Sri Wedari
Sri di Wedari
Kaukah itu?
kemari
bentangkanlah jalan sunyi
tuang segelas hening
secangkir bening
di kening
di kalbu
isilah aku
penuhi aku
dengan bayang-bayangmu
hingga aku kosong
Kau yang Sri di Wedari
izinkan aku sampai
dan tak kembali
Yogyakarta
Kopi Tubruk
secangkir kopi menubruk malam
sungguh tubruk malam-malam pejalan sepi
dan kita masih menulis rembulan
dengan pena kosmetik
adakah yang lebih arabika
dari asem tawa rakyat jelita*
adakah yang lebih robusta
dari senyum pahit rakyat melata*
dan kita masih membicarakan pelangi
dengan bahasa minyak wangi
Yogyakarta
*Rakyat jelita dan rakyat melata; dua istilah yang lahir dari bibir Ahmad Musthofa Haroen
Trotoar yang Kesepian
kekasih, lihatlah rinai hujan jatuh
di sepanjang trotoar yang kesepian
kita tak pernah mampu menghitung berapa tahun
trotoar itu merana di antara kecamuk suara knalpot
ia merindukan pejalan kaki
merindukan mereka yang terburu-buru
untuk sekadar bertemu kejenuhan-kejenuhan di bilik kerja
merindukan mereka yang menyimpan kepanikan-kepanikan hidup
merindukan mereka yang menggunjing terik mentari
entah kita lelah atau lupa bagaimana berjalan
kita lebih terbiasa menyalakan mesin
yang merubah kita jadi hantu jalanan
kita begitu latah memencet tombol klakson
saat kemacetan pindah ke jalan pikiran
lalu memarahi orang lain
untuk tidak memaki diri sendiri
aku teringat cerita ibuku
waktu pertama kali aku bisa berjalan
katanya tawaku melebihi kecupan suaminya
aku ingin kembali berjalan
kali ini bersamamu
Yogyakarta, 2015