Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Sya’iun Lillah dan Tawasul dengan Al-Fatihah

Avatar photo
37
×

Sya’iun Lillah dan Tawasul dengan Al-Fatihah

Share this article

Ungkapan Syai’un lillahi lahumul fatihah
sangat familiar di telinga kaum Nahdliyyin, tetapi tak banyak yang tahu
maknanya. Kata-kata ini kerap terdengar dari seorang kyai atauustadz saat bertawasul
dengan surat Al-Fatihah sebagai pembuka acara semisal tahlilan, yasinan,
diba’an dan lain-lain.

Mengenai makna ungkapan Syai’un lillahi lahumul
fatihah
, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur Baalawi dalam Bughyat
al-Mustarsyidin
menjelaskan bahwa dari segi bahasa ungkapan
شيء
لله
artinya “segala sesuatu adalah milik Allah dan dilakukan karena
Allah”. Ungkapan ini, menurutnya, bukan ungkapan asli bahasa Arab, tetapi
produk sebuah tradisi. (h. 297)

Adapun kata لهم
الفاتحة
adalah semacam aba-aba pada jamaah yang hadir agar memulai
membaca surat Al-Fatihah yang pahalanya diperuntukkan bagi para almarhum atau
almarhumah yang telah disebutkan nama-namanya sebelumnya.

Ada kalanya tanpa لهم, tetapi langsung شيء
لله الفاتحة
(syai’un
lillahi al-fatihah
)
. Jika demikian, maka dari tinjauan
ilmu Nahwu, kata
الفاتحة itu berkedudukan sebagai maf’ul (objek)
dari fi’il (kata kerja) yang dibuang dan dikira-kirakan sesuai
konteksnya, yaitu:
اقرؤوا الفاتحة, artinya bacalah Al-Fatihah.

Sebagai tradisi, ia bisa dijadikan sandaran hukum
sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan atau hadits sesuai dengan
kaidah fikih «
العادة محكمة» (tradisi atau kebiasaan itu bisa
dijadikan landasan hukum).

Kemudian, Syaikh Ismail bin Zain al-Yamani dalam
kumpulan fatwanya, Qurrat al-Ain bi-Fatawa Ismal al-Zain, berkata:

ومعني
شئ لله مطلوبنا ومقصودنا شئ لله اي يستمد لوجه الله ابتغاء واستمدادا، لا لغيره
ولا من غيره. ففيها اعتراف بان الذي يسوق المطالب ويحقق المأرب هو الله تعالي الخ

“Makna syai’un lillahi adalah bahwa
tujuan dan kehendak kami adalah sesuatu yang merupakan milik Allah. Artinya dia
memohon pada Dzat Allah dengan mengharap ridha dan bantuan hanya dari Allah,
tidak pada dan dari selain Allah. Ini mengandung pengakuan bahwa yang
merealisasikan keinginan-keinginan dan mengabulkan hajat-hajat adalah Allah
Ta’ala semata.” (h. 211)

Kemudian, di antara yang sering dipertanyakan
adalah berkirim pahala Al-Fatihah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam
. Apakah itu ada dasarnya? Bukankah untuk beliau sudah ada kapling
lain, yaitu shalawat?

Mengenai hal ini masih ada silang pendapat di
antara para ulama mazhab Maliki dan mazhab Syafi‘i. Syaikh Ihsan Muhammad
Dahlan al-Jamfasi dalam Siraj al-Thalibin ala Minhaj al-Abidin menulis:

فائدة:
هل تجوز قراءة الفاتحة للنبي صلى الله عليه وسلم أولا؟ قال الأجهوري: لا نص في هذه
المسألة عندنا: أي معاشر المالكية. والمعتمد عند الشافعية جواز ذلك، فنرجع
لمذهبهم، فلا يحرم عندنا، والكامل يقبل زيادة الكمال. قاله الشيخ أحمد تركي في
حاشيته على الخراشي
.

“Informasi: Apakah boleh atau tidak membaca
(mengirim) Surat Al-Fatihah untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam
? Al-Ajhuri mengatakan, masalah ini menurut kami (kalangan Malikiyah)
tidak ada nashnya. Sementara pendapat yang muktamad di kalangan Syafi‘iyah membolehkannya
(kirim Surat Al-Fatihah untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau lainnya). Kami merujuk ke mazhab mereka sehingga hal itu tidak haram bagi
kami. Orang sempurna tetap menerima peningkatan kesempurnaan sebagaimana
dikatakan Syekh Ahmad Tarki dalam Hasyiyah Al-Kharasyi.” (h. 14)

Dari keterangan ini, kita dapat memahami bahwa
ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada prinsipnya meyakini praktik tawasul sebagai
doa yang diikhtiarkan. Dengan pemahaman seperti itu, masyarakat dapat mengamalkan
kirim surat Al-Fatihah, shalawat, atau surat-surat lainnya dalam Al-Qur’an
untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau untuk muslimin
dan muslimat secara umum. Wallahu a’lam.

Kontributor

  • KH. Zainul Muin Husni

    Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Universitas Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur