Selama aku belajar di Damaskus, semua pengajian yang aku ikuti di ibukota Suriah itu baik untuk umum maupun privat tidak ada satu pun ustad yang meminta honor. Bahkan sama sekali tidak menerima bayaran. Justru kami selaku para pelajar yang sering diberi bantuan oleh para syekh yang dikenal dengan nama “tauzi”.
Kadang-kadang tauzi ini menjadi godaan tersendiri bagi para pelajar untuk hadir di pengajian kalau tengah malas. Apalagi kalau sudah melihat anak-anak Afrika berkumpul ramai-ramai, itu menjadi tanda-tanda akan ada pembagian “tauzi”. Sudah dikasih ilmu, dikasih buku, diberi duit lagi.
Banyak dari guruku yang aku kenal bahkan tidak mengambil honor mengajar mereka di kampus. Padahal itu hak mereka, dan agama tidak melarang. Tapi ini masalah prinsip. Mereka sama sekali tidak mau mengambil uang dari agama.
Bahkan lebih dari itu, sebagian mereka kadang berbelanja di tempat orang yang tidak mengenal mereka agar mereka tidak mendapat diskon karena orang-orang akan langsung menghormati mereka ketika tahu bahwa mereka ulama. Tidak ada masalah dengan orang yang memberikan, tapi itu bagian dari prinsip mereka. Mereka tidak mau mengambil keuntungan apapun dari agama.
Lantas dari mana penghasilan mereka untuk menghidupi keluarga? Bagian ini yang menarik. Hampir semua mereka punya pekerjaan masing-masing. Menjadi dai itu mereka anggap kewajiban bukan pekerjaan, sedangkan untuk profesi, mereka akan mencarinya di luar itu tergantung keahlian masing-masing.
Sebelum terjun ke dunia dakwah, mereka sudah biasa fokus menguasai profesi mereka terlebih dahulu untuk menjalani hidup. Ini juga membantu memperpanjang masa belajar menuntut ilmu. Sehingga ketika terjun ke dunia dakwah, mereka sudah matang. Hal ini sangat membantu mereka agar tidak terburu-buru untuk berdakwah.
Dosen fikih muqaran saya, Syekh Hani Syaal bekerja sebagai penerjemah bahasa Prancis di kantor PBB di Damaskus. Itu di luar bisnis lain yang beliau lakukan. Lalu Syekh Khair Syaal, dosen hadis yang setiap hari meluangkan waktu sekitar 4 jam untuk bekerja sebagai dokter gigi di klinik pribadinya, dan selebihnya untuk umat.
Kemudian Syekh Ali Malla, seorang dosen fikih yang punya profesi sebagai pengacara. Syekh Rusydi Qalam Faqih Syafi yang juga seorang pedagang grosiran yang cukup sukses, bahkan punya pabrik untuk bahan baku alat kecantikan yang akan diimpor ke Eropa. Ada juga Syekh Samir Annas, ulama al-Quran dan juga dokter bedah lulusan UK yang di sela-sela prakteknya tetap mengajarkan murid-muridnya.
Lalu Syekh Hasan al-Khiyami pakar ilmu kalam yang mempunyai klinik dan pusat riset dokter gigi yang menjadi salah satu yang terbesar di Damaskus.
Syekh Rajab Dieb ulama besar yang punya bisnis dan dagangan yang kata seorang muridnya, kekayaan beliau mencapai milyaran lira Suriah. Syekh Riyadh Oghli ustaz fikih hanafi yang punya pabrik pembuatan kancing baju dan masih banyak ulama lain lagi.
Itu mungkin yang aku sebutkan adalah yang punya pemasukan banyak. Sebagian mereka juga ada yang penghasilannya pas-pasan, seperti jadi tukang reparasi jam, ada yang jadi tukang, dan seterusnya. Tapi dalam belajar juga sama, tidak mengambil biaya apapun.
Sedikitnya penghasilan sama sekali bukan alasan. Mereka tetap semangat mengajar kita, seolah tidak butuh sesuatu yang duniawi. Kita bisa merasakan keikhlasan mereka. Hampir semua guru kami seperti itu dan tentu aku ingin seperti mereka.
Memegang prinsip ini ada banyak manfaatnya. Salah satu manfaatnya adalah menjaga wibawa seorang dai. Di antara manfaatnya, mereka tidak bisa diiming-imingi dengan duit, karena mereka tidak butuh apa-apa dari umat selain menginginkan umat mau belajar agama. Tidak ada kepentingan duniawi yang mereka dapatkan dari mengajar agama. Dengan begitu orang yang mengambil ilmu dari mereka bisa merasakan langsung keikhlasan dan pengorbanan mereka untuk mengajarkan perkara agama kepada mereka.
Dan ini juga menjaga mereka untuk terjauh dari fitnah, dan kita jadi tidak akan mendengar fitnah seperti kata-kata, “Dia berfatwa seperti itu karena diberi duit banyak oleh orang kaya atau presiden.” Ini tidak mungkin terjadi.
Saya tidak anti dengan pengajar agama yang mengambil gaji dari mengajar dan mengaji sebab hal itu dibolehkan syariat, bahkan kadang diwajibkan dalam beberapa keadaan, tapi ini lebih pada belajar untuk menjauh dari fitnah.
Ini bukanlah hal baru dalam Islam, bahkan sebelum Islam sekalipun ini sudah menjadi sunnah anbiya. Hampir semua nabi punya pekerjaan sendiri padahal waktu mereka dihabiskan untuk dakwah. Nabi Idris menjahit, Nabi Daud pandai besi, Nabi Zakariya tukang kayu, Nabi Muhammad pedagang, dll.
Karena itu para dai perlu untuk mengikuti sunnah para nabi, karena mereka adalah imamnya para dai dan sebaik-baik qudwah untuk para dai, termasuk sunnah memiliki pekerjaan di luar mengajar. Wallahu a’lam.