Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Syekh Ali Jum’ah jelaskah fitnah dahsyat yang memecah umat Islam

Avatar photo
51
×

Syekh Ali Jum’ah jelaskah fitnah dahsyat yang memecah umat Islam

Share this article

Ulama besar Mesir Syekh Ali Jum’ah mengatakan bahwa dunia Islam dalam beberapa tahun terakhir menghadapi fitnah yang beliau ibaratkan seperti malam yang gelap gulita. Sebagian besar fitnah ini disebabkan oleh ekstremisme dan penafsiran yang tidak komprehensif terhadap nash-nash agama.

Mantan Mufti Agung Mesir itu melihat saat ini beberapa orang dengan mudahnya menuduh sesama Muslim dengan bid’ah, kafir, syirik dan bodoh dalam masalah-masalah yang tergolong khilafiyah (diperselisihkan hukumnya oleh para imam mazhab dan ulama).

“Mereka tidak menyadari bahwa kekuatan dan keberlangsungan Islam justru terletak pada perbedaan, sebagaimana yang dianjurkan Islam dan dijalankan para ulama sejak awal Islam,” terang ulama besar al-Azhar itu.

Menurut Syekh Ali Jum’ah, penyakit terbesar yang menimpa mereka yang terjebak dalam fitnah adalah hilangnya etika dalam berdialog dan berbeda pandangan. Mereka melewati batasan-batasan yang sebenarnya mencegah mereka dari bersikap ekstrem dan mencela orang lain.

“Jika yang dicari adalah kebenaran, bukan memenangkan fanatisme buta dan hawa nafsu, mereka akan terhindar dari fitnah.” tegas beliau.

Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah.” (QS. Al-Qasas: 50)

Tradisi Dialog Para Sahabat

Maulana Syekh Ali Jum’ah menyatakan bahwa sunah para sahabat dan generasi awal Islam dalam berdialog adalah menggunakan kata-kata lembut dan baik, karena mereka menyadari bahwa hal tersebut dapat melembutkan hati yang keras dan mendekatkan pihak-pihak yang berseberangan.

Sebagaimana Allah SWT berfirman:

ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

“Tolaklah dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34)

Al-Quran justru memerintahkan untuk berkata-kata yang paling baik, yang mampu menutup celah pintu masuk setan yang menggoda untuk melontarkan kata-kata kasar, permusuhan dan membalas dengan cara yang buruk.

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا

“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. al-Isra’: 53)

Rasulullah SAW tidak pernah menggunakan kata-kata kasar atau menghina. Teladan ini diikuti oleh para ulama ketika mereka berbeda pendapat dengan yang lain.

Syekh Ali Jum’ah mencontohkan bagaimana Imam Adz-Dzahabi yang mengarang Siyar A’lam An-Nubala’ memuji Taqiyuddin As-Subki, sala satu ulama besar mazhab Asy’ariyah meskipun dia berbeda pendapat dengan gurunya, Ibnu Taimiyah.

Para ulama tidak mengikuti dugaan dan khayalan dalam menilai orang atau menuduh mereka bodoh atau khianat. Mereka menetapkan bahwa prinsip dasar interaksi seorang muslim dengan sesama muslim adalah berlaku jujur, adil dan berbaik sangka dengan orang muslim lain. Jika seorang muslim mengatakan sesuatu, perkataannya jangan langsung disalahkan, tetapi harus dipahami sebaik mungkin jika masih ada kemungkinan adanya makna lain yang bisa dibenarkan dari kata-katanya.

Menurut Syekh Ali Jum’ah, di sinilah pentingnya berhati-hati dalam menuduh ulama (dari apa yang dikatakannya) dan pelan-pelan dalam memahami ucapannya.

“Karena mereka berbicara berdasarkan landasan syariat, bahkan jika mereka tidak mencantumkannya dalam buku-buku mereka. Inilah prinsip yang dipegang dalam buku-buku para ahli fikih ketika membahas masalah-masalah fikih yang di dalamnya tidak mencantumkan nash-nash agama,” papar Syekh Ali.

Prinsip yang sama juga dianut oleh para ulama hadis. Mereka tidak mencela seorang (perawi) siapa pun di luar konteks riwayat. Mereka menetapkan bahwa tidak boleh menyebut seorang muslim dengan sifat-sifat yang tercela kecuali dalam konteks Jarh wa Ta’dil (kritik sanad riwayat) karena keharusan menjaga sunah sebelum dibukukan. Di luar konteks tersebut, adab dan akhlak mulia, serta sikap lapang dada dan memaafkan orang yang tidak tahu harus dijaga.

Sikap Ulama ketika Berbeda Pendapat

Para ulama hadis atau fikih tidak pernah mencela, menghina, atau meremehkan satu sama lain. Mereka tidak mencela kehormatan lawan mereka. Celaan dan hinaan justru muncul dari mereka yang berpura-pura sebagai ulama padahal sebenarnya bukan. Mereka sampai merusuh dan menghasut agar orang-orang awam mengira mereka ulama. Andai benar-benar ulama, mereka akan meniru akhlak, bahasa dialog, dan perbedaan pendapat yang dicontohkan para ulama, sama sebagaimana mereka meniru pakaian mereka.

Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam mengatakan, “Ketika perbedaan pendapat dalam masalah agama semakin banyak dan mereka terpecah belah, semakin banyak pula kebencian dan kemarahan di antara mereka. Mereka saling melaknat dan masing-masing merasa bahwa benci dan marah mereka adalah karena Allah.”

Beliau menambahkan banyak dari para imam mungkin mengucapkan pendapat yang marjuh (dalilnya lemah atau bertentangan dengan pendapat jumhur ulama), mereka telah berijtihad dengan itu dan mendapatkan pahala atas usaha tersebut meskipun kesalahan mereka dalam pendapat itu digugurkan (karena ijtihad meski salah tidak dianggap berdosa).

Yang perlu diperhatikan, menurut Ibnu Rajab adalah bahwa mereka yang membela pendapat tersebut tidak selalu berada pada tingkat yang sama dengan ulama yang memiliki pendapat tadi. Mereka mungkin hanya membela pendapat tersebut karena dikatakan oleh guru mereka, sehingga jika pendapat itu diungkapkan oleh imam lain, mereka tidak akan menerima dan membelanya, tidak mendukung yang sependapat dengannya dan tidak menyerang yang menyelisihinya.

“Pengikut yang membela pendapat marjuh ini kadang niat mereka dicampuri oleh keinginan untuk mengangkat derajat guru mereka dan menunjukkan bahwa orang yang mereka ikuti tidak salah. Ini adalah sifat yang dapat merusak niat mereka mencari kebenaran,” tegas Ibnu Rajab.

Syekh Ali Jum’ah menegaskan bahwa hawa nafsu tidak pernah menjadi kendaraan para sahabat, tabiin, imam mazhab dan para ulama ketika mereka berbeda pendapat.

“Perbedaan pendapat yang menghasilkan adab dan akhlak mulia hanya dilahirkan dari upaya serius dalam mencari kebenaran. Ukhuwah Islamiyah di antara mereka merupakan salah satu prinsip penting yang Islam tidak mungkin tegak tanpanya. Hal ini lebih tinggi daripada perbedaan atau kesepakatan dalam masalah-masalah ijtihad.” pungkas Syekh Ali.

Kontributor

  • Abdul Majid

    Guru ngaji, menerjemah kitab-kitab Arab Islam, penikmat musik klasik dan lantunan sholawat, tinggal di Majalengka. Penulis dapat dihubungi di IG: @amajid13.