Syekh Yusri hafidzahullah dalam pengajian Bahjat An-nufus menjelaskan, bahwa Baginda Nabi Muhammad SAW mengetahui perkara gaib seperti halnya mengetahui perkara dzahir, sebagaimana para sahabatnya juga tahu akan hal tersebut.
Di antara yang menunjukkan hal ini adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunannya, tentang kisah tamu Baginda Nabi SAW dari kabilah Abdil Qais yang datang kepadanya untuk masuk Islam. Masing-masing dari mereka bergegas untuk bertemu dengan Baginda Nabi SAW, lalu mencium tangan dan kaki mulianya.
Kecuaili pimpinan dari mereka, yaitu Al Mundzir Al Asyaj. Dia lebih memilih untuk membersihkan diri terlebih dahulu dan memakai pakaiannya yang baru, dan tidak langsung pergi kepada Nabi dengan pakaian yang dipakainya selama perjalanan.
Baca juga: Perkara Sunnah yang Mungkin Ditinggalkan di Zaman Sekarang
Rasulullah pun tertarik pada akhlak serta perangai yang ada pada dirinya, karena sesungguhnya inilah yang diajarkan oleh Islam, yaitu al-hilmu (bijaksana)dan al-anah (tidak tergesa-gesa).
Baginda Nabi berkata kepadanya:
إِنَّ فِيكَ خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ
“Sesungguhnya ada dua sifat ada di dalam dirimu yang disukai oleh Allah, yaitu bijaksana dan tidak tergesa-gesa.” (HR. Abu Daud)
Kedua sifat tersebut menjadikan dirinya bijaksana dalam bersikap dan bertindak, sehingga memilih untuk menghadap kepada baginda dalam keadaan badan yang bersih dan wangi, serta dengan memakai pakaian yang indah sebagai bentuk memuliakan baginda Nabi SAW.
Hal ini merupakan ajaran Al Qur’an, sebagaimana Allah berfirman:
فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakan, menolong dan mengikuti cahaya yang telah diturunkan bersamanya, mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al A’raf:157)
Lalu dirinya bertanya kepada baginda Nabi SAW, apakah kedua sifat tersebut merupakan akhlak yang dirinya dapat dari usaha sendiri setelah dirinya masuk Islam, ataukah memang watak yang telah Allah berikan di dalam dirinya tanpa didahului dengan usaha. Tentu hal ini adalah perkara batin yang tidak diketahui oleh seseorang, kecuali dirinya adalah seorang Nabi.
Baca juga: Gaya Makan Sesuai Sunnah Nabi
Kemudian Baginda Nabi SAW menjawab:
بَلِ اللَّهُ جَبَلَكَ عَلَيْهِمَا قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى جَبَلَنِى عَلَى خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Allahlah yang menjadikan kedua sifat ini sebagai watakmu.” Lalu dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kedua sifat yang disukai Allah dan Rasulnya tersebut sebagai watakku.” (HR. Abu Daud)
Dari hadits di atas, bisa diambil pelajaran bahwa para sahabat mengetahui dan meyakini bahwa Baginda Nabi SAW adalah orang yang mengetahui perkara gaib. “Oleh karena dirinya adalah Rasulullah,” tambah Syekh Yusri.
Hal ini sesuai dengan firman Allah:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
“Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui perkara yang gaib, dan tidaklah menampakan perkara gaibnya kepada seseorang.” (QS. Al Jin:26)
Kemudian Allah lanjutkan denga firman–Nya:
إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ
“Kecuali kepada seorang Rasul yang telah Dia ridhai.” (QS. Al Jin:27) Wallahu A’lam.
Baca tulisan menarik lainnya tentang Syekh Yusri di sini.