) menjawab, ‘Dia (Allah)
berfirman, (sapi) itu adalah sapi betinayang belum pernah dipakai untuk
membajak tanah dan tidak (pula) untuk
mengairi tanaman, sehat, dan tanpa belang.’ Mereka berkata, ‘’Sekarang
barulah engkau menerangkan (hal) yang sebenarnya.’ Lalu mereka menyembelihnya,
dan nyaris mereka tidak melaksanakan (perintah) itu.
(QS Al-Baqarah: 71)

Imam Ibnu Katsir dalam kitab  Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan, jika
seandainya Bani Israil ketika mendapatkan perintah untuk menyembelih sapi
langsung mereka lakukan, dengan menyembelih sapi seperti apapun, maka itu sudah
cukup, namun mereka membuat sulit diri mereka sendiri, akhirya Allah
mempersulit mereka. (Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, h. 295)

Dari tulisan ini bisa diambil
kesimpulan, bahwa pada dasarnya Islam sangat mengedepankan sikap hati-hati
dalam mengambil tindakan, jika sudah diketahui antara benar dan salah. Namun,
dalam hal-hal yang oleh syariat tidak terlalu diberikan aturan ketat, sikap
hati-hati justru tidak mengindahkan.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.