Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Tafsir Syekh Sya’rawi tentang Ayat Kursi dalam Surat Al-Baqarah 255

Avatar photo
65
×

Tafsir Syekh Sya’rawi tentang Ayat Kursi dalam Surat Al-Baqarah 255

Share this article

Berikut ini adalah teks, terjemahan, dan kutipan tafsir menurut Syekh Mutawali asy-Sya’rawi, tentang surat Al-Baqarah ayat 255, atau yang juga dikenal sebutan Ayat Kursi.

Ayat Kursi menjadi sangat penting untuk dipahami dan dimengerti, karena di dalamnya tidak hanya mengajarkan perihal keyakinan (aqidah), akan tetapi juga menjadi salah satu jalan untuk memantapkan kembali keimanan dan keyakinan umat Islam kepada Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman,

اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup, Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. kKursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 255)

Tafsir Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi

Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab Tafsir al-Khawathir lisy-Sya’rawi, juz 1, halaman 697, mengatakan bahwa ayat ini dimulai dengan penyebutan kalimat saksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, memiliki makna tersendiri. Berikut makna dan kandungan ayat di atas,

Makna La Ilaha illa Allah

Menurut Syekh Mutawalli, lafal “lailaha illa Allah” memiliki dua makna di dalamnya, (1) la ilaha memiliki makna nafi; dan (2) illa Allah memiliki makna itsbat. Kedua makna tersebut menjadi makna paling dalam di balik lafal tersebut.

Pertama, la ilaha yang bermakna nafi (mentiadakan), maksud mentiadakan pada ayat ini adalah mentiadakan semua Tuhan. Dengan kata lain, tidak ada satu Tuhan pun di alam semesta. Oleh karenanya, pada lafal setelahnya dilanjut dengan illa Allah. Kedua, illa Allah dengan makna itsbat (menetapkan). Maksud dari menetapkan adalah menetapkan Allah sebagai Tuhan.

Dalam lafal “la ilaha illa Allah”, sebelum Ia mengakhiri dengan “Illa Allah” terlebih dahulu Ia memulainya dengan “la ilaha”. Hal ini menurut Syekh Mutawalli tiada lain selain untuk menunjukkan bahwa tidak ada Tuhan di dunia ini yang harus dan layak disembah hanyalah Allah SWT, bukan yang lainnya.

Ayat di atas juga mengafirmasi bahwa akan ada makhluk-Nya yang berani mengaku bahwa dirinya sebagai Tuhan. Oleh karenanya, dalam lafal “la ilaha illa Allah”, Ia mentiadakan semua Tuhan kemudian menyendirikan diri-Nya sebagai Tuhan tanpa ada yang mendampingi atau yang menemani-Nya.

Makna Hayyu (Maha Hidup)  dan Qayyumu

Selain makna yang telah dijelaskan di atas, ada makna lain yang juga penting untuk diketahui, yaitu sifat al-Hayyu dan al-Qayyumu. Menurut Syekh Mutawalli, ada alasan khusus di balik penyebutan sifat “hayyu” lebih didahulukan daripada yang lain.

Menurutnya, sifat hayyu merupakan sifat Allah pertama yang wajib bagi-Nya. Hal ini karena akan meniscayakan sifat-sifat yang lain. Artinya, tidak mungkin sifat ilmu, qudrat, iradah dan lainnya dimiliki oleh Allah sebelum adanya sifat Hayyu.

Sifat al-Qayyum (yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya) juga memiliki makna secara khusus dan sangat luas. Menurut Syekh Mutawalli, lafal tersebut dalam ilmu garamatika Arab (Nahwu) dikenal dengan kalimat isim sifat mubalaghah dari kata Qaim yang memiliki makna sangat luas. Artinya, Allah terus menerus mengurus makhluk-Nya tanpa mengenal waktu dan tempat keada siapapun dan di mana pun.

Tidak Pernah Mengantuk dan Tidur

Pada ayat kursi di atas, Allah juga menegaskan bahwa diri-Nya tidak pernah mengantuk dan tidak pernah pula tidur sebagaimana makhluk-Nya. Namun, yang perlu diketahui lebih dalam, Allah hanya mengkhususkan diri-Nya bukan makhluk-Nya. Dengan kata lain, Ia tahu bahwa makhluk-Nya membutuhkan tidur dan istirahat untuk menenangkan jiwa-jiwa mereka.

Menurut Syekh Mutawalli, di antara bukti paling jelas bahwa Allah tidak tidur adalah tetap bergeraknya peredaran darah, berjalannya gerak-gerik dalam tubuh. Hal ini membuktikan bahwa yang melakukan semua itu hanyalah Allah, bukan kehendak dari manusia itu sendiri.

Demikian dengan semua yang ada pada alam semesta. Ia mengaturnya dengan sangat baik, dengan pola yang sangat teratur dan sistematis. Oleh karenanya, Allah menerima doa dan mengabulkan permintaan hamba-hamba-Nya tanpa mengenal waktu. Ia mendengarkan doa mereka, baik di waktu siang ataupun malam.

Sifat lain dari Allah yang juga disebutkan dalam ayat ini ialah bahwa Dialah yang mempunyai kekuasaan dan yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dialah yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang tidak terbatas, sehingga Dia dapat apa yang dikehendaki-Nya. Semua ada dalam kekuasaan-Nya, sehingga tidak ada satu pun dari makhluk-Nya termasuk para nabi dan para malaikat yang dapat memberikan pertolongan kecuali dengan izin-Nya, apalagi patung-patung yang oleh orang-orang kafir dianggap sebagai penolong mereka.

Arti Kursi pada Ayat ini

Dari sekian banyak penjelasan di atas, ada yang juga tidak kalah penting dan menarik untuk diketahui dari ayat di atas, yaitu perihal maksud “kursi” yang ada di dalamnya, bahkan juga sering disebut dengan ayat kursi. Lantas bagaimana penjelasan Syekh Mutawalli dalam hal ini. Mari kita bahas.

Secara umum, Syekh Mutawalli tidak melepaskan ayat lain yang makna dan pemahamannya menjadi salah satu nilai pokok untuk memahami ayat ini. Menurutnya, maksud dari kursi pada ayat di atas tidak bisa lepas dari salah satu ayat Al-Qur’an yang berbunyi,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada suatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy-Syura [42]: 11)

Dari ayat inilah, Syekh Mutawalli menganggap bahwa yang dimaksud dengan kursi pada ayat di atas bukanlah kursi pada umumnya, sebab Allah bukanlah sesuatu yang baru sebagaimana makhluk-Nya. Dengannya, tidak layak ketika ada anggapan bahwa Allah akan menduduki kursi-Nya.

Ada dua penafsiran ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang bisa diikuti dalam hal ini, (1) ulama salaf (klasik); dan (2) ulama khalaf (kontemporer). Kedua ulama ini sama-sama memiliki pendapat perihal kursi pada ayat di atas.

Ulama salaf dalam hal ini tetap menganggap bahwa Allah memiliki kursi sebagaimana ayat di atas, hanya saja mereka memasrahkan gambaran dan caranya kepada Allah. Mereka pasrah dalam mengartikan kursi kepada-Nya. Dengan kata lain, ulama salaf beriman bahwa Allah memiliki kursi, hanya saja mereka tidak menafsiri ayat tersebut.

Sedangkan ulama khalaf dalam hal ini mengambil langkah lebih strategis. Mereka berupaya untuk menafsirkan kursi pada ayat tersebut. Namun yang paling masyhur adalah memaknai kursi pada ayat di atas dengan kekuasaan dan sifat-sifat agung yang layak kepada-Nya, bukan sifat baru sebagaimana yang ada pada makhluk-Nya. Wallahu A’lam bisshawab.

Baca tulisan menarik lainnya tentang tafsir Syekh Sya’rawi di sini.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.