Sidi Abu Yazid Al-Basthami pernah mengajak beberapa muridnya untuk bertemu salah seorang yang saat itu mulai terkenal dengan kewalian, zuhud, dan sering dikunjungi oleh orang banyak.
Saat sampai ke tempat orang yang dituju, Abu Yazid melihatnya sedang shalat, dan membuang ludah ke arah kiblat. Sebagaimana yang diketahui, makruh hukumnya membuang ludah ke arah kiblat. Tanpa banyak basa-basi, Abu Yazid langsung putar balik dan pulang. Ia berkata kepada muridnya, “Orang itu tidak mengamalkan adab-adabnya Rasulullah, bagaimana mungkin saya bisa percaya dengan klaim dia sebagai wali?”
Meskipun ini cuma makruh, yang bahkan sebagian orang akan menilai bahwa selama itu tidak berdosa akan tidak masalah, akan berbeda cara pandangnya jika yang melihat adalah ahli tasawuf dan objeknya adalah orang yang mengaku sebagai wali dan memiliki karamah. Cara menilai ahli tasawuf adalah seberapa kuat ia berpegangan dengan syariat, bukan senyeleneh apa ia berbuat.
Dari apa yang diperbuat oleh Abu Yazid, kita paham hakikat makna dari ucapan -Faqih Mishr, Laits bin Sa’ad: “Jika kalian melihat orang berjalan di atas air dan terbang di atas langit, jangan tertipu, sampai kalian lihat bagaimana keseharian dia dengan Al-Quran dan Sunnah.”
Al-Habib Abdullah bin Husein bin Thahir, seorang wali besar yang diakui keilmuan dan kewaliannya oleh banyak ulama di masanya, penulis kitab Sullam al-Taufiq, pernah berkata dengan perkataan yang menggambarkan kesehariannya selama hidup, “Aku tidak pernah melakukan hal yang dihukumi makruh, bahkan tidak pernah terlintas di hatiku keinginan untuk melakukan hal tersebut.”
Habib Abdullah bin Husein bin Thahir, meskipun sudah mampu menggabungkan antara ilmu zhahir dan bathin, sebagaimana Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, penulis Maulid Simtudh Dhurar menilai beliau sebagai al-Jami’ baina Ilmai al-Zhahir wa al-Bathin, kita tidak akan pernah melihat beliau mengucapkan atau melakukan hal-hal yang nyeleneh.
Kita belajar dari keseharian beliau, bahwa orang yang semakin tinggi dan hebat tasawufnya, akan semakin kuat ibadah syariatnya. Wirid harian beliau, sebagaimana yang sudah masyhur: shalat malam dengan 10 juz Al-Quran, shalat Dhuha dengan 8 juz Al-Quran, membaca Ya Allah 25.000 kali, membaca kalimat tahlil 25.000 kali, dan shalawat 25.000 kali.
Inilah “nyeleneh” yang diajarkan beliau: ibadah yang berbeda dengan kebanyakan orang. Bukan sekedar ucapan dan omong kosong belaka. Setelah semua itu, ibadah dan wirid yang sangat banyak, beliau memiliki doa yang juga masyhur, yang isinya mengakui kekurangan dalam ibadah dan banyanya kesalahan: “Ya Allah, kami tidak memiliki amal. Semua perbuatan kami hanya kesalahan dan dosa. Namun kami punya harapan kepada-Mu agar Engkau menghapus kesalahan itu. Wahai Dzat yang mendengarkan doa, kami memohon taubat nasuha, dan ampunan dosa, sebelum dosa itu terlihat oleh para makluk-Mu.”
Sayyid Al-Qutb Ahmad Al-Rifa’i mengatakan: “Jangan kalian mengatakan, kami adalah ahli batin dan mereka masih ahli zahir. Agama Islam ini menggabungkan keduanya, bathin menjadi inti dari zahir, dan zahir menjadi bungkus dari batin.”
Sebetulnya, kita tidak akan melihat sesuatu yang aneh pada orang yang paham akan agama. Syariat dan hakikat akan berjalan beriringan. Terlebih orang yang sudah mengaji tasawuf sudah diharuskan khatam mengaji apa itu syariat. Hingga kita akan bertemu dengan orang yang tidak ingin repot dengan belajar syariat, lalu loncat mengkaji ilmu tasawuf hingga lahirlah banyak salah faham.
Ada tiga faktor utama menurut Syekh Ahmad Zarruq al-Fasi yang menjadib penyebab munculnya keanehan dari para pendaku tasawuf:
Pertama: lemahnya iman, tidak ada ilmu seputar apa saja yang dilarang syariat, gelapnya hati dari cahaya iman yang menunjukkan dan memberikan arah untuk meniti jalan yang ditapaki oleh Rasulullah ﷺ.
Kedua: tidak tahu pokok ilmu tariqat dan memiliki keyakinan bahwa syariat berbeda dengan hakikat. Ini adalah asal muasal ajaran zindiq.
Ketiga: memiliki penyakit cinta popularitas, ambisi ingin memimpin, sehingga jiwa terus memaksa untuk mencari cara yang dapat menarik perhatian orang lain dengan memberikan hal-hal yang asing, ia terlihat seperti berbicara tentang Tuhan, tapi sebetulnya ia hanya membicarakan dirinya.